Banyak hal menyenangkan yang saya dapat dari profesi saya, yang mungkin terbilang jauh dari jurusan perkuliahan saya. Yap, menjadi jurnalis itu seru! Meskipun rasa lelah memang berganda, tapi kepuasan dan pengalaman selalu menjadi hal-hal baru yang mendominasi kehidupan saya, semenjak tahun 2010.
Bertemu dengan orang-orang baru, menggali wawasan, dan pastinya, nggak cuma jadi robot yang bergerak atas perintah otak. Dan, lucunya, kejadian-kejadian ini nggak hanya berguna untuk pekerjaan saya saja, banyak cerita dan pesan yang bisa saya dapat dari setiap ajang peliputan.
Salah satu kisah menyenangkan terjadi hari ini, ketika saya menghadiri acara yang diselenggarakan oleh sebuah produk cat tanah air. Bersama beberapa orang hebat - arsitek, desainer interior, developer dan fotografer - mereka berbincang hangat demi mendapatkan palet-palet warna yang tepat untuk koleksi produk tersebut.
Sebenarnya sih itu cuma prolog. Yang ingin saya ceritakan di sini, adalah bagaimana seorang arsitek ternama asal Bali, Popo Danes, mengangkat satu tema yang terngiang hingga detik ini: lokalitas.
"Lokalitas itu penting, karena itu adalah kekayaan bangsa Indonesia," ujar Pak Popo, kala mengisi perbincangan hangat kami.
Mungkin, obrolan itu sedikit terasa "jleb", karena nyatanya, saya masih menyukai banyak musik asing dibanding nada-nada tradisional. Dan, saya belum sama sekali mengeksplorasi Nusantara, meskipun suatu ketika, ada niatan saya untuk menjelajah sudut-sudut tanah air, dan melihatnya dari sisi lain. Bahkan, saya juga belum mengenal arsitektur Nusantara secara menyeluruh.
Warga lokal macam apa coba, saya?
But anyway, demi menebus dosa sebagai warga lokal yang nggak baik, saya ingin sedikit mengupas cerita mengenai lokalitas, yang nggak usah jauh-jauh tentang kesukaan bermusik, berbicara ataupun berpakaian. Lokalitas berperilaku saja sudah mulai hilang, khususnya di ibukota seperti Jakarta.
Hari ini, ada satu hal yang membuat saya mengambil asumsi tersebut. Sepulang dari acara tersebut, saya melewati bilangan Kebayoran Lama, untuk menembus jalan menuju kantor. Di sana, saya melihat seorang pria dengan wajah bersimbah darah, menduduki motornya. Mungkin, dia sehabis mengalami kecelakaan.
Kecelakaan merupakan salah satu hal yang mungkin terjadi di jalan raya. Nggak terlalu aneh juga, memang.
Tapi, yang membuat saya bertanya-tanya, adalah ketika terdapat sebuah mobil - bukan mobil yang bermasalah - akan beranjak meninggalkan tempat parkir, yang berada dekat dengan lokasi kejadian, lalu mobil tersebut malah diteriaki dengan kasar, "Buruan woy!"
Seingat saya, bahkan, mobil tersebut dimaki-maki dengan suara serak yang agak mengesalkan. Asa teu kudu jojorowokan oge sih broh, maneh rocker kitu? Demikian batin saya berkata.
Rasa-rasanya, kosa kata budaya yang pernah saya lihat di buku cetak PPKN masa lampau bukanlah budaya teriak-teriak. Para petinggi Indonesia masa lalu sudah merumuskan "sopan santun" sebagai salah satu budaya Nusantara yang harus dibina, di setiap suku bangsa, tak hanya di Pulau Jawa saja.
Namun, tahu sendiri lah ya, mungkin "sopan santun" sekarang cuma tinggal diksi. Cuma tinggal istilah yang masuk telinga kiri, lalu menguap di telinga kanan. Nggak menyerap ke hati.
Mungkin cuma mengendap di buku pelajaran. Cuma berkubang di soal ujian. Lalu, kesananya, "sopan santun" memang hanya berbekas nama.
Menyerobot antrian, berteriak-teriak dengan penuh emosi, dan nggak mau tenggang rasa, menyalahi PPKN banget nggak sih?
Mungkin, ada yang berkata: peraturan ada untuk dilanggar.
Tapi, bagaimana dengan budaya? Apakah dibuat untuk dilupakan? Dibuat untuk cuma menjadi cerita? Legenda?
Lokalitas sudah nyaris mati, semati nurani orang-orang di jalanan, yang hanya tahu kalimat makian penuh emosi.
Jakarta itu keras, Bung!
Yes, agree! Tapi bukan berarti kalau keras, harus meninggalkan identitas juga bukan?
Rasanya, menghargai lokalitas bisa dimulai dengan cara sederhana: kembali melokalkan perilaku diri sendiri dahulu, deh!
Dan rasanya, sudah saatnya membaca buku PPKN kembali.
Yuk mari!
-penceritahujan-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar