Jumat, 28 September 2012

#10 - Janji Purnama


Tepi Rel, 15 September 2011,

Aku menunggunya, di tengah lajur-lajur besi yang sudah usang termakan hujan. Ya. Itu adalah tempat pertemuan kami yang pertama-tepat setahun lalu. Bermandikan aroma tanah selepas gerimis. Berhiaskan sebuah bohlam raksasa di angkasa sana. Berirama lantunan jangkrik sebagai teman sepi. Hanya ada suaraku, dan suaranya.

Tahun ini, aku kembali menantinya. Tidak ada yang salah. Dia pernah berujar suatu kata. Dan, oleh karena itu, brankas hatiku masih menyimpan sebuah rasa bernama rahasia, yang membuatku adiktif untuk selalu mengenangnya. Membenamkan diriku pada sejumlah pecahan bernama memori.

Dia hanya membayar hutang. Melunasi janji yang telah bernyawa selama 365 hari. Dia pernah bercerita tentang sebuah dimensi, yang Tuhan sebut dengan dosa. Dan dia, berjanji mengajakku kesana. Mencampuradukkan adonan rasa dengan blender canggih yang hanya beredar di dunia khayalku.

Hari ini, dia datang kembali, tepat kala sinar bulan purnama menghampiri sekujur tubuhku. Dia datang, seusai gerimis – lagi. Wajahnya sedikit basah. Tapi tetap tampan. Justru bulir-bulir air itu membiaskan cahaya sang bohlam angkasa.

“Suatu saat saya akan datang padamu lagi, Jingga,”

“Suatu saat...?”

“Saat dimensi kita tak lagi mengenal kata dosa,”

“Dan saya selalu menunggu kamu, Purnama, sampai saatnya tiba,”

“Saya tahu, saya selalu tahu,”

Purnama mampir ke Bumi dalam waktu semalam saja, lantas pergi entah kemana. Dan aku tahu, dia tinggal dalam dimensi maya. Dia, seperti malaikat yang menyukai itik buruk rupa. Perpaduan dua dongeng yang tak berkesinambungan. Tapi, itulah nyatanya.

Dia – seorang yang tercipta sempurna – memilih untuk mengubar janji palsu kepadaku yang tak berarti suatu apa. Aku hanya seorang gadis miskin sebatang kara yang tinggal di pinggir rel kereta. Aku memang tak memiliki ibu peri. Cinderella saja memiliki seorang ibu peri. Lantas, apa yang aku miliki? Hanya sebuah khayalan yang melambung tinggi. Harapan kosong yang berbuah senyuman tipis. Aku cuma punya janji Purnama.

Akhirnya, aku melihat Purnama pergi, setelah rerumputan bukit di samping lajur besi memberi waktu untuk kami berpindah dunia menjadi dimensi dosa, lagi dan lagi. Dan dia, berjanji akan datang setahun lagi. 365 hari. Tepat saat Bulan Purnama menapaki batasnya.

Walau aku tahu, janjinya itu imitasi. 

***
Tepi Rel, 16 Desember 2011,

“Jingga, siapa bapaknya?”

“Jingga, lo ngehargain diri lo berapa duit sih?”

“Noh, Si Jingga kan istri simpenannya pejabat noh?”

Cacian sudah berjalan seiring waktu. Sudah tiga bulan aku menyimpan titipan Tuhan dalam perutku ini, oleh-oleh dari dimensi Dosa yang telah kulewati. Tapi, nama Purnama tetap menjadi rahasia. Aku hanya tersenyum menampik semua makian itu. Aku tak akan menjawabnya lewat diksi. Karena ini adalah sebuah kontrak hati yang tidak bisa mati.

Aku hanya seorang gadis miskin sebatang kara yang tinggal di pinggir rel kereta. Aku memang tak memiliki ibu peri. Tapi aku memiliki Tuhan, doa, janji Purnama dan titipanNya.

Halo Purnama Kecil, kamulah yang kutunggu untuk menjadi nyata.

***

Tepi Rel, 18 Juli 2012,

Perutku tak karuan. Seperti sedang digerus oleh gergaji mesin. Aku tak kuat, tapi aku harus kuat. Demi Purnama Kecil, demi Purnama – yang sekarang entah ada dimana.

