Sabtu, 05 Januari 2013

Hari ke-5: Brúðkaup = Wedding

Bandung, 6 Januari 2013,

Menginjak usia seperempat abad bukanlah hal yang menyenangkan, jika boleh diingat-ingat. Rasanya baru dua bulan berlalu, sejak saya menggenggam jabatan usia "perak" ini, pertanyaan demi pertanyaan sudah bergulir hebat: "Kapan menikah?" atau "Nunggu apalagi sih?" atau "Mana calonnya?". Yayaya. Standar, bukan?

Alhasil, pertanyaan-pertanyaan itu hanya bisa dijawab dengan sebuah helaan nafas dan senyum tentunya. Anggap saja doa, bukan untuk menjatuhkan. Bukan untuk menjatuhkan. Ya, pertempuran kupu-kupu dan kecoak dalam hati selalu terjadi saat pertanyaan tersebut terlontar, dari siapapun itu. Antara dongkol, mendumel, hingga ingin menyusupkan petasan di mulut sang penanya, atau hanya tersenyum tipis, dengan mata yang terpaksa menyipit.

But anyway, sebenarnya buat apa saya kesal, ya?

Nikah merupakan ikatan (akad) perkawinan yg dilakukan sesuai dng ketentuan hukum dan ajaran agama: hidup sbg suami istri tanpa -- merupakan pelanggaran thd agama;  (sumber: KBBI)

Memang, bagi setiap orang, arti menikah itu beda-beda. Ada yang menikah karena disuruh keluarga. Ada pula yang menikah karena desakan keadaan dan kondisi. Pun ada yang menikah cuma gara-gara ingin mendapatkan penghidupan yang layak.

Dari kecil, saya adalah sosok anak perempuan yang disusupi dongeng-dongeng mengenai happy ending yang terjadi seusai ikatan pernikahan terjadi. Pasangannya, tentu saja seorang pangeran berkuda putih yang charming dan baik hati. Tak heran bila ketika dewasa, saya mendambakan hal itu pula. Bertahtakan gaun putih dengan rangkaian bunga di tengah taman, tentunya dengan buket bunga di tangan.

Tetapi, perihal menikah tidak sesederhana itu bukan?

Menikah itu adalah hal sakral. Bukan persoalan sepele, receh dan bisa dianggap enteng. Bagi saya, ikatan pernikahan cukup berlangsung sekali, dengan waktu dan pasangan yang tepat. Menikah merupakan jembatan menuju sebuah kehidupan yang sebenarnya. Agama sudah berperan di sana. Bukan hanya sekadar rangkaian diksi bertema cinta. Bukan cuma tertulis di buku dan surat nikah saja.

Rasa, tanggung jawab dan kesiapan tidak bisa direkayasa.

Meskipun, memang tak bisa disangkal, wanita memiliki batas usia biologis bagi sebuah pernikahan, khususnya bila kelak ingin memiliki keturunan.Otomatis, ketika sudah menginjak usia dua lima, makhluk bergender ini akan sering ditanyai perihal pernikahan.

Tapi, semua akan terjadi pada waktu yang tepat, dengan orang yang tepat dan juga tempat yang tepat. Dan pasti, hati yang siap. Bukan hati yang setengah terpaksa, atau pikiran yang masih berkubang di masa lalu.

Everbody have their own perfect times to be happy. 

And I'm pretty sure, I'll recognize my own perfect time, later. Just, be patient.

-penceritahujan- 

1 komentar:

  1. Yupppp... sepakat :)
    menemukan orang yang tepat pada saat yang tepat :D

    BalasHapus