Jakarta, 2 Januari 2013,
Sejak tahun lalu, saya berubah menjadi seorang manusia rantau, yang bekerja di tengah hiruk pikuk ibukota Indonesia, Jakarta. Meskipun hanya berjarak 125km dengan Bandung, kota kelahiran saya, namun kota dengan penduduk terpadat di tanah air ini mengandung unsur “asing” yang sangat eksplisit dalam segala hal.
Sebenarnya, saya adalah orang yang agak takut dengan suasana “asing”. Keluar dari zona nyaman adalah sesuatu yang menegangkan. Bahkan, saking tegangnya, saya hanya berani menunduk, memasang earphone dan membuat bola-bola khayal dalam pikiran saya, berpikir tentang hal-hal buruk yang dapat terjadi dalam suasana “asing” tersebut.
Sampai akhirnya, saya bertemu Jakarta. Kota yang mempertemukan semua orang asing di dalam satu wadah berlandaskan hukum dan otoritas. Kota yang dipenuhi oleh seribu kebaikan, seribu kriminalitas, seribu orang sok tahu nan idealis, dan juga seribu orang pengikut arus yang tak punya pendirian. That’s Jakarta.
Kota “asing” ini mengumbar gaya hidup penuh glamoritas. Kota “asing” ini juga menyajikan cerita tentang kerasnya kehidupan. Tapi, satu hal yang menarik perhatian saya sampai detik ini, kota “asing” ini mengajarkan saya tentang sosok orang “asing” yang sesungguhnya.
Akhir-akhir ini, saya bertemu dengan orang-orang asing yang ternyata jauh dari perkiraan saya semula. Yang kerap kali menganggap buruk dan negatif tentang mereka.
Di sebuah bis Kopaja, seorang kenek dengan penampakan layaknya brongs setempat, membantu saya dengan mengarahkan jalan, setelah saya turun dari bis tersebut, bahkan mengantar saya ke tempat tujuan.
Di sebuah persimpangan Harmoni, seorang bapak membantu saya dan seorang teman, mencarikan bahan bakar untuk vespa teman saya, tanpa meminta balas atau bayaran.
Di sebuah taman, dua orang asing yang ada di bawah pengaruh alkohol, membantu saya dan teman saya, untuk membetulkan vespanya yang sedang “manja”. Bahkan sampai motor mereka sendiri tetiba mogok dan tak bisa berjalan seperti sedia kala.
Pada sebuah malam pergantian Tahun Baru, saya bersama teman baru, yang bahkan pada awalnya hanya saya jumpai di linimasa jejaring sosial, menelusuri sebuah event bertajuk Car Free Night. Dan, jujur saja, meskipun sangat melelahkan, malam itu saya sangat senang. Beban hilang seketika, melebur dengan tawa, olokan serta obrolan ngaco yang selalu mendominasi percakapan saya dan teman “asing” saya ini.
Hal-hal “asing” tersebut berhasil membuat saya senang dan bahagia, tersenyum dan tertawa.
Dan, akhirnya, sejenak saya menyadari, bahwa sesuatu yang “asing” tak akan selamanya asing, bukan?
Saya tak akan selamanya menjadi “asing” dengan Jakarta. Begitu pula Jakarta, bagi saya. Lambat laun, kota ini pun akan berujung menjadi sebuah kota penghasil rindu.
And, all we need is time, to know and love those strangers more and more.
-penceritahujan-
it's nice that you met quite many nice strangers in jakarta so far :)
BalasHapusit does feel really nice :)
Hapus