Jumat, 30 Desember 2011

Tentang Makhluk Matahari #1

Tahukah?

Hari ini saya mengintip sedikit wajahmu kembali dari sela-sela dunia maya. Lima menit yang biasa saya habiskan untuk membuka tirai jendela, melihat apakah kamu masih bersinar terik di sana atau malah meredup.

Saya kurang tahu, apa saya sanggup untuk mulai berbicara sejajar denganmu, yang saya tahu, mungkin seorang saya yang berasal dari Planet Hujan akan berwajah merah dan mungkin meleleh ketika saya bertemu kamu. Berbincang? Jangan harap, mungkin saya sudah tinggal nama kala itu.

Karena kamu makhluk dari Istana Matahari.
Dan saya manusia Planet Hujan.

*untuk kamu yang bermain harmonika di Istana Matahari sana*

Sabtu, 03 Desember 2011

Tentang Rianda #3

Gambar icon sebuah program antivirus ini mengingatkan saya tentang dia. Payung.
Absurd. Kemarin Rianda berkata bahwa ia seorang langit yang rindu pada bumi. Kemarinnya lagi pria penuh keganjilan itu bercerita bahwa profesinya adalah seorang pelukis pelangi.
Jadi sebenarnya siapa dia?

"Saya bercita-cita menjadi payung," ujarnya.
"Kenapa? Saya nggak masalah kalau kamu tetap menjadi seorang langit."
"Entahlah, saya lebih ingin menari bersama hujan daripada berdiam menanti bumi menampikkan daya magnetnya pada saya."

Ya, dan saya, mengandaikan diri saya menjadi hujan yang memberi nyawa bagi sebuah payung. Tepatnya bagi seorang Rianda.

.penceritahujan.

Kamis, 01 Desember 2011

Tentang Rianda #2

Setiap hari dia membawa tujuh kaleng penuh berisikan cat. Kausnya sudah berantakan, sengaja ia kenakan.
Pagi ini hujan lagi, Rianda justru berdiri dan berkata dengan wajah datarnya, "Saya mau melukis dulu, keburu hujannya balik lagi ke langit".
Saya menyusulnya dari belakang, putus-putus suaranya, samar-samar pandangan saya. Saya nggak tahu dia kemana dan ada dimana. Yang saya tahu, hari ini, dia akan melukis langit sebagai ucapan terimakasihnya pada hujan.

.penceritahujan.

Tentang Rianda #1

Tiba-tiba dia bercerita tentang hujan dan kemudian menghilang. Mungkin dia ingin mengirimkan kembali rasa rindunya kepada bumi melalui Pak Pos Hujan yang selalu manis menanti.
Kenapa dia bercerita pada saya?
Mungkin karena dia tahu, saya seorang jelmaan makhluk Planet Hujan.

.penceritahujan.

Kamis, 03 November 2011

Hujan, Pria Harmonika dan Aku


Yogyakarta. Benteng Vredeburg. Maret 2009.
Hujan, salah satu waktu favoritku, selain kabut pagi, matahari sore dan awan mendung. Jarang-jarangnya aku menemui para rintik air langit manis di kota yang identik dengan panasnya yang cukup menyengat. Yogyakarta. Ya, sepertinya kota ini mulai menepuk bahuku, mengakrabkan diri dan berkata, “Salam kenal, Syila.”
                                                       
Tapi sayangnya sore ini, hujan datang tak mengirim pesan pendek padaku terlebih dahulu, atau sekedar mengirim surat super singkat via BBM. Dia sama sekali tak menunjukkan bakal kehadirannya di pagi hari. Biasanya ia mengutus awan hitam untuk sekedar menyapaku dan berbisik, “Syila, hujan turun sore ini, lho”. Tapi tadi pagi, hanya langit biru yang bertengger di pemandangan mataku. Yogya panas, bung!

Ting-tong. Telepon selularku berdering sekali. SMS. Pesan pendek. Nona cantik, Gresha, sang ketua divisi acara dalam acara Temu Karya ini sudah menantiku. Pasti.

“Syil, kamu dimana? Aku udah di atas ya, kita bentar lagi ikutan workshop ketemu Dik Doank ya?”

“Iya bentar Gresh, gue kebasahan kali brew!” ujarku mendumel dalam hati.

Apa boleh buat. Aku tak membawa payung. Baju panitia berwarna putih yang kukenakan basah kuyup sekuyup-kuyupnya. Ada kalanya aku tak ingin hujan menghampiriku, seperti saat-saat seperti ini. Aku harus bertemu dengan seorang Dik Doank, selebritis ternama yang terkenal dengan upaya dan gerakan kemanusiaannya mendirikan sebuah Kandank Jurank Dik Doank, sarana bagi anak jalanan untuk ikut berkarya.

Ya sudah. Hujan dan aku adalah sahabat dari kecil, bahkan aku sering mempercayai bahwa aku merupakan jelmaan dari makhluk planet hujan. Aku yakin rintik hujan hari ini tak akan membuatku sakit ataupun sedih. Yakin seratus persen. “Betul kan hujan? Hujan sayang saya kan? Nggak kaya orang-orang yang udah ninggalin saya mentah-mentah bukan?”

Mari tembus hujan! Hujan, payungi saya ya.. saya sepertinya yakin ada sesuatu yang berharga di ujung perjalanan saya hari ini, makanya kamu datang dan berbisik sama saya, meneguhkan hati saya untuk menghampiri Benteng Belanda ini walau hujan lebat. Betul kan?

***

Booth
kampusku tampak lengang, tak ada yang menjaga barang seorang pun. Booth seluas 3 x 3 meter itu terasa sangat sejuk, bergaya urban bernuansa warna putih biru. Pameran Temu Karya Desainer Muda Interior Indonesia ini terlihat sepi. Ya iya lah Syila, ini kan sudah menjelang pukul 7 malam.

Tiba-tiba, alunan harmonika seakan menyentuh lembut kupingku. Irama blues kental seperti merasuk seketika. Sial. Siapa yang meniup harmonika secantik ini. Selain Hari Pochang – sang musisi blues ternama di tanah air – aku belum lagi merasa tertarik untuk mendengar komposisi harmonika seperti ini. Baru kali ini. Sialan. Kulihat di sekitarku. Kipas angin, sekat-sekat booth kampus peserta Temu Karya, tempat duduk yang berada di tengah area. Meja panitia. Tak kulihat satupun orang menggenggam harmonika. Dimana dia? Sang pemain misterius?

“Wooow, canggih bener lo maennya, bro!”

Suara ricuh diiringi decak kagum mengalir pelan dari booth yang tak jauh dari stand kampusku. Tertera namanya. Sebuah nama universitas kesenian terkemuka di Jakarta menghiasi ruang terbuka bersekat itu. Tampak seorang pria, kurus, berambut pendek ikal, dengan sepatu DocMart’s merah marun terpasang apik di kakinya. Ia dikelilingi teman-temannya, sembari menggenggam harmonika.

“Ha-ha, lo pada mau lagu apa lagi nih, enaknya dibarengin sama puisi kali, bray.” Akhirnya sang musisi harmonika bersuara juga.

Untuk pertama kalinya, seumur hidupku, waktu terasa berhenti barang beberapa detik. Fokus terhadap dunia sekitar terasa blur. Hanya penampakan pria itu lah yang kuingat. Irama dan alunan harmonikanya pun terus menerus terngiang dalam telingaku. Bahkan, sempat suara-suara itu bergerombol, bersatu padu untuk melakukan aksi slow motion. Sial, aku tambah memikirkan sang pemilik suara itu.

“Syil! Lo ngapain diem aja mematung gitu sih di luar, sini Syil sini..” Ah, itu Mia, salah satu sahabatku yang juga berkuliah di tempat yang sama dengan sang pria harmonika itu.

Suara Mia memang terpasang otomatis loudspeaker tanpa diputar menuju volume terbesarnya. Sang pria harmonika itu melihatku seketika. Mataku dan matanya bertemu. Sial. Dia sudah mulai memberiku laser-laser yang membuatku tak berdaya. Diam, membeku, freeze, menjadi kembarannya Malin Kundang, untuk sesaat. Kenapa harus dia melihatku saat mataku tak sengaja mengarah padanya. Sial!

Sang Pria Harmonika kembali memainkan persegi panjang kecil berongga itu lagi. Kali ini, irama blues dihantarkan oleh sepenggal puisi buatan kawan sejawatnya yang bekepala plontos. Sebuah musikalisasi puisi yang membuatku sesaat jatuh cinta.

Lima menit. Aku mematung di sana. Sendirian. Mia sedang bertemu dengan kekasihnya di luar stand. Tak ada orang yang kukenal di sekitarku, tapi aku tak peduli. Pria Harmonika itu telah membiusku dengan kloroform yang ia tanamkan dalam musik harmonikanya selama lima menit saja.

Ting-tong. Sial, HP berbunyi lagi. Pasti Gresha. Aku masih asyik menyaksikan penampilan sang pria Harmonika, dan tanggung jawab menantiku di luar sana.

Oke. Aku kalah sebelum berperang. Kutinggalkan stand penuh nuansa blues ini sesegera mungkin. Aku sama sekali belum berkenalan dengan sang Pria Harmonika hari ini. Masih ada hari esok. Masih ada hari esok, Syila. Besok, kamu harus mendatangi dia, tersenyum, dan berkata : Halo, Pria Harmonika, salam kenal, saya Syila.

***

Tiga hari berlalu. Yogyakarta belum terkena hujan lagi. Sepertinya hujan hanya datang ketika aku pertama kali bertemu dengan sang Pria Harmonika. Terpana jelas. Aku bahkan masih ingat T-Shirt merah marun bergambarkan The Specials yang menghiasi badannya. Aku juga ingat badan kurusnya yang sepertinya lebih ringan dariku. Bahkan aku pun ingat, bagaimana dia menatapku tajam. Lima detik untuk selamanya. Menyebalkan ya?

Dan selama tiga hari itu, apa yang kulakukan? Apakah aku menghampirinya dan berkata : Halo, Saya Syila, kamu siapa?”

No, it’s a big NO! Seorang Syila terlalu ciut untuk berkata hal demikian. Yang ada, aku sudah pingsan dan mimisan di tengah jalan.

Tiga hari berlalu dan yang bisa kulakukan hanya melihatnya dari jauh. Bagaimana kelincahannya, tawa-tawa mengejek hingga kata-kata kasar yang ia lontarkan. Aku sudah menjadi stalker sejati selama tiga hari ini, tanpa aku tahu nama dan nomor handphone. Dan tiga hari berlalu, nyaliku tetap penakut. Dia pulang ke Jakarta, aku pulang ke Bandung dan aku sekali lagi menjadi korban menyesal. Syila, kamu bodoh!

***

Jakarta. Mei 2011. Halte Busway Sarinah. Pukul Tiga Sore.
Kosong melompong. Tumben. Kenapa halte ini tampak lengang tanpa antrian yang begitu berarti ya? Mungkin karena hujan, orang malas menggunakan payung untuk berlibur keluar rumah. Hujan di Jakarta tak sama dengan hujan di rumahku, Bandung. Di sini, airnya terasa lengket, tak sejuk. Tapi tak apa, seburuk apapun bentuknya, hujan adalah hujan.

Hujan adalah saksi pertemuanku dengan sang Pria Harmonika. Setidaknya itu julukan yang kuberikan padanya sejak dua tahun lalu. Ya, bayangannya masih sering berjalan santai di otak kecilku, padahal aku tak mengenalnya sama sekali. Was it a kind of love at the first sight? Ah, omong kosong! Dia juga tak memikirkanku sama sekali bukan? Mungkin dia sudah melingkarkan sebuah cincin di jari seorang wanita cantik, yang pastinya sepadan dengannya. Bukan denganku.

Kumasuki busway, kosong. Heran. Seperti takdir yang ajaib, melihat Jakarta sedikit sunyi seperti saat ini, ditemani rintik hujan yang cantik, menempel di kaca jendela busway, seperti kaleidoskop.

Pluk! Sebuah dompet terjatuh tepat di hadapanku, milik pria yang duduk bersebelahan denganku, headset menguasai lubang telinganya. Bahkan dia tak sadar dompet kesayangannya jatuh.

“Mas, ini dompetnya jatuh,” ujarku sembari menepuk bahunya perlahan.

Pria itu mulai menoleh ke arahku. Untuk beberapa detik dia dan aku terdiam sesaat. Ya, sepertinya aku mengenalnya. Rambut ikalnya, badan kurusnya, sepatu DocMart yang tak kunjung berganti, bahkan T-Shirt itu bergambar The Special, tepat sama persis dengan orang yang membuatku terpana dua tahun yang lalu.

Ia menatapku dengan pandangan penuh tak percaya. Begitu pula denganku. Mata terbelalak untuk beberapa saat, Seperti mimpi, betulkah dia Sang Pria Harmonika? Masa iya, yang bener aja!

Namun sepertinya, reaksi kimia kembali bersinergi dalam tatapanku dan tatapannya. Hanya satu kalimat yang ia ucapkan kala itu, “Halo wanita hujan basah kuyup, saya Ogi, dua tahun lalu, bermain harmonika di Jogja. Kamu inget saya?”

Speechless! Aku tak tahu akan menjawab apa. Irama harmonika secara slowmotion kembali bergema di telingaku. Bayangan flashback pun menjiwaiku lagi. Ya, jelas sekali, dia adalah Pria Harmonika-ku.  (***)

nb : this short story is being published in the 2nd day of Nulisbuku's #11Days11Project :)

Kamis, 29 September 2011

#5 Hola Absurdia!

Absurd dan pertanda. Entah kenapa dua kata itu begitu menarik perhatianku. Oknum yang disinyalir memiliki keganjilan dalam batas kewajaranku selalu berhasil memasuki ruang imajinerku, berkomplot dengan spektrum-spektrum cahaya untuk menembus alam bawah sadar seorang Mirabilly Shialava. Tak terkecuali Rianda, pria ajaib yang kutemui di gerbong satu kereta Subuh Bandung - Jakarta.

"Wah, Mbak Mirabilly udah dateng dong, pagi banget." Pria berkumis berperut agak tambun itu membuyarkan lamunanku. Aku biasa memanggilnya Mas Udin. Ia selalu menjadi teman berbincangku bila kawan-kawan sekelasku belum datang.

Mas Udin adalah seorang tata usaha di gedung ini alias karyawan sibuk. Gedung berinterior serba putih ini merupakan tempat tujuanku setiap hari Sabtu tiba. Sebuah sekolah di bawah naungan kantor berita pertama di Indonesia, tempat para jurnalis handal lahir. Mochtar Lubis salah satunya. Bahkan namanya pun diabadikan dalam sebuah nama penghargaan, Mochtar Lubis Award, seperti Pulitzer Prize – sebuah penghargaan internasional tertinggi dalam bidang jurnalistik, bahasa dan seni. I do want it so bad!

"Hari ini materinya apa Mas Udin? Gurunya Kang Dadan ya?"

"Iya Mbak Billy, hari ini materinya apresiasi seni dan budaya Mbak, liputan keluar sih kata Kang Dadan,"

"Wah, kemana emang liputannya?"

"Ke Galeri Nasional kayanya, lagi ada pameran seni-seni gitu tuh."

"Oh ya? GalNas? Lukisan? Karya seniman senior gitu kah?"

"Bukan, katanya sih campuran gitu, karya seorang seniman muda, judul pamerannya : Absurdia."

Nice. Sekali lagi kosa kata itu menghantui hariku. Menyedot setengah dari penglihatanku, menuju bayang-bayang spektrum yang bergumul, berkomplot untuk membentuk sosok-sosok absurd yang pernah bernaung di pikiranku. Salah satunya Rianda. Hebat, pria gerbong satu itu sudah mulai menetap dalam otak kecilku. Absurd, ya, pria itu sudah mulai sedikit-sedikit mengalahkan posisi Rega dalam benakku. Rianda. Kamu absurd dan luar biasa.

***
Aksara Sunda kuno setinggi bahu di depan gerbang masuk GalNas ini begitu mengusik perhatianku. Terbuat dari bahan suede (sejenis material penutup sofa atau untuk bahan membuat sepatu), artwork ini menciptakan sebuah kombinasi antara sifat kasar, halus dan terlihat gagah. Seni instalasi, sebuah bