Rabu, 29 Mei 2013

Pindah Tempat, Bukan Pindah Hati

Jakarta, 29 Mei 2013,

Terhitung 2 bulan sejak terakhir saya menulis di blog serba-hujan ini. Lama sekali, ya? Setelah berlalu-lalang dalam dunia wordpress--tempat baru penoreh cerita--ternyata rasa rindu itu mampir juga.

Saya rindu menulis kisah-kisah sendu lucu, yang disambut oleh ilustrasi awan dan hujan di bagian teratas halaman.

Saya rindu mendefinisikan diri saya sebagai seorang penceritahujan. Makhluk yang turun ke bumi, untuk menyampaikan surat rindu dari langit untuk bumi.

Saya rindu dengan halaman yang telah menemani saya selama 3 tahun terakhir ini. Rindu dengan ruang yang melahirkan sebuah konsistensi hati untuk menulis, membaca, bercerita dan merangkai kata.

Saya rindu melihat runutan diksi yang menimpa latar berwarna biru.

Saya rindu dengan font sambung feminin yang menghiasi pojokan halaman.

Saya rindu teman-teman blogwalking yang selalu setia saling mengunjungi "rumah" masing-masing.

Saya rindu sisa-sisa perasaan di sini.

Tapi, tenang saja. Saya hanya pindah tempat. Bukan pindah hati. 

:)

Bila berkenan, bisa juga berkunjung ke wordpress saya dengan alamat berikut: http://papierimaginaire.wordpress.com/

Selamat berkunjung, selamat menikmati!

-penceritahujan-

Kamis, 07 Maret 2013

Maret #2: Bahasa

Jakarta, 7 Maret 2013,

Entah sejak kapan saya mengenal kata "bahasa" ini dalam kamus memori saya. Mungkin saja, kali pertama saya membaca nama mata pelajaran di bangku SD: bahasa Indonesia. Atau mungkin, ketika saya mengenal, bahwa pekerjaan Mama saya adalah seorang guru bahasa. Yang pasti, satu kata yang saya dapatkan, ketika mengidentifikasi diksi "bahasa" : someday, saya mau terjun ke dalamnya.

Lalu, saya melangkah menuju runut usia remaja. Dan akhirnya menjelang dewasa muda. Ruang lingkup diksi "bahasa" yang semula hanya saya ketahui sebagai sebuah pengetahuan, kini beranjak meluas. "Bahasa" bukan teori. Bukan cuma sekadar kumpulan rumus yang mengatur susunan kalimat SPOK dan sebagainya. Bukan hanya mempelajari majas eufimisme, metafora ataupun personifikasi.

Bahasa, adalah soal berkomunikasi, berbicara, berbincang, bercanda, bahkan hingga bermain mata. Bagaimana sebuah pendapat, kata-kata, kisah, bisa tersampaikan dengan lancar hingga pihak kedua, ketiga, dan seterusnya.

Ya. Mau nggak mau, bahasa adalah perihal cerita. Dan, sekali lagi, untuk bercerita, setiap manusia nggak harus bisa bertutur kata halus, bertulisan bagus, berakting tulus.

Nggak semua cerita itu fiksi. Bahkan, kebanyakan dari cerita, sama sekali bukan fiksi. Karena menurut saya, setiap detik manusia menghirup dan menghembuskan udara dari lubang hidungnya, sudah menimbulkan satu buah rangkaian cerita. Runut bahasa.

Lalu, bagaimana dengan bahasa?

Bahasa adalah media-alat-fasilitas-sarana yang diciptakan Tuhan agar setiap manusia bisa berkomunikasi satu sama lain. Bahasa bisa disampaikan melalui beragam cara: lisan, tulisan, mata, gerak tubuh, keringat, senyuman, bahkan air mata.

Lalu, bagaimana dengan bahasa yang tak tersampaikan? Yang hanya tersalurkan dari gerakan diam-diam, lirikan tersembunyi ataupun jeritan tak bersuara? Kedok senyuman di balik tangisan?

Tenang saja.

Menurut saya, debaran-denyut-detak jantung adalah salah satu bahasa organ yang tak bisa berpura-pura. Bahasa paling jujur di dunia. Oleh karena itu, tak semua orang bisa mendengarnya. Bisa mengartikan simbolnya. Bisa memecahkan semiotika di dalamnya.

Oh iya, satu lagi. Saya biasa menyebut debaran-denyut-detak tersebut dengan satu istilah: bahasa hati

:)

#np Ronan Keating - When You Say Nothing At All 

-penceritahujan-

Minggu, 03 Maret 2013

Maret #1 - Menepi

Jakarta, 4 Maret 2013,

sumber foto: http://mi9.com

365 hari, bukan waktu yang singkat untuk merantau, berlayar di tengah lautan ragam manusia, tenggelam dalam larutan keringat yang bercampur antara orientasi materi ataukah jati diri. 

Bila dihitung-hitung, jumlah per sekonnya sudah mencapai: 365 x 24 x 60 x 60. Kalkulasi alat mengeluarkan nominal 31.536.000 detik, yang belum terhitung dengan tambahan persentasi relativitas rasa, di mana 1 detik, bisa saja terasa seperti 1 menit bahkan 1 jam, dan sebagainya. 

Dan, dari jumlah tersebut, cuma satu hal yang saya butuhkan: menepi. 

Hanya demi beristirahat di sebuah dermaga, cuma sekadar bersandar di sebuah batu karang raksasa, atau menikmati burung camar yang mencoba merunduk lalu mendarat.

Hanya untuk memejamkan mata, menengadahkan wajah ke angkasa, lalu merasakan sayup angin sepoi-sepoi yang sedang berkejaran di antara ilalang, lantas terlelap sampai ke sebuah dunia, yang disebut dimensi pikiran manusia.

Lalu menghela nafas. Dan merebahkan tubuh. Dan kemudian merasakan bahwa Tuhan itu ada, nggak cuma saya, kamu, dunia dan media-medianya.

Lantas, kapankah saya bisa sempat menepi

:)

#np Float - Tiap Senja

 -penceritahujan-

Selasa, 12 Februari 2013

Hari ke-2: Tiga Kata

Jakarta, 12 Februari 2013,

Saya suka setiap tiga kata yang kamu ucapkan. Kontennya nggak penting. Yang pasti, kamu melafalkannya cuma dalam tiga kata. Membentuk satu kalimat, berakhir tanda penghabisan, dan tak ada diksi lagi setelahnya.

Tiga kata itu bisa berarti:
- Turunin gue sekarang!
- Cumu-cumu eea.
- Kamu lagi apa?
- Udah makan belum?
- Teman tapi bau.
- Elo enggak asik.

Kalimat berisikan tiga kata tersebut - apapun itu - selalu saya senangi. Asal kamu yang melafalkan. Asal kamu yang mengucapkan.

Tapi, tiga kata yang paling saya suka, berarti sesuatu yang seketika membuat saya tersipu malu. Berwajah merah. Menggelitik hati. Menerbitkan senyum tipis. Membuat jantung berdegup cepat. 

Meskipun jarang kamu katakan.

Jarang kamu tuliskan.
Jarang kamu torehkan.

Apa saja isi dari tiga kata itu?

Nggak usah dilafalkan deh ya. Kamu pasti tahu.

Saya yakin, kamu lebih tahu.

:)

-penceritahujan-

Hari ke-30: Sosok Penghibur Tahun Lalu

Jakarta, 12 Februari 2013,

Ketika ada yang bertanya: "Paling pengen ketemu sama siapa sih di gathering 30 Hari Menulis Surat Cinta nanti?" saya hanya tersenyum. Tidak tipis. Tapi yakin, bahwa saya ingin sekali bertemu mereka di tanggal 17 kelak. 

Mereka. Kalian. Ya, orang-orang yang sudah tetiba menyempatkan diri mengunjungi rumah saya di 11 Februari 2012 lalu. 

Meskipun hari hujan. Meskipun hari hujan. Dan meskipun sudah malam. 

Semua sosok yang mungkin tak bisa saya ingat dengan jelas. Melihat sosoknya satu per satu. Saya hanya ingat, malam itu, kalian adalah salah satu dari orang yang memeluk saya erat. Menggenggam tangan saya yang beranjak dingin. Dan mengetahui, bahwa senyuman lebar saya hanya sebuah kamuflase. Bertugas untuk menyembunyikan air mata, yang tengah berkubang di sarangnya. 

Kiki, Dini, Kila, Alit, Eka, Eci (yang menyebarkan kabar duka pada teman-teman lainnya), Dedo, dan lain, dan lain, dan lainnya. 

Dan sosok-sosok yang saya temui, sehari setelah tanggal 12 berlalu: Mike, Kika, Betty, Nico, Agi, Fahmy, dan lain dan lain dan lainnya.

Cuma ingin berkata pada kalian: saya sudah kuat dan bahagia sekarang. Sangat bahagia.

Kalian juga kan?

Thanks a bunch for your coming, last year!

Sampai jumpa tanggal 17 nanti. 

:) 

#np Ballads of The Cliche - Distant Star

-penceritahujan-

Kamis, 07 Februari 2013

Hari ke-1: Diferensiasi: Saya dan Kamu

Jakarta, 8 Februari 2013,

Kalau diibaratkan dengan kutub magnet, maka saya dan kamu adalah dua kutub yang saling berlainan. Berjauhan. Bertolak belakang. Kontras berbeda.

Putih. Hitam.
Pengecut. Kritis.
Sensitif. Apatis
Introvert. Ekstrovert.
Penyuka implisit. Pengusung logika.
Pengkhayal. Pemapar deskriptif.
Pecinta cahaya. Penyuka gelap.

"Karena kita berbeda, makanya kita saling mengisi," ujarmu.

Karena kutub magnet tak akan tarik menarik bila keduanya memiliki medan yang sama. Mereka saling tertarik dan mengikat, karena perbedaan signifikan di antara keduanya. Positif dan negatif. 

Well, that's life. That's love. 

-penceritahujan-

Selasa, 05 Februari 2013

Hari ke-23: Halo Joel dan Memori

Namamu adalah Joel Barish. Dan kamu biasa saja. Memang. Saya tahu itu.

Bukan sesosok jagoan layaknya Captain America. Bukan seorang arsitek beraura seperti Ted Mosby. Bahkan, bukan seonggok makhluk ajaib semacam Doraemon. Nothing special. Cuma pria biasa yang mengendap di Benua Barat sana.

Kamu hanya Joel, yang jatuh cinta pada seorang Clementine. Kamu hanya seorang keturunan Barish berwajah sederhana, yang tergila-gila dengan sang rambut warna-warni. Kamu hanya orang biasa yang merasakan patah hati. Lalu jatuh, dan menangis, dan jatuh, dan menangis lagi.

Kamu hanya bagian dari korban Lacuna.Inc, sebuah perusahaan penghilang memori berbasis teknologi. Kamu cuma pengecut yang ingin melarikan diri dari sebuah rasa. Ingin melupa. Ingin pura-pura tidak ada.

Lalu, kamu menyesal.
Lalu, kamu berontak.
Lalu, kamu membantah.

Bahwa kamu ingin lupa, dan kamu mau menghilangkan rasa, atau tak pernah mengenalnya barang sepatah kata.

Tahukah kamu?
Kita sama. Sama-sama bodoh. Sama-sama pengecut.

Mau melupa. Mau menghapus setiap jengkal ingatan pembuat sesak. Dan mau bertindak seolah-olah semua itu tidak pernah ada.

Hanya, bedanya, kamu hidup dalam sebuah bundel skenario fiksi milik Michel Gondry. Berkubang dalam dimensi yang tercipta di balik tayangan layar raksasa. Kamu mengenal Lacuna Inc. Memilikinya dalam duniamu menghirup udara.

Tetapi saya tidak.

Saya hanya manusia yang tercipta di balik dunia nyata. Menghadapi realita penyesak, cuma tanpa kata. Lalu tersenyum miris. Perih. Tak bisa menghapus memori. Tak bisa melupa.

Antara iri dan tidak, saya ingin bertemu dalam suatu waktu. Cuma sekadar bertukar cerita di balik cangkir kopi yang tersimpan rapi dan bertanya, "Seperti apa rasanya benar-benar lupa? Apakah melegakan? Menenangkan? Ataukah menyenangkan?"

Dan, mungkin, kamu akan berkata, "Saya tidak ingat apa-apa. Karena saya benar-benar lupa."

Walau akhirnya, bagimu, melupakan bukan berarti menghilangkan. Because when you forget about her, someday, you'll fall in love again with her. Again and again. 

Dan kamu (sekali lagi) membangunkan saya dalam dimensi keseribu pikiran saya, lalu menekankan bahwa memori adalah harta bagi kepala manusia. Seburuk apapun itu. Sepahit apapun itu.

Karena kamu, adalah Joel Barish. Dan kamu biasa saja. Memang. Saya tahu itu.

Saya tahu persis.

-penceritahujan-

nb: Joel Barish (Jim Carrey) merupakan tokoh utama dalam film bertajuk "Eternal Sunshine of The Spotless Mind", berkisah tentang seorang patah hati yang ingin menghapus memori bersama sang Clementine (Kate Winslet) yang mentah-mentah bertindak seolah melupakan Joel dari hidupnya. And this movie has a very big meaning for me.