Kamis, 29 September 2011

#5 Hola Absurdia!

Absurd dan pertanda. Entah kenapa dua kata itu begitu menarik perhatianku. Oknum yang disinyalir memiliki keganjilan dalam batas kewajaranku selalu berhasil memasuki ruang imajinerku, berkomplot dengan spektrum-spektrum cahaya untuk menembus alam bawah sadar seorang Mirabilly Shialava. Tak terkecuali Rianda, pria ajaib yang kutemui di gerbong satu kereta Subuh Bandung - Jakarta.

"Wah, Mbak Mirabilly udah dateng dong, pagi banget." Pria berkumis berperut agak tambun itu membuyarkan lamunanku. Aku biasa memanggilnya Mas Udin. Ia selalu menjadi teman berbincangku bila kawan-kawan sekelasku belum datang.

Mas Udin adalah seorang tata usaha di gedung ini alias karyawan sibuk. Gedung berinterior serba putih ini merupakan tempat tujuanku setiap hari Sabtu tiba. Sebuah sekolah di bawah naungan kantor berita pertama di Indonesia, tempat para jurnalis handal lahir. Mochtar Lubis salah satunya. Bahkan namanya pun diabadikan dalam sebuah nama penghargaan, Mochtar Lubis Award, seperti Pulitzer Prize – sebuah penghargaan internasional tertinggi dalam bidang jurnalistik, bahasa dan seni. I do want it so bad!

"Hari ini materinya apa Mas Udin? Gurunya Kang Dadan ya?"

"Iya Mbak Billy, hari ini materinya apresiasi seni dan budaya Mbak, liputan keluar sih kata Kang Dadan,"

"Wah, kemana emang liputannya?"

"Ke Galeri Nasional kayanya, lagi ada pameran seni-seni gitu tuh."

"Oh ya? GalNas? Lukisan? Karya seniman senior gitu kah?"

"Bukan, katanya sih campuran gitu, karya seorang seniman muda, judul pamerannya : Absurdia."

Nice. Sekali lagi kosa kata itu menghantui hariku. Menyedot setengah dari penglihatanku, menuju bayang-bayang spektrum yang bergumul, berkomplot untuk membentuk sosok-sosok absurd yang pernah bernaung di pikiranku. Salah satunya Rianda. Hebat, pria gerbong satu itu sudah mulai menetap dalam otak kecilku. Absurd, ya, pria itu sudah mulai sedikit-sedikit mengalahkan posisi Rega dalam benakku. Rianda. Kamu absurd dan luar biasa.

***
Aksara Sunda kuno setinggi bahu di depan gerbang masuk GalNas ini begitu mengusik perhatianku. Terbuat dari bahan suede (sejenis material penutup sofa atau untuk bahan membuat sepatu), artwork ini menciptakan sebuah kombinasi antara sifat kasar, halus dan terlihat gagah. Seni instalasi, sebuah bentuk artwork yang sangat aku kagumi. Seperti jatuh cinta pada pandangan pertama, mataku berbinar-binar menatap sebentuk unik yang berdiri kokoh di depanku. 

“Kamu suka yang kaya gini Bill?” ujar Virsa, salah satu teman sekelasku dalam sekolah jurnalistik ternama di Indonesia ini.

“Gimana lagi, Vir, empat setengah tahun saya hidup dalam rasa cinta sama seni instalasi, gimana nggak bakalan kagum parah coba?” Mulutku menjawab, pandanganku masih menerawang, menelusuri instalasi-instalasi cantik yang tersebar di gerbang area galeri.

“Ini aksara Sunda lho, kemarin saya udah nanya ke senimannya, dia bilang artinya janggal,” ungkap Kang Dadan sembari membidikkan kamera SLR kesayangannya ke arah artwork unik itu.

“Pantes deh nama pamerannya Absurdia.”

“Jadi penasaran deh, siapa sih seniman di balik pameran ini?”

Ya, suara-suara itu seakan berkumpul dan bergerombol, menggema dalam dimensi dunia psychedelic milikku, yang mulai melayang-layang, menjadi backsound untuk ruang batas antara mimpi dan kenyataan. Karya-karya manusia tak dikenal ini telah membuatku memasuki blackhole kembali. Membangkitkan kenangan dan perasaan terpendamku pada seni instalasi yang seakan terlupakan. I love this kind of art!

Lamunanku sedikit terbuyarkan, saat Ganes – salah satu teman sekelasku – menepuk pelan bahuku, dan berkata, “Nama senimannya R. Pranata, Bill, tuh camkan, siapa tau cocok sama kamu, daripada bermuram durja mulu!”

“Ahaha, sial! Ga kali Nes, tega banget sih, kayanya orang ini udah banyak makan asam garam deh. Kamu nyuruh saya pacaran sama om-om ya?”

“Ya kali, Bill, kamu kan sukanya yang aneh-aneh.”

Sial, Ganes sialan! Memang sih, rasa penasaran sang seniman di balik pameran Absurdia ini cukup menghantui pikiranku, kembali membuat tubuh dalam dimensi bayanganku seringan kapas, terbang menyusuri lautan masa lalu yang sudah lama tersimpan, tertutupi program-program berjudul Microsoft Office dan kertas berhamburan. Sepertinya aku memang harus berterimakasih langsung pada Mas Pranata yang entah wujudnya seperti apa. Setidaknya, ia telah menghadirkan kembali kata-kata absurd dan seni yang telah kulupakan bertahun-tahun lalu. 

***

Galeri itu dipenuhi artwork cantik yang diletakkan dengan sangat apik. Mas Pranata sangat pintar menatanya, sehingga ambience berbeda didapat saat melangkahkan kaki di ruangan ini. Kutelusuri satu per satu. Pria absurd ini selalu menyuntikkan unsur luar angkasa ke dalam karya-karyanya.

Astronot, alien yang dibentuk seperti salah satu tokoh perwayangan bahkan istana cuaca pun ada di sana. Ah, istana cuaca, salah satunya adalah kerajaan hujan. Dan, terpampang rapi, sebuah kaleidoskop raksasa di sana. Damn, Mas atau Om atau Pak Pranata, seolah-olah isi dari pameran ini mencerminkan isi otakku. Hujan, kaleidoskop, absurd. I owe you so much, dear Mysterious artist!

“BIODATA”. Entah karena tulisan itu begitu besar, ataukah warnanya terlalu cerah, atau juga memang kosa kata itulah yang sedang aku cari di seantero ruangan galeri ini. Biodata, data pribadi. Pastinya, di sana akan terpampang, siapakah sebenarnya Mas Pranata yang absurd ini.

Nama : R. Pranata Priya

Nama yang cukup aneh. Jelas-jelas Mas Pranata berjenis kelamin pria. Untuk apa masih ada kata “Priya” di belakangnya. Huruf R yang bertengger di depannya pun masih misteri. Mungkinkah sebenarnya dia memiliki turunan Raden alias darah bangsawan?

Tempat / Tanggal Lahir : Bandung, 15 Oktober 1985

Wow, Bandung? Dia jelas-jelas lahir di Bandung, orang mengagumkan ini memiliki tanah kelahiran yang sama denganku, seorang Mirabilly.

Prestasi :
-    Pameran Seni Kontemporer di London
-    Pameran Seniman Kontemporer Asia Pasifik di Singapura

Masih berderet panjang kolom prestasi yang ia miliki, sungguh, Mas Pranata ini memang mengagumkan. Mataku seakan tercengang melihat deretan penghargaan dan pameran yang pernah ia ikuti. He’s awesome!

Baiklah, Absurdia! Pameran ini sukses sekali membuatku penasaran dengan Mas Pranata, seorang seniman yang gemar memasukkan nilai-nilai absurd ke dalam mahakaryanya. Tentunya, rasa penasaran ini kembali menjangkitiku, setelah rasa sesak yang terjadi saat aku kehilangan sang pria gerbong satu, Rianda.

Aneh. Kenapa aku bisa mendadak penasaran dengan dua sosok berbeda, dalam waktu yang cukup bersamaan. Apakah ini sebuah bentuk melarikan diri dari bayangan kutukan gerimis milik Rega? Tadi Rianda, sekarang Mas Pranata. What’s wrong with me?

***

“Maaf Mas, kalo Mas Pranatanya ada?” tanyaku pada salah seorang panitia yang berjaga di sana.

“Mas Pranata masih di jalan, Mbak. Maaf, kalau boleh tahu, Mbak darimana ya?”

“Oh, saya Mirabilly, ada tugas dari sekolah jurnalistik saya, untuk berbincang sedikit dengan Mas Pranata.”

“Oke, Mbak, nanti saya sampaikan ya, sebentar lagi sampai kok.”

Ah, baiklah, Mas Pranata. Kembali aku harus menunggu dan meredam rasa penasaranku ini. Aku tak tahu, seperti apakah bentuk dari Mas Pranata ini. Karya demi karya kuperhatikan hingga mendetail. Masih tentang luar angkasa, bumi, hujan, matahari. Tak ada satupun bentuk-bentuk kenarsisan dalam karya Mas Pranata ini. Bayangan tentang wajahnya pun sungguh abstrak.

Tiba-tiba, kulihat sorotan cahaya menuju arah sebuah lukisan. Aneh. Janggal. Ini seperti sebuah potret dirinya, dalam aliran lukisan kubisme, sebuah gerakan seni abad ke-20, menyerupai karya Pablo Picasso dan Georges Braque. Aku masih tak bisa menangkap sosoknya. Hanya tampak sedikit rupa kacamata, rambut panjang, dan yang pasti, ia lelaki.

Eh! Tunggu dulu! Guratan tanda tangan nyaris tak terlihat menghiasi kanvas setinggi badanku ini. Goresan milik Mas Pranata yang pasti. “Coretan ini begitu familiar, Mirabilly!” sepertinya pupil mataku berbisik demikian. Ya, tanda tangan ini terasa tak asing. Sangat tak asing.

Raden. Rindu. Ronda. Ah, déjà vu! Aku pernah mengalami hal ini beberapa jam yang lalu. Menatap lama sebuah guratan tangan bertuliskan nama. Ya, sekali lagi, mataku meyakinkan otakku, bahwa ini tanda tangan RIANDA.

I found love, didn’t even know I needed it
But I found love, never even crossed my mind
#nowplaying Free Design - I Found Love

-bersambung-

Senin, 19 September 2011

#4 Ini Ibukota, Dia Rianda

"Sebentar lagi Anda akan sampai di Stasiun Gambir Jakarta...."

Suara itu membangunkanku dari tidur lelap tanpa mimpi. Pemandangan kota Jakarta menghiasi jendela kaca yang semula menjadi kaleidoskop tercintaku. Mataku masih terlalu blur untuk menikmatinya. Samar. Keluarga mata sedang bersinkronisasi kembali, kembali dengan para syaraf2 manis setelah bangun dari tidurnya yang cukup, untuk kembali bekerja membantuku.

"Mbak, udah mau sampe Gambir," sayup-sayup suara itu hinggap di daun kupingku, menembus sang gendang telinga untuk kemudian dicerna oleh otakku.

Oh, sudah mau sampai Gambir ya. Eh! Kok ada orang di sebelah saya?? Sontak aku pun terkaget-kaget melihat sesosok pria menempati kursi sebelahku. Kursi F gerbong satu.

Si pria gerbong satu yang tersenyum hangat itu, dia duduk manis di sebelahku, sembari menggenggam tas selempang berwarna coklat ladu. Seemed old-fashioned but everlasting. Nice bag. But anyway, kenapa sampai pria ini ada di sebelahku?

"Eh, kamu kenapa disiniii???" ujarku sedikit bernada tinggi saking shocknya.

"Ini handphonenya Mbak ketinggalan di WC," sambil tersenyum kecil, si pria misterius itu menggenggam smartphone hitam kesayanganku.

Ah, bodoh sekali memang, bahkan telepon selularku saja terlupakan gara-gara lamunanku tentang Rega, si pria pemberi kutukan gerimis itu. Kenapa juga harus tertinggal di kamar kecil tempat kubuang kenangan manis bersama Rega, dan kenapa juga harus sang pria ajaib ini yang menemukannya.

"Makasih yes.. Saya nggak sadar malah kalo handphone saya ketinggalan mas.."

"Padahal coba saya berniat jahat ya, mungkin aja handphone Mbak udah saya jual lagi, lumayan tau Mbak, hari ginii.."

"Untungnya Mas orang baek tapi kan? Haha, kalo nggak baek ngapain balikin handphone saya,"

"Siapa bilang gratis?"

"Lah, jadi bayar?"

"Bayar dong, hari gini nggak ada yg gratis Mbak,"

"Yah masa bayar sih???" ujarku kecewa. Agak-agak takut juga, masa iya dia seperti Mas-mas pembajak kereta api yang waktu itu sempat menimpa kereta api menuju Cirebon. Kalau iya, berarti saya penasaran dengan orang yang salah, damn!

"Mbak, bayarannya saya mau minta Milo kaleng yang ada di meja Mbak, boleh?"

Langsung kuperhatikan meja kecil di hadapanku. Ya, kaleng berwarna hijau itu memang terpampang di sana, tapi aku yakin itu bukan punyaku. Aku tak membeli apapun dari semenjak aku melangkahkan kaki di gerbong ini.

"Bu-bukan punya saya kok, Mas,"

Dia tampak mengacuhkan kata-kataku, sembari asyik mengeluarkan sesuatu dari tasnya, "Nah, ini kembaliannya, Mbak, kelebihan tuh bayarannya."

Pria aneh itu memberikan secarik kertas bergambar mirip dengan sketsa uang kertas Indonesia, hanya gambar pahlawannya diganti dengan sosok perempuan yang sedang terlelap, oh baiklah, itu aku. Mulut terbuka seperti ikan mau dipancing, bahkan ia membubuhkan kawat gigi dan juga tahi lalat di bawah kiri bibirku. Detail!

"Eh, kapan kamu ngegambarnya?"

"Ahaha, saya pernah mimpi ketemu sama orang persis kamu, ketinggalan tiket dan HP, ceroboh dan panikan, dan tukang ngelamun juga. Makanya saya apal banget raut muka kamu kaya apa."

"......."

Hening, aku tak tahu akan berkata apa. Ini cuma sekedar gombal. Mentang-mentang aku orang yang mudah luluh oleh pertanda alam, banyak orang yang memanfaatkan kebodohanku ini. Sejak Rega berlalu, aku tak percaya pertanda, semua itu seperti gombal bagiku.

But, anyway, darimana dia tahu bahwa aku tukang melamun?

"Nih, simpen ya Mbak, jangan ketinggalan tiket sama HP lagi, saya duluan ya, Gambir udah sampe tuh," dan pria misterius itu langsung berlalu bersama postman bag yang ia selempangkan.

Otakku mulai lambat bekerja. Sepertinya asupan oksigenku kembali tersumbat untuk berjalan ke otak. Hati yang bermain di sini. Aku hanya bisa berdiam diri, speechless dan moveless.

Satu, dua, tiga....

Barulah tiga detik kemudian aku menyadari, pria itu hilang entah kemana dan aku tak sama sekali bertanya namanya, alamatnya, apapun tentangnya, sampai nomor kontaknya. Come on Billy, ini kan bukan jaman urdu yang belum mengenal teknologi handphone, internet, atau telepon. Damn, I've lost my superhero, again.

Kuambil tas selempangku dengan segera. Langsung saja kuarahkan langkahku menuju pintu keluar gerbong satu ini. Sang pria penyelamat di dalamnya sudah raib entah kemana. Otakku pun terlampau terlambat mencernanya. Bodoh, bedon, tolol!

Sempat kuputari daerah sekitar gerbong-gerbong itu, pria berambut terikat berkostum T-Shirt tye dye gambar Beatles, blue jeans dan converse hitam putih. Damn, he's actually gone!! Tak ada penampakan seperti itu di antara orang-orang sebanyak ini.

Where the hell are you???
Sekalinya aku menemukan orang yang bisa menghilangkan sedikit kenanganku tentang Rega, dan aku menyia-nyiakannya begitu saja. Bahkan lebih tepatnya, aku tak tahu sama sekali, siapa dia, darimanakah dia dan akan kemanakah dia. Yang aku punya, hanya kenangan manis tentang kaleidoskop hujan, gerbong satu, dan secarik kertas uang mainan bergambar wajahku.

Kuambil secarik kertas dari kantong jeansku. Kuperhatikan sedikit ilustrasi bodoh uang-uangan hasil iseng ini. Hehe, sial, dia menggambarkan sosok tidurku ini jelek sekali. Bahkan ada cairan-cairan samar yang tampak keluar dari mulutku. Aku kan tak seperti itu. Dia hiperbola!

Ehm, sebentar, di bawah air-air liur menyebalkan yang ia gambarkan itu, terlihat segurat garis, lama-lama kuperhatikan dia membentuk nama. Tanda tangan kah??

Kubaca perlahan sembari duduk di tangga hijau Stasiun Gambir. Ini tanda tangan yang tak terlalu membingungkan, simpel dan sederhana. Pasti aku bisa membacanya. Pasti.

Ri, ri.... Rinda, rindu, rendi, ronda, rendra, ..... Oh, bukan. Rianda. Ya, nama pria misterius di gerbong satu itu adalah Rianda.

I think that possibly maybe I'm falling for you
Yes there's a chance that I've fallen quite hard over you.
- Landon Pigg - Falling In Love at The Coffee Shop

-bersambung-

http://30hariceritacinta.blogspot.com/

Sabtu, 17 September 2011

#3 Pria Gerbong Satu

Pria gerbong satu. Itu saja julukannya. Aku bingung akan menamainya apalagi. Sepertinya dia semacam Charlie Chaplin atau Mr.Bean yang minim mengeluarkan kata dari mulutnya. Oh maaf, ralat, dia itu seperti patung yang baru belajar menjelma menjadi manusia, hanya sedikit bergerak ataupun berbicara. Kalimat terakhir yang muncul dari mulutnya adalah, "Sama-sama ya Mbak," dan aktivitas terakhir yang ia lakukan adalah menempelkan kertas bergambar senyum di kaleidoskop hujan, kaca kereta gerbong satu.

Kursi dan jendela kaca membentuk jarak, menyerupai semacam lubang intip. Di sana lah aku berusaha mendeteksi seperti apa rupa pria misterius yang telah menolongku tadi pagi. Bayangkan, sudah hampir setengah perjalanan – dari langit gelap, berganti menjadi gradasi biru ke ungu, hingga warna spektrum matahari terbias kabut pagi – aku masih belum sanggup menyapa atau sekedar melihat wajahnya. Hanya sepertiga. Bagian setengah senyuman, setengah batang hidung dan sebelah mata.

Berbagai cara kulakukan untuk mengintip sang superhero tiket yang satu ini, tapi hasilnya, NI – HIL ! Yang kudapatkan hanya pemandangan punggung yang terbalut jaket hitam, kulit tangan yang agak kecoklatan dan rambut panjang ikal terikat rapi. Dalam genggamannya, teronggok manis sebundel majalah berwarna kuning pada covernya. Sebuah majalah ternama, yang tak salah lagi, menjadi salah satu cita-cita tujuan pekerjaanku kelak – seorang travel writer.

So the point is, aku sedang berada dalam sebuah titik tertinggi rasa penasaran nan menggebu-gebu. Namun Sang Penasaran rupanya bertarung sengit dengan Si Gengsi yang terlalu tinggi dalam diri seorang Mirrabilly Shialava. Sial. Sepertinya dalam diriku, kedua pihak ini sedang baku hantam hingga lebam-lebam. Atau juga terjadi pertumpahan darah bak film-film perang seperti 300, Braveheart ataupun Bands of Brother.

Tengtengterengteng! Rasa gengsi mengibarkan bendera putih tanda menyerah. Sang Penasaran mengalahkannya dengan telak. "Baiklah, ayo Mirabilly, kamu bisa!" ujarku dalam hati, seolah sedang membawa bambu runcing, maju menuju medan perang.

Sontak aku berdiri meninggalkan kursi F dan kaleidoskop hujan raksasaku. Sungguh, jika aku tak bisa menyapa sang misterius ini aku bersumpah akan membuat web atau blognya saat aku pulang nanti. Aku-ingin-menyapa-pria-gerbong-satu-dot-kom.

Kulangkahkan kaki menuju kursinya dan............ OK, baiklah, dia tidur saudara-saudara! Terlelap dengan wajah tertutup jaket, tangan menyilang dan bertumpu kaki. Sial. Mana bisa aku melihat sisa dua per tiga yang terhalang oleh kursi dan jarak-jarak tak menentu ini. Yang bisa kutangkap adalah, pria misterius ini bercelana jeans, so casual, dengan sepatu converse hitam putih semata kaki, sama persis dengan yang sedang kukenakan kali ini. Sisanya, aku hanya melihat tampak depan yang terbalut jaket hitam tebal.

Daripada terlanjur malu karena berdiri mendadak, aku pun berniat mengunjungi toilet yang terdepat di sambungan gerbong satu ke gerbong lainnya. Sial, sekalinya gengsi gue kalah, eh si bocah oknum pembuat peperangan ini malah tidur.

Kubuka pintu toilet perlahan. Baiklah, sebenarnya kan aku tak ingin buang air kecil atau apapun. Aku hanya duduk di atas kloset, dan melamun. Renungan kloset, demikian julukanku. Toilet, kloset dan hal-hal lain yang berbau sanitasi memang spot yang paling cocok untuk melambungkan awan-awan lamunan, atau bahkan keluhan dan air mata. Tak jarang aku menelepon Rega di sana. Atau hanya sekedar mengirim pesan dan berkata "Saya lagi renungan kloset lho". Bahkan kloset pun menyimpan kenangan bersama Rega. Rega is all around.

Sudahlah, 5 menit cukup untuk membuang semua keluhanku dan awan-awan lamunanku tentang Rega. Rega Petrichor, si pria pembuat kutukan gerimis yang hinggap di pori-pori kulitku, menyusup melalui tangkapan cahaya oleh pupil mataku, bahkan ikut masuk melalui gendang telingaku. Kenapa sih saya nggak bisa semudah itu ngelupain kamu, kaya kamu ngelupain saya?

Pintu toilet pun kubuka. Dengan wajah tertunduk dan lesu aku mengambil langkah keluar dari stainless flooring itu. Eh, sepertinya ada orang yang sudah menungguku keluar toilet dari tadi. Aku melihat sosok itu dari bawah ke atas, dalam slow motion style. Converse hitam-putih, jeans, T-Shirt tye-dye bergambar The Beatles, dan..... ya, itu dia. Sang pria misterius yang ingin kuucapkan kata terimakasih, karena telah menjadi penyelamat tiketku. Dia si pria gerbong satu.

Sesaat, waktu pun seakan terhenti. Freeze! Seperti di film-film layar lebar luar negeri. Angle kamera pun berubah-ubah. Diputar perlahan, masih dalam freeze motion. Wajahnya panjang sedikit membentuk persegi panjang. Matanya besar, bulat, namun agak menyipit ke arah pelipis. Menusuk, seperti elang. Rambutnya ikal menuju keriting, terikat konde dengan rapinya. Oh, inilah wajah asli sang pria gerbong satu.

Dia tersenyum. Senyuman yang ia lontarkan dari sela-sela kursi kereta. Bentuk bibirnya bahkan sama persis seperti bentuk smiley face yang ia gambarkan di kertas tadi. Senyuman sepertiga yang kini kulihat bersatu dengan dua per tiga bagian yang samar dari pandangan kursi F tadi. He has a very good way of smiling.
"Eung... mau ke toilet?" Tingtong! Pertanyaan bodoh malah kulontarkan dari mulutku. Bego! Bedon! Benga! Tolol! Jelas-jelas dia menungguku keluar dari toilet, karena dia juga berurusan dengan kloset, wastafel, tissue toilet dan lantai-lantai stainless kereta itu. Mirabilly, kamu suka bego deh.

"Iya..." suara berat itu terlontar lagi. Suara yang telah menolongku hari ini. Apakah dia superhero yang Tuhan kirimkan untukku, ataukah utusan planet hujan yang tak ingin aku mendayu-dayu pada sang pria gerimis?

Kembali ke dunia nyata, aku memasuki gerbong satu kembali. Rasa penasaranku sudah tuntas. Aku sudah melihat wajahnya. Dan mungkin dia sedang bergumul bersama awan-awan lamunan tentang Rega yang baru kutinggalkan di sana. Mungkin akan tetap di sana, atau akan kembali mengejar untuk menghantuiku kembali.

Sudahlah, hari ini, rehat sebentar ya awan-awan kenangan Rega. Aku lelah. Ingin istirahat, barang sehari saja. Ya?

Kembali menduduki kursi F di gerbong satu, kembali lagi menatap kaleidoskop hujan dengan titik-titik air yang mulai mengering, dibawa pergi oleh spektrum cahaya cantik untuk kembali menghadap istana hujan di atas awan. Kembali membenamkan diri dalam playlist gerbong satuku dalam iPod, dan memejamkan mata perlahan.

That my heart has been captured by your funny little smile
Finally I'm happy if only for a while.

#nowplaying Alexander Rybak – Funny Little World.

:)

-bersambung-

#2 - Kursi F Gerbong Satu

Kaleidoskop Pagi (taken by me)

Mimpi menyebalkan datang lagi. Rega, gerimis, hujan, taman. Menyebalkan. Rasanya lelah untuk terbangun dalam keadaan mata sembab dan seperti panda. Air mata juga sepertinya bosan terus-terusan berlinang di permukaan pipiku.

"Kami pengen istirahat, Nona Mirabilly, udah dong jangan paksa kami kerja dulu," bisik para tetesan air mata ini ke telingaku.

"KUKURUUUYUUUK! Bangun,bangun,bangun!"

Sial, suara Pinkayam membuatku kaget, lamunan dan spektrum mimpi tentang Rega terhapus sudah. Wajah Pinkayam - sang weker berbentuk ayam merah muda - seakan berkata, "Bangun, Mirabilly, ini kan hari Sabtu!"

Sabtu. Pukul 4 pagi. Mandi air hangat. Rutinitas akhir pekan menantiku. Stasiun bernuansa biru peluh pun telah menungguku dengan sabar. Ya, kesibukan yang tak berarti seakan wanita karir yang hobi wara-wiri ini, dapat membantuku melupakan sang oknum pria gerimis itu.
***

"Argo Parahyangan, gerbong satu di lajur empat, Mbak, lima menit lagi berangkat," sahut pria berkostum hitam-putih ala penjaga keamanan suatu bangunan.

Luar biasa, jarum jamku terdiam membeku tak bergerak barang satu mili pun. Lima menit atau tidak sama sekali. Langkah seribu pun aku ambil, tak pandang area di sekitarku. Semua seakan blur dan samar, seperti menggunakan aperture rendah di kamera SLR. Fokusku hanya diarahkan pada pintu masuk gerbong kereta bertuliskan angka satu.

Walau undakan menuju gerbong kereta nan tinggi itu sudah dilepas, tak ada salahnya memanfaatkan hobiku di masa kecil, memanjat. Semen yang menempel pada tiang-tiang pondasi pun kunaiki. "Masa gini doang gua gabisa," ujarku dalam hati.

Dan...hap! Lompatanku cukup mengguncang gerbong bernuansa eksterior abu-abu. Maaf ya kereta, jangan salahin saya kenapa saya bertambah berat. Salahin mama saya aja gimana yang rajin banget ngasih saya makan sampai saya selebar ini?

Aku pernah mengalami berada di gerbong kedua, ataupun gerbong tiga. Menapaki kaki di gerbong satu kelas eksekutif menuju Jakarta merupakan salah satu pengalaman baru. Aku ingin mencoba satu per satu kursinya, mendudukinya perlahan bahkan ikut berjam-jam mengenalnya.

Sepi. Gerbong ini seakan hanya diisi oleh beberapa penghuni. Luar biasa sempurna. Perfecto! Bukankah ini yang aku dambakan? Sebuah tempat melamun yang hening dan bebas gangguan?

Kursi mana ya, kursi J, kursi I. Hmm.. Oh, kursi F, baiklah. Tempat duduk dan jendela yang raksasa seakan memanggilku dengan manisnya. Aku memang sangat suka menebar dan melambungkan awan-awan lamunanku di spot cantik seperti ini. Kereta Subuh, jendela kaca, embun pagi dan titik-titik gerimis lagi. Baiklah, gerimis lagi, gerimis lagi.

Rega, pagi, dan gerimis. Please Rega please.

Still everyday I think about you
I know for a fact it's not your problem.
But if you change your mind you’ll find me
Hanging on to the place
Where the big blue sky collapse

~ Adhitya Sofyan - Blue Sky Collapse
***
Spektrum warna-warni, kepingan demi kepingannya melayang ke arahku. Memecah gelap yang menguasai pandanganku. Sekali lagi, cantik sekali, seperti sedang mengintip lubang kaleidoskop.

Di antara soundtrack dunia kaleidoskop "Hoppipolla" yang dilantunkan suara emas Jonsi bersama  Sigur Ros, samar-samar terdengar suara, "Maaf Mbak, tiketnya mana ya?"

Tingtong! Spektrum-spektrum tadi seakan buyar. Kepingan kristal kaleidoskop terhisap memasuki blackhole dalam pikiranku, kemudian berganti menjadi pemandangan seorang pria berkumis lebat berkostum biru tua, dengan bentuk seragam mirip tentara.

Oh! Ternyata dia kepala masinis yang berkeliling untuk mengecek tiket milik penumpang, satu per satu. Dan aku tertidur pulas, selepas kereta berangkat dan headset mencolok telinga.

Langsung saja aku panik. Mencari kemanakah tiketku berada. Di saku, di tas, di dompet, alamakjang! Masa iya hilang? Pucat pasi berkolaborasi dengan kaget mendominasi ekspresi wajahku. Kumis sang masinis seakan mau mengusirku perlahan. Wajahnya tampak galak, mirip dengan salah satu tokoh di serial kartun Crayon Sinchan. Mirip sekali.

"Pak, ini tiketnya Si Mbak yang itu, tadi jatuh di jalan," ada suara cukup berat menyahut di balik kursi depanku. Kemudian Pak Masinis mengambil lembaran kertas keras tersebut, lalu memberikannya padaku. Aku terdiam seketika.

Aku hanya melihat tangannya yang sekilas memakai jam tangan hitam dan jaket berwarna hitam pula. Sudah. Itulah yang aku tangkap dari penyelamatku kali ini.

"Mmm, Mas, makasih ya," ujarku sambil mengintip dari sela-sela kursi kereta. Terlihat sedikit perawakan yang ia miliki. Jaket hitam serta rambut terikat.

"Sama-sama ya Mbak," pemilik suara itu kemudian menoleh melalui sela-sela kursi yang berbatasan dengan kaca. Senyumnya sedikit terlihat. He has a very nice smile, eventhough I don't see it clearly, aku cuma melihat sepertiga wajahnya saja.

Titik-titik gerimis manis menghiasi kaca kereta lagi. Hujan, cantik sekali. Seperti kaleidoskop. Kaleidoskop hujan.

Di antara sela-sela perhimpitan kursi sang pria misterius dan kaca, tiba-tiba tertempel kertas bergambar senyum di tengah-tengah kaca kaleidoskop ini. Si pria yang tampak sepertiga, sekali lagi, menoleh sedikit dan tersenyum ke arahku.

Buru-buru kucari kertas dalam tas, menuliskan sesuatu, dan bubuhkan selotip seadanya.

"THANK YOU" dengan tinta spidol warna merah kutaruh apik di bawah tanda senyum.  Bersama bersanding di balik kaleidoskop yang Tuhan ciptakan dari kaca dan hujan. Halo pria gerbong satu, salam kenal.

#NowPlaying Cranberries - Dreams.

-bersambung-

http://30hariceritacinta.blogspot.com/

#1 - Kutukan Gerimis

Kaleidoskop Hujan (taken from www.lindsayfield.wordpress.com)

Aku, dia, diam tanpa mengucap sepatah kata pun. "Ayo kita menikmati pertanda terakhir dari saya dan kamu," ujar pria bermata coklat yang selalu aku kagumi itu. Petrichor, aroma tanah terkena hujan pun turut bergumul erat di hidungku. Titik-titik air kembali mengenai ujung jari tanganku. Pemandangan yang seharusnya sangat aku sukai.

Damn, buat kamu ini pertanda. Tapi buat saya, ini kutukan! Rasanya ingin aku melontarkan kata-kata tersebut tepat di depan wajahnya, dengan mata coklatnya yang sayu, serta air muka melankolis. Sialan, mulutku seakan terkunci rapat. Ada gembok tak terlihat yang menutup erat dan mencekik leherku. Suaraku tak mau keluar, sama sekali.

Yang pasti, mungkin aku akan memasukkan fenomena ini ke dalam Guiness Book Record milikku sendiri. Dia telah menanamkan sejuta kenangan dalam otakku, data pikiran pun seolah termanipulasi. Mungkin sebenarnya, lelaki yang sangat mendominasi pandanganku ini adalah tukang install ulang ingatan, menghilangkan semua kisah sebelumnya, untuk diisi kembali oleh 1 Terra file yang dipenuhi wajahnya beserta kisah-kisah filmis kami.

Atau mungkin, dia memiliki jimat, aji mumpung, atau mantra tersendiri yang ia bisikkan pada hujan. "Hujan, semoga dia selalu mengingat saya saat kamu menyentuhnya." Entahlah itu mantra pelet atau pesugihan dan pertapaan yang dia lakukan di sebuah goa Antah Berantah.

Entahlah. Bisa jadi dia menggunakan bahasa Icelandic ala Sigur Ros, sebuah band post-rock yang membuatku tergila-gila seketika, mengingat setiap saat bermain hujan bersama sepeda tua miliknya. Dia tahu, mantra berbahasa Iceland begitu mengena di hatiku, dimana dipercaya bahwa di kawasan yang penuh akan hamparan putih itu, tinggal lah kerajaan peri layaknya para Elf di film legendaris, Lord of The Ring. Mungkinkah dia peri yang diceritakan dalam tembang "Staralfur" kesayanganku kah? Sialan.

Apakah jati dirinya yang asli adalah monster hujan, yang diturunkan ke bumi untuk mengusik kehidupanku. Sepanjang nyawaku, aku akan dinaungi oleh kutukannya, setiap kali air hujan hinggap, hanya di satu titik tubuh, racunnya akan menyebar hingga merasuki hatiku. Ini lebih menyakitkan daripada benar-benar terkena serangan kamehameha, terhunus golok pembunuh naga ataupun sinar laser ala monster masa kini. Serangan dari dalam, keji!

Sial, untuk apa dia dulu menjuluki perempuan hujan padaku dan menganggap dirinya adalah pria gerimis yang selalu datang sebelum hujan tiba. "Ini aneh ya, setiap saya ketemu sama kamu, pasti hujan, this is really a sign," ujarnya beberapa bulan yang lalu. Ya, fenomena – yang dia sebut sebagai pertanda – memang selalu mengelilingi kehidupanku dan kisahnya. Pertanda, yang lebih mirip kutukan, membuatku sangat tak bisa mengenyahkannya dalam pikiranku.

What for? We're really over now.

Air hujan kala itu bercampur dengan tetesan air mataku, menciptakan sajian saripati pahit tak hanya di lidah. Mengalir deras, beranjak menuju bibirku yang masih terkatup. Hanya getaran-getaran menahan tangis yang kurasakan. Rasa asin ataupun pahit sudah tak lagi mampir di lidahku. Cuma satu kata yang aku tahu, sakit, terkena racun dan kutukan hujan, yang sekali lagi kamu sebarkan kepadaku.

Datang dan pergi dan datang lagi dan pergi lagi. Kutukan lainnya yang telah ia berikan padaku. "Mirabilly, saya sayang sekali sama kamu, makanya saya harus pergi."

Kata-kata sayang membuatku tak pernah benar-benar membencinya. Bahkan terkadang, kutukan itu membuatku merasakan kehadirannya, yang tak ada lagi di taman ini, tak ada lagi bersamaku saat ini. Dia meninggalkanku, seperti gerimis yang menyurut dan menjauh ketika sang hujan besar tiba. Kutukan hujan ini seperti zat adiktif bagiku. Walau sang tukang kutuk menjauh dan menjauh dan menghilang, tapi aku tak pernah bisa benar-benar membuang ingatanku.

"Billy, bangun! Subuh dulu," suara itu membuyarkan spektrum-spektrum warna, entah darimana, yang menghiasi pandanganku yang gelap. Mataku terbuka, sembari merasakan air mata membasahi pipiku. Aku menangis lagi.

Tik..tik.. jendela kamarku terkena tetesan air Illahi. Subuh-subuh begini, hujan sudah datang menghampiriku, menemaniku yang berada dalam suasana hati tak karuan. Dalam sekejap, kaca-kaca jendela ini tampak samar, blur, penuh dengan titik-titik cantik. Seperti membiaskan cahaya matahari terbit pagi ini. Seperti kaleidoskop.

Entahlah, apakah hujan ini kutukan, ataukah ini doa yang Rega kirimkan untukku. Rega, ya, pria gerimis yang menguasai tiga perempat dunia mimpi dan alam bawah sadarku ini. Rega, kamu dimana?

#NowPlaying Regina Spektor - Raindrops.

-bersambung-

http://30hariceritacinta.blogspot.com/

Halo, Kaleidoskop Hujan! : Kata-kata Saya

Kaleidoskop. Namanya cukup rumit. Mirip-mirip seperti mikroskop, stetoskop ataupun teleskop. Keluarga -skop tepatnya. Apakah itu marga? Ataukah itu nama keluarga? Atau jangan-jangan itu julukan kebangsaan kehormatan, seperti "Sir" atau "Kanjeng Ratu" dan sebagai macamnya.

"Ini apa Yah, teropong?" tanyaku saat Ayah memberikan bongkahan tabung merah sepanjang kira-kira 20 cm ke genggamanku.
"Bukan, ini Kaleidoskop," Ayah menjawab sembari melihat ke arahku yang kala itu masih berusia 8 tahun.
"Buat apa ini, sama kaya teropong apa bisa liat bulan kaya teleskop?"
"Bukan, Kanneu, spektrum cahaya bisa dibiaskan lewat cermin-cerminnya, dan diterjemahkan oleh kerikil warna-warni di dalamnya. Bagus!"
"Mana, mana..."

Spektrum cahaya matahari, seakan terpantul sana-sini, membuat sebuah bentuk dan warna berbeda-beda setiap kuputar barang satu gerakan kecil saja. Bongkahan tabung merah ini merupakan harta karun saya ketika itu. Bahkan sampai detik ini.

Kepribadian ganda itu menyebalkan. Namun beda dengan kaleidoskop. Karena kepribadiannya yang selalu berubah-ubah setiap saat itulah, kaleidoskop tak pernah terlihat monoton dan membosankan. Sedikit gerakan dalam tabungnya membuat kaleidoskop tiba-tiba berubah, dari manis menjadi gagah, dari hangat menjadi dingin, dari merah menuju biru.

Familiar? Kaleidoscope is similar with life, buddy.

Kaleidoskop itu hidup, dan sang pemegang kaleidoskop adalah Tuhan. Setiap hari, Dia menggerakkan kaleidoskop perlahan, dan hari pun berganti, tak pernah menjadi sama. Apakah itu menyenangkan atau menyesakkan. That's life, nggak ada yang monoton di dunia ini. Hari ini saya bangun jam 8, besok saya bangun jam 6 pagi, mungkin besoknya lagi saya tidak tidur sama sekali. Kemarin saya patah hati, mungkin saja hari ini saya bersenang hati.

Well, the point is, saya sangat menyukai kaleidoskop, sama seperti saat saya menyukai kehidupan yang tak pernah monoton. Kaleidoskop berkepribadian banyak, sedangkan kehidupan selalu berputar dan tak sama. Nice, sweet and awesome. That's life and that's kaleidoscope.

Hal kecil ini membuat saya terinspirasi untuk memasukkan kata "kaleidoskop" sebagai judul cerita bersambung saat saya mengikuti program #30HariCeritaCinta , dimana saya harus posting 10 cerita bersambung (minimal) dengan judul besar yang sama.

Well, why must I use the rain words?
Soalnya saya sangat tergila-gila sama hujan. Kebetulan, hujan juga baik sama saya. Menganggap saya sahabat baiknya juga :) Hujan suka nemenin saya kalo saya lagi galau. Atau ada kalanya juga hujan menyamarkan air mata saya. Anyway, mungkin saja sebenarnya saya makhluk dari planet hujan yang turun ke bumi, makanya titik-titik hujan akrab banget sama saya.

So, it does make sense if I named my stories as : Halo, Kaleidoskop Hujan!
Please read my stories, sorry if I can't write'em well. But anyway, that's all of my words.
Enjoy!!


.kandela.sangpenceritahujan.

Kamis, 01 September 2011

Another Absurdia

Anggap saja nama kamu Kalkun, dan saya Ikan Mas. Kamu hidup di kandang Pak Tani sana, sedangkan saya tinggal di kolam cantik ini. Kamu berkawan dengan rumput, kupu-kupu dan jerami, saya bersahabat dengan batu, pelet ikan, dan larva manis yang mengapung peluh di sini.

Enam tahun. Bukan waktu yang sebentar untuk mengenal satu sama lain. Obrolan kita hanya seputar cacian dan makian. Kenapa kamu berlemak banyak, kenapa pipi saya pipih nggak jelas. Mengapa kamu suka buang kotoran sembarangan dan mengapa ludah saya banyak tertimbun dalam kolam. Dahimu tampak berkerut penuh, sirip saya pun mengembangkan sauh.

Kamu aneh, dan saya rancu. We're perfectly match for each other, right?

Batas dunia memang menghalangi saya untuk bertemu kamu. Saya, hanya bisa melihat kamu, mencela kamu lewat biasan air-air jernih di atas kepala saya. Lebih dari itu, alergi kulit kembali menyerang saya. Matahari nggak pernah bersahabat akrab dengan sisik-sisik di tubuh saya.  Dan kamu pun takut menyentuh air, "Dingin, ngapain sih ke sana!" ujarmu sambil berlalu.

Harga diri tinggi memakan habis nurani. Hanya butuh satu kalimat yang berkata, "Kita itu ambigu, absurd." Tak saling menyentuh peluh layaknya para kalkun pada umumnya, atau bergerumul layaknya ikan-ikan mas yang sedang jatuh hati. Saya hanya melihatmu dari jauh, dan kamu pun begitu. Seakan terpisah oleh kaca lunak yang menakutkan. Mungkin akan membuatmu tenggelam perlahan, atau membuat saya mengiris tipis.

Enam tahun. Kita itu apa?
"Kategori sendiri, ambigu." ungkapmu, sambil mengindahkan wajah saya, tepat di depan matamu.
"Ambigu?"
"Bukan teman, bukan kekasih, bahkan bukan musuh."
"Jadi?"

Ya, ambigu ini, tetap menjadi ambigu.
Saya tetap Ikan Mas di kolam batu, kamu pun tetap menjadi Kalkun menyebalkan, yang dahulu, saya harapkan, "Pergi kamu jauh!"

Dan sekalii lagi, kamu berkata, "Hubungan kita tuh ga jelas ya,"

Saya butuh kamu, dan kamu butuh saya, tapi terpisah kaca tak bernyawa.

Kali ini saya iri dengan para ikan mas yang bercanda mesra dengan para pasangannya. Mereka satu dunia, dan mereka bebas memanggilnya nama kesayangan, "Sayang," ujar mereka pada belahan hatinya. 

Saya? Apakah saya harus meluruhkan harga diri saya? Atau kah saya berubah menjadi putri duyung agar bisa naik ke daratan dan bertatap wajah denganmu? Sudah, cukup.

Saya tak pernah bisa jadi seekor Kalkun, dan kamu pun tak pernah bisa berubah menjadi Ikan Mas. :)

Walau begitu, sekelebat rasa panas dekat insang sedikit mengadakan pro-kontra dalam hati saya.

Dan sekali lagi, timbul pertanyaan, hubungan seperti apa yang kita inginkan?

Jelas.
Tak jelas.

Ambigu, ya, mungkin itu, saya, dan kamu.

#penceritahujan#010911#rumahmini#

Ini Harapan Terakhir Saya, Sampai Jumpa di Ingatan Selanjutnya!


Sepatah dua patah kata, bahkan beribu kata telah memenuhi seluruh otak seorang makhluk yang disebut manusia – yang konon katanya sudah mematung di depanku sekitar berjam-jam lebih. Dan sepertinya dari bagian kepalaku - kalian lebih sering memanggilnya dengan sebutan monitor – serta jantung hatiku yang berada di dalam CPU sudah mulai mengepul panas, pertanda sudah saatnya kami untuk beristirahat.

“Sebentar ya bray, saya pusing banget, anda istirahat juga gih!” ujar sang makhluk berhiaskan kacamata apik itu sembari mengelus-elus sang jantung hatiku tercinta. Melihat sosoknya yang tampak pucat kelelahan disertai mata pandanya itu membuatku merasa miris sebenarnya.

Aku hanya menyesalkan, kenapakah sang otak dalam bagian jantung hatiku ini sangat amat super lamban. Kenapakah program-program canggih di dalamnya tak dapat membantu pekerjaan sang sahabat tersayangku selama dua tahun terakhir ini?

Padahal, aku tahu dia sedang dikejar oleh waktu-waktu yang sungguh menyiksa. Tagihan artikel yang terdiri atas beribu kata yang seperti tak ada habisnya – yap, itulah yang menjadi sarapannya di pagi buta.  

Dan padahal aku tahu juga bahwa ide-ide briliannya telah mengalir begitu saja, melarut dan meleburkan diri bersamaan dengan berhembusnya nafas. Ah, padahal... dan padahal... Tetap saja aku tidak bisa membantunya.

Andaikan tiba-tiba sang superhero-ku datang menjemput, membawakanku seutas program abstrak tak terlihat, yang dapat membantu membawakan kembali para ide brilian yang gosipnya telah sedang berjalan-jalan ke langit atas sana, menjauhi diri dari kesibukan sahabatku tercinta. Karena untukku, buat apa aku hidup jika aku tak bisa membantunya. Menyesak, meredup, dan menyakitkan. Sungguh.

“Mas, ini mas yang mau diinstall ulang, semua datanya udah saya masukin di harddisk external ko mas.” Sayup-sayup kudengar sang sahabat berseru kepada temannya. Ah, install ulang, sepertinya rangkaian kata tersebut sangat familiar dalam otakku. Dan aku tahu, oke, aku tahu. Dia ingin menghilangkan ingatanku, memoriku, kisah manis yang telah terdata dalam kode-kode rumit dalam sistemku yang super canggih.

Jangan Tuhan, kumohon! Aku tidak ingin melupakan semua kenangan ini! Dia tak membiarkanku mengingat setiap jejak dan jerih payah yang telah kulalui bersamanya. Apa artinya, bila semua cerita manis ini terhapus begitu saja hanya dalam hitungan jam? Bahkan menit? Dan detik?

Cukup, cukup, cukup! Superhero, kuharap engkau datang lagi hari ini, dan memberikanku sebuah hadiah istimewa mala mini, program yang membuatku tetap mengingatnya, mengenang setiap langkah getirku bersamanya. Selamatkan aku dari mesin cuci otak tergawat di dunia ini, tolong lah aku Superhero!

.penceritahujan.berkhayal.

nb : jadi BOTN di Writing Session 8 Januari 2011 :)

>> http://writingsessionclub.blogspot.com/

Aku, Hanyut dan Akhirnya Lepas

Aliran air mengenai bebatuan hitam di atas sana, semakin ke bawah, sang air pun mengalir kian deras, menuruni setapak demi setapak undakan yang terjadi di jeram mini itu. Sepertinya pemandangan itulah yang harus kusaksikan kali ini, saat-saat ia akan melepaskanku bersama perahu yang muat dengan ukuranku, melalui air terjun yang semakin bertubi-tubi.

Aku tahu, begitu menyentuh air, nyawaku pun akan terhapus, luntur dan seakan hanyut ditelan derasnya air sungai. Ingatanku tentangmu – dan tentang manusia itu – akan segera memudar, seperti salah satu adegan dalam film Eternal Sunshine of The Spotless Mind, yang diperankan oleh aktor ternama yang selalu kamu sebut namanya, Jim Carey dan Kate Winslet. Berkali-kali kamu ucapkan, “Andai di dunia nyata, kita mengenal Lacuna.Inc, perusahaan yang bisa bikin aku ngelupain dia seutuhnya!” dan sekali lagi kamu ucapkan bahwa kamu ingin melupakan segenap kenangan bersamanya.

Merelakan dan melupakan adalah suatu hal yang sulit, teman. Setidaknya, kamu memiliki otak, dan ingatan, yang akan secara otomatis menyimpan data-data kenangan manis yang telah kamu rangkai bersamanya. Dan kamu ingin melupakan semua itu? Merelakannya pergi, untuk tak pernah kembali lagi?

Aku cemburu, aku sangat cemburu padamu, hey wajah manis yang berdiri di tepian sungai ini. Kamu bisa mengingat kisah-kisah indahmu itu dengan jelas, sedangkan aku? Aku hanyalah seonggok kertas yang dijilid dengan ring besi di tepiannya, bertorehkan coretan-coretan kata pelampiasan hati atas apa yang telah terjadi. Kamu dan aku, berkomunikasi di sini, dari hatimu, turun ke tangan, dan langsung menembus hatiku pelan-pelan. Ingatanku tentangmu, dan tentangnya, hanya terdapat dalam tinta warna-warni yang mulai menghilang ini.

Ingatanku saat pertama bertemu, saat kamu melihatku di sebuah toko kecil dengan interior nan rapi, bernuansa putih bersih di sana-sini. Aku ada di rak ketiga, di sebelah pojok kiri. Dan aku tahu, pertama kali kamu menatapku, kemudian menggenggam tubuhku erat, aku seakan berkata padamu, “Halo, aku memang tercipta untukmu, kawan!”

Tiga tahun, yaa.. tiga tahun indah bersamamu, suka, duka, tangisan histeris, sedikit ingus yang menggenang di permukaan kertasku, hingga mengalami rasanya dilempar olehmu, untuk kemudian dipeluk erat kembali. Tangan itu hangat, sangat hangat.

Dan kini, aku tahu, sudah terlalu pahit untuk tetap bersamaku, mengetahui setiap cerita yang kamu miliki, selalu berkisah di dalam tubuh-tubuh kertasku yang sudah mulai menguning. Untuk itulah, kamu harus melepaskanku, dari genggamanmu, bahkan dari ingatanmu.

Jika menurutmu ini berat, bagiku, melepaskanmu seakan menghempaskan nyawaku. Karena nyawaku, bergantung pada tinta dan kata-kata yang selalu kamu ungkapkan padaku. Karena seluruh hidupku, adalah untuk menjadi sahabat setiamu, menemani setiap perasaan kesepian ataupun bahagiamu.

Satu jeram..
Dua jeram..
Tiga jeram terlewati...

Dan akupun kian luntur, kertasku pun kian melunak, dan kemudian tersobek perlahan. Selamat tinggal, bersama air dan perahu kertas mini berwarna jingga, aku akan pergi, dan aku akan melepaskanmu - harus melepas seluruh nyawaku, yang merupakan kenangan dan kisahmu di permukaan tubuhku.
Terimakasih ya hey, terimakasih atas semuanya… 

-enamenamsebelas-tujuhpagi-lewatsebelasmenit-

nb : jadi BOTN-nya Writing Session pada Selasa, 07 Juni 2011 :) #ihiw