Kakiku semakin lemas dan bergetar. Tanganku sudah bersimbah darah, tanpa ada satupun yang menemaniku. Hanya makhluk angkasa, batang-batang besi usang dan tikar jerami yang menjadi saksi getirku hari ini. Aku tak tahu, sampai mana batas kekuatanku.

Aku hanya seorang gadis miskin sebatang kara yang tinggal di pinggir rel kereta. Aku memang tak memiliki ibu peri. Tapi Tuhan memberiku harapan dalam bentuk Purnama Kecil, dan aku tidak ingin menyudahi mimpi ini.  Tuhan menggantikan janji Purnama, dengan janjiNya yang pasti.

Tuhan, tolong, jangan sampai mimpiku kali ini terbabat habis, Tuhan. Jangan sampai harapan yang sudah kupendam selama 9 bulan ini menguap kembali. Menjadi sebuah barang imitasi, lagi dan lagi.

Ini bulan Purnama, Tuhan. Harta pertama yang aku miliki, sebelum Purnama, dan titipanMu. Jangan ambil lagi, jangan ambil lagi.

***

Tepi Rel, 15 September 2012,

“Maaf mengganggu, apa Mbak tahu Jingga ada dimana?”

“Jingga? Yang disebut-sebut orang cewek simpanan, maksudnya, Mas?”

“Errr, saya kurang tahu hal itu, tapi pastinya Jingga yang selalu menatap langit di pinggir rel kereta ini, tepat saat bulan purnama tiba. Mbak tahu nggak dia dimana?”

“Udah dua bulan dia enggak ada, Mas,”

“Maksudnya?”

“Dia melahirkan tanpa bidan, terus meninggal soalnya kurang darah, bayinya juga gitu, Mas, meninggal setelah lahir,”

“Bayi?”

“Iya, makanya banyak yang bilang dia istri simpanan pejabat, kayaknya sih bener, Mas,”

“....”

“Mas siapa ya?”

“....”

“Mas?”

“Sa-saya cuma kerabatnya, sesama penikmat angkasa. Nama saya Purnama,”

***


Dibawah sinar bulan purnama
Air laut berkilauan
Berayun-ayun ombak mengalir
Ke pantai senda gurauan

Dibawah sinar bulan purnama
Hati susah jadi senang
Gitar berbunyi riang gembira
Jauh malam dari petang

Beribu bintang bertaburan
Menghiasi langit hijau
Menambah cantik alam dunia
Serta murni pemandangan

Dibawah sinar bulan purnama
Hati sedih tak dirasa
Si Miskinpun yang hidup sengsara
Semalam hidup bersuka

#memutar Chrisye - Di Bawah Sinar Bulan Purnama

-penceritahujan- 

Sabtu, 22 September 2012

#8 - Tentang Nama

Bandung, 22 September 2012

Aku adalah seonggok batang putih dengan warna membosankan. Tak seperti kelap-kelip warna perangkat elektronik masa kini. Wajahku pun buruk rupa. Mereka cantik, sedangkan aku menganut asas konservatif. Usang. Kuno.

Aku adalah material substitusi. Hanya hidup di saat-saat tertentu. Bila listrik kehilangan kekuatannya. Bila matahari usai melakukan pekerjaannya. Bila bulan tak cukup memantulkan cahaya bagi permukaan sang bumi. Bila siang terbenam, berganti tirai malam.

Aku adalah sebuah benda tahunan. Hidup di atas kue tart mewah merekah. Tapi, hidup hanya barang beberapa detik saja. Paling lama juga satu menit, hingga hembusan nafas meniup sumbu sang api. Hingga pijaran itu mati lagi, dan lagi. Lalu, kemudian aku menjadi barang sisa kembali. Ditaruh di dalam kantung sampah, menjadi barang tak berguna.

Aku adalah sepenggal makhluk remeh. Receh. Kamu bisa menemukanku dengan harga murah di pasaran. Dan akhirnya, aku hanya hidup di dalam bagian terbawah sebuah lemari. Terdiam, menunggu seseorang memerlukanku seutuhnya. Sepenuhnya.

Aku memang kecil. Cahayaku cuma sepelintir. Siklus hidupku cuma jadi bahan buah bibir, yang akhirnya hilang lagi ditelan cerita-cerita centil.

Pada akhirnya, dalam hitungan waktu, aku akan meleleh, berubah menjadi sosok menjijikan, melebar dan bersatu dengan lantai.

Walau begitu, ketika aku telah mati, aku bisa hidup kembali. Sehancur apapun, segelap apapun, sekelam apapun. Aku tersusun dari substansi yang akan bangkit lagi.

Aku, mudah dilupakan, tapi tak akan mudah melupakan.

Karena aku adalah lilin kecil, yang ada untuk menjadi pengganti, dan hanya hidup untuk memberi.

Tapi, dengan begitu saja, aku sudah bahagia, karena sempat bersinar walau hanya sebentar.

Dan itulah namaku. Lilin. Candle. Candella.  

"
Mama sama Ayah ngasih nama Candella biar bisa bikin orang lain bahagia, nggak harus dengan skala besar, seperti lilin-lilin kecil, itu saja sudah cukup."

Oh...
Manakala mentari tua
Lelah berpijar
Oh...
Manakala bulan nan genit
Enggan tersenyum
Berkerut kerut tiada berseri
Tersendat-sendat merayap dalam kegelapan
Hitam kini hitam nanti
Gelap kini akankah berganti


Engkau lilin-lilin kecil
Sanggupkah kau mengganti
Sanggupkah kau memberi
Seberkas cahaya
Engkau lilin-lilin kecil
Sanggupkah kau berpijar
Sanggupkah kau menyengat
Seisi dunia


#memutar Chrisye - Lilin-Lilin Kecil

-penceritahujan-

Minggu, 16 September 2012

#6 - Buku Memori

Aku bukan penulis kelas kakap, begitupun kamu. Cuma penyair kelas kutu. Hanya dua onggok makhluk berakal yang sok-sokan mengarang buku, bertahun-tahun yang lalu.

Bukunya pun sudah berdebu. Berada di tumpukan terbawah brankas pribadi dalam perpustakaan otakmu. Aku pernah menitipkannya padamu, aku ingat persis. Aku memberikannya ketika hujan tiba, dimana tetesan air itu sangat identik denganku. Dan kamu memberikanku pelukan virtual, yang hanya bisa disimbolkan dengan kedipan mata. Aku bisa membaca pertanda tanpa kau sebut dengan bicara, tenang saja.

Buku itu punya banyak cerita. Tentang aku yang bertindak bodoh, dan kamu yang menanggapi kebodohanku dengan aneh.

Tentang aku yang percaya bahwa aku adalah makhluk Planet Hujan. Bahwa aku turun ke muka Bumi sebagai utusan rindu dari Langit, yang tak bisa bersama karena kasta.

Tentang kamu yang mempercayai perkataanku itu, mendatangi rumahku dengan kostum lengkap ala musim hujan – mantel dan payung kuning – di kala matahari sedang terik-teriknya. Kamu tahu kalau bertemu denganku, hujan akan mampir dalam duniamu. Dasar bodoh.

Tentang aku yang bertemu denganmu di kala hujan tiba. Dan kamu yang merekam kejadian itu jelas dalam ingatanmu.

Tentang aku yang senang melihat angkasa. Tentang kamu yang menyukai rangkaian konstelasi di atas sana. Tentang tribun yang menjadi saksi bincang hangat kita tentang alam semesta.

Kemudian, aku dan kamu, perlahan beranjak menjadi diksi “kita” tanpa banyak tanya.

Tentang aku yang bergumul dengan semua konflik batinku. Tentang kamu yang selalu mendengarkan semua benang kusut yang menjelimet dalam sudut hatiku.

Tentang aku yang selalu menangis. Tentang kamu yang selalu menenangkan gerombolan air mataku itu dengan senyuman manis

Tentang waktu yang tak pernah menghapus kamu. Tentang masa yang tak bisa menyapu kita.

Tentang sebuah rasa, yang tak pernah bisa dilafalkan dengan kata.

Dan kamu bisa menemukan nama kita – aku dan kamu – tergurat rapi di atas sampulnya.

Apakabar buku itu, hey kamu? Masihkah berdebu? Masihkah berada di tumpukan terbawah lemarimu?

I'm so tired but I can't sleep
Standin' on the edge of something much to deep
It's funny how we feel so much but we cannot say a word
We are screaming inside, but we can't be heard

I will remember you, will you remember me?
Don't let your life pass you by
Weep not for the memories


#nowplaying Sarah McLachlan – I Will Remember You


Well, memories is the best book ever in human's history.


-penceritahujan-

Minggu, 09 September 2012

#4 - Tergelitik

Jakarta, 10 September 2012,

Pagi masih belum mau membuka mata. Wajar saja, masih pukul dua. Matahari pun masih belum siap menggeliat, membangunkan diri dari mimpi.

Jarang ada yang terbangun segar di area komplek perumahanku. Hanya makhluk-makhluk nokturnal saja yang terjaga, salah satunya adalah burung hantu, kecoak, dan aku.

Domba-domba maya beterbangan di atas kepala. Aku sudah mulai tidur ayam, berada di antara batas dimensi nyata dan mimpi, tapi itu sebelum kamu datang. Sebelum kamu mengubahku menjadi si gadis nokturnal kembali. Mengetuk jendela kaca dengan batu kecil, memberikan sapaan malam yang selalu kunanti dalam dimensi virtual?

Kamu datang dengan senyummu yang biasa. Lalu, kamu memaksaku berkebun pagi-pagi. Menanam sejumput gelitik kupu-kupu dalam perutku, yang sebenarnya telah tersimpan sejak lama. Sejak gelitik itu masih berbentuk ulat bulu, berjalan pelan dari tahun demi tahun. Kutahan dan kuhilangkan paksa karena satu diksi bernama norma.

Kamu menyebarkan kembali virus demam metamorfosis ini dengan berbagai cara dan alibi. Tak heran bila aku mudah menanam bibit gelitik, gampang memiliki rasa tanpa nama.

Kamu menggenggam tanganku, menyentuhkannya ke pipimu yang dingin, sehabis terkena angin. "Tangan kamu hangat," ujarmu seraya menerbitkan senyum bulan sabit yang manis.

Aku cuma bisa mengikuti cara senyummu, tapi lidahku kelu. Aku sudah meleleh, mencair. Kebun gelitik yang sudah kuanggap mati itu, kembali merekah, memerah. 

Lalu kamu terlelap dan memejamkan mata. Tapi, tanganmu masih dalam posisi menggenggam erat pergelangan tanganku, membiarkanku mengusap lembut wajahmu dengan seribu pro kontra dalam hati.

Apa-apaan ini, batinku bertanya tanpa henti. Tapi apa daya, tanganku enggan berpindah. "Aku masih mau disana!" ujarnya lugas. Bahkan tubuhku pun melawan logika.

Beberapa puluh menit kulalui, hanya dengan menunggumu bangun dari mimpi panjangmu. Menanti kenyataan, apakah kamu ingat saat tanganku menyentuh wajahmu.

Apakah kamu tahu, bahwa kali ini, tak dipungkiri, aku menanam gelitik itu kembali. Aku menyimpan rasa anonim itu tanpa seijinmu.

Ataukah bagimu, aku hanya sebagai alat? Aku hanya sebagai material substansi?

Ataukah bagiku, kamu hanyalah pengisi sepi? Menjadi partner penikmat sebuah spasi?

Ataukah, gelitik ini hanya fiksi? Apakah aku dan kamu, hanya menjadi sebuah cerita, bukan untuk menjadi nyata?

Mungkin kamu bidadari yang ku cari
Mungkin kamu hanya teman yang kusayangi
Mungkin semua telah tertulis dan kujalani

Mungkin aku hanya pusing ku tak mengerti

Mungkin semua tak seperti yang kurasa

Mungkin rasa hati ini tak ada arti
Mungkin aku hanya bingung merasa sepi

Mungkin aku hanya pusing ku tak mengerti


#nowplaying Kaimsasikun - Mungkin

-penceritahujan-

Jumat, 07 September 2012

#3 - Spasi

Di tengah kemacetan Jakarta, 7 September 2012,

Jarak itu relatif. Demikian perkataan dalam teori fisika yang selalu terpatri dalam pojok memoriku. Tak pernah ada takaran jelas untuk diksi "jauh" ataupun "dekat". Semua terkait erat dengan sudut pandang dan persepsi manusia, sebagai makhluk Tuhan dengan satu anugerah luar biasa - akal dan memori.

Satu hal sempat kutangkap. Jarak seperti sebuah spasi pada keyboard perangkat elektronik terkini. Spasi yang memberi ruang, spasi yang memberi sekelebat kekosongan, spasi yang memberi pemisah.

Lantas, istilah long distance relationship mengapung di permukaan. Membuat jarak menjadi sebuah dosa, spasi menjadi momok yang ditakuti. Meskipun sebenarnya teori relativitas masih berperan disana. Jarak seperti apa yang membuat sesak, spasi seperti apa yang mencipta hampa.

Long distance. Sejauh apakah jarak itu? Sejauh Kebun Jeruk - Kalibata? Sejauh Bandung - Jakarta? Ataukah sejauh Indonesia - Kutub Utara?

Sinyal menjadi masalah lumrah dalam sebuah hubungan jarak jauh. Bukan begitu? Tapi aku iri. Aku iri ketika kebanyakan orang mengeluh karena sang terkasih tak bisa dihubungi karena gangguan sinyal nan menyebalkan. Aku sudah cukup senang, ketika aku bisa berkomunikasi lewat mimpi. Karena di dimensi antara itu saja aku bisa bertemu dengannya.

FYI, spasi kami adalah dimensi, dimensi dalam ruang dan waktu yang berbeda.

I miss you Ma, miss you much when I'm lonely, 
miss you much when I'm happy, 
I hate long distance relationship, 
but God gave me some lessons. 
I have to do what I should do. 
have to let you go, faraway from me. 
have to make those LDR-stuff with you, 
so long, and I don't know when this space start becoming an end..
I hope it'll come soon Ma.

I miss you more than I can say...
____________________________________________________________

Melukiskanmu saat senja, memanggil namamu ke ujung dunia,
Tiada yang lebih pilu, tiada yang menjawabku, 
selain hatiku dan ombak berderu,

Di pantai ini kau slalu sendiri, tak ada jejakku di sisimu,
Namun saat kutiba, suaraku memanggilmu, 
akulah lautan kau slalu pulang,

Jingga di bahuku, malam di depanku,
dan bulan siaga sinari langkahku,
Kuterus berjalan, kuterus melangkah,
Kuingin kutahu, engkau ada..

#np Dewi Lestari feat. Arina - Aku Ada


-penceritahujan-

Selasa, 04 September 2012

#2 - Aku Mau Titiran

Jakarta, 4 September 2012,

Bis hari ini begitu sepi. Tak seperti biasa, jejalan manusia seperti bersembunyi. Mungkin makhluk-makhluk ibukota tengah melakukan aktivitas menyepi, takut keluar rumah akibat berjubelnya kriminalitas yang terjadi. Mungkin saja.

Meskipun bis ini kosong, seperti paus raksasa tanpa organ dalam, tetapi, aku berada di sini, di deretan tengah bis berwarna jingga ini. Dan, lucunya, bukan hanya aku, supir, penjaga pintu bis dan tangan kanan Tuhan yang ada di dalam kendaraan besar tersebut. Lelaki itu masih ada di tempat duduk kesayangannya. Jelas berseberangan dengan bangku yang biasa kududuki.

Aku dan lelaki itu masih pada pendirian kami, melakukan kebiasaan sehari-hari. Dia menduduki bangku terpojok di dekat pintu belakang, sedangkan aku masih memiliki deretan tengah sebagai area jajahan rutin.

Aku hafal betul, aktivitasnya masih sama. Menggenggam sebuah buku dengan judul berbeda-beda setiap harinya. Entah berapa jam ia habiskan untuk melumat habis satu gerombolan cerita hingga tuntas.

Kabel earphone putih kumal menjuntai dari arah daun telinganya yang kemerahan. Bahkan dia pun sering bersenandung asyik dalam dimensinya sendiri. Sepertinya dia tak pernah sadar kalau aku mengintipnya diam-diam dari area sayap tengah ini.

Aku biasa memanggilnya Titiran, walau dia tidak pernah tahu aku menyapanya dengan nama itu. Kenapa Titiran? Aku menyukai nama itu. Titiran adalah sejenis spesies burung, seperti Tikukur dan Gagak. Tapi, dia memiliki makna lain, yaitu baling-baling. Terbang, bebas dan lepas.

Lantas, bagaimana arti Titiran dalam ruang lingkup khayalku? Keduanya sama saja. Titiran bagiku, adalah seorang Titiran yang membuat daya imajinasiku melayang bebas, seperti burung dan baling-baling. Dia adalah seseorang dengan nama fiksi yang ambigu, menyisipkan rasa yang tak kalah janggal pula.

Aku memikirkannya ketika aku menginjakkan kaki di depan pintu rumah. Aku melamunkannya dalam dimensi kedua otak yang bernama mimpi. Lalu, apa yang kulakukan ketika tak sengaja bertemu mata dengannya? Lidahku kelu. Aku masih belum ingin menyapanya. Bukan karena malu atau tak berani.Tapi karena sebuah alasan abstrak, yang aku pun belum tahu apakah itu.

Aku pernah bertanya pada sahabatku tentang si kupu-kupu yang kerap menggelitik perutku. Entah kupu-kupu atau burung elang yang ada di dalam sana. Perutku mual setiap melihatnya.

"Fau, pernah nggak kamu diem-diem suka sama orang yang belum kamu kenal sama sekali?"

"Pernah sih, kenapa emangnya?" Fau menjawab asal sembari membaca majalah musik kembali. Dia menganggap tanyaku sebagai angin lalu. Dasar lelaki!

"Hmm, nggak sih, mau tahu aja. Terus abis itu kamu ngapain?"

"Ya, standar, cari tahu namanya, ajak kenalan, minta nomor atau pin BB, kontak-kontak deh. Emang maunya apalagi?"

"Nggak bisa ya kalau nggak harus kenalan?"

"Terus, cuma bisa jadi secret admirer doang? Nggak rame banget lah, cemen, nggak laki."

"Hmm, emang kalau suka sama orang harus kenal, diliatin dan usaha ngedeketin yah?

"Kenapa harus enggak?"

Betul juga sih. Perasaan itu harus pamrih, harus ada balasannya. Setidaknya, harus ada usaha, agar sang penasaran sirna dari permukaan bumi. Tak datang-datang lagi sama sekali.

Kalimat "kenapa harus enggak" itu menggeliat penuh dalam otak. Bangun dari mimpinya yang panjang, memaksaku untuk setidaknya melakukan sesuatu. Aku harus mau berusaha. Paling tidak, untuk tahu namanya saja. Sudah cukup, bukan?

Titiran, sebentar lagi aku akan tahu nama asli kamu. Haruskah, Titiran? Haruskah aku melakukan itu? Haruskah aku mengusirmu sebagai seorang sosok imajiner, menggantinya menjadi sesuatu yang nyata? Haruskah aku berhenti mengagumi diam-diam?

Aku memutuskan untuk berjalan ke arah Titiran - sang pria maya yang akan menuju nyata. Aku rela melawan gerakan bis yang melaju kencang. Saat itu, Tuhan seperti memberiku sebuah pelajaran: waktu adalah barang maya yang relatif.

Namun, waktu tak cukup lama untuk hasrat 'kenapa harus enggak'ku yang hanya berjalan sepersekian detik. Terdengar suara parau setengah berteriak, "Persiapan! Halte Kebayoran Lama, Gandaria City!"

Titiran berdiri, melangkahkan kakinya menuju pintu bis. Titiran tidak turun di halte biasanya. Waktuku ternyata tak cukup banyak. Dan aku tak mau mengulang keganjalan hasrat ini di lain hari. Hanya saat ini, atau tidak sama sekali.

"Maaf mengganggu! Saya Aira, selalu berpapasan denganmu di bis dengan plat yang sama, warna yang sama dan waktu yang nyaris sama dan saya selalu memperhatikanmu sejak lama juga," suaraku  menyeruak ramai tanpa titik koma. Seperti kaset berpita rusak dan lagu distorsi tinggi.


Titiran - maksudku pria itu - kaget untuk beberapa detik. Ia bingung harus melakukan apa, yang berujung dengan senyuman bulan sabit dan sapaan balik. "Hai juga, saya Yoga, terimakasih ya, Aira. Have a nice day!"

Yoga? Jauh dari ekspektasiku. Tak ada nama Titiran tertera dalam diksi 'Yoga'. Yoga memang sebuah aktivitas menenangkan batin, tetapi tak melepaskan diri, tak terbang seperti baling-baling ataupun burung. Dia tidak seperti Titiran.

Aku melihatnya berjalan keluar bis, meninggalkan sedikit luka sesak ketika aku bernapas. Titiran sudah tiada. Dia berganti menjadi Yoga, yang memeluk seorang gadis berperawakan sempurna di luar sana. Dia berubah wujud menjadi Yoga, yang tak lagi menyukai buku-buku sebagai temannya.

Dia tak pernah lagi mencintai sore yang terpatri di luar jendela bis. Ataupun menikmati kemacetan sembari mendengar satu album penuh lagu hujan. Dia itu Yoga, bukan Titiran.

Dan aku? Bagaimana nasibku setelah itu? Air mataku berebutan keluar dari rumahnya. Aku ingin bertemu Titiran, bukan Yoga. Aku ingin bersama Titiran, bukan Yoga. Dan, akibat aku mengedepankan hasrat 'kenapa harus enggak', aku kehilangan bayangan imajiner itu. Aku kehilangan Titiran.

Biarkan yang tak terjangkau, tetap menjadi yang tak terjangkau. Biarkan sosok imajiner, tetap menjadi sebuah bayangan maya. Karena, ketika dia nyata, dia akan menjadi berbeda.

You're my picture on the wall.
You're my vision in the hall,
You're the one I'm talking to,
When I get in from my work,
You are my girl, and you don't even know it,
I am living out the life of a poet,
I am the jester in the ancient courts,
And you're the funny little frog in my throat.

#nowplaying God Help The Girl - Funny Little Frog




-penceritahujan-

Minggu, 02 September 2012

Kata per Kata #2

Kamu gak bisa milih siapa-siapa yang bakal berseliweran dalam pikiran kamu, bahkan orang yang sudah kamu singkirkan secara drastis dalam kehidupanmu, ataupun orang yang telah menghapus kehadiranmu dalam pojok memorinya.

Titiran #1

Menahan perasaan itu sungguh enggak asyik. Seperti menahan hasrat buang angin, demi menjaga kesopanan, menjaga agar orang sekeliling tak menghirup bau busuk hasil sekresi tubuh. Setahan apapun, tetap aja menjadi sebuah penyakit. Enggak ada keren-kerennya sama sekali.

Tapi, bukan seorang aku, kalau melakukan aksi defensif saja tidak bisa. Kalimat-kalimat pembenaran meluncur lancar dari bibirku.

"Titiran? Dia baik-baik aja kok, kita lagi jarang main bareng aja, lagi sibuk," ujarku enteng, ketika salah seorang teman bertanya tentang Titiran.

Ya, Titiran adalah sebuah nama yang menetap dalam hatiku selama hampir 6 bulan ke belakang. Nama yang masih membuatku menyesak dalam. Titiran menjadi sebuah diksi bagi rasa tersembunyi. Luka yang disusupi.

Aku melarikan diri dari perasaan itu, dari gelitik kupu-kupu yang bertuliskan nama Titiran di sayapnya. Aku melangkahkan diri sejauh mungkin. Menyimpannya baik-baik dalam sebuah kotak besi bergembok. Dan ingin membiarkannya mati menjamur di dalam sana, bersatu menjadi abu.

Walau sebenarnya, nama Titiran masih mendominasi slideshow mimpiku tadi malam. Wajah Titiran masih menghiasi bola-bola kapas maya di atas kepala. Suara Titiran masih sering mendengung di telinga.

Tidak ada yang tahu akan eksistensi rasa ini, kecuali aku, Titiran, dan Tuhan. Karena norma. Karena menjaga perasaan. Karena aku, terlibat dalam sebuah kasus bernama status hubungan yang telah lama dibina.

Utamanya, karena Titiran, masih belum bisa melihat aku sebagai seorang aku, barang sedetikpun. Dan Titiran takut sakit. Oleh karena itu, tak masalah aku sakit. Tak masalah aku menjadi seorang penipu. Asal bukan Titiran yang sakit. Asal bukan Titiran yang sedih. Sebuah kalimat klise yang harus merundungiku kali ini: ASAL TITIRAN BAHAGIA.

Ketika aku keluar rumah, aku tampak ceria. Aku menggunakan topengku lagi, topeng dengan senyuman maksimal, serupa dengan bulan sabit terang benderang di langit malam. Aku, meninggalkan semua ketidakseimbangan magnet hati di dalam ruangan penuh privasi, yang hanya bisa dimasuki oleh aku dan Tuhan.

Dan bila kelak Titiran ingin meminta kuncinya, membaca hatiku perlahan - sekali lagi - aku akan memberinya tanpa biaya. Cuma-cuma.

Hatiku pun lirih. Lantas, aku menatap wajah Titiran dalam bayangan maya dan berkata, "Titiran? Masihkah kamu mau mampir kemari?"

                                                                  ***

-penceritahujan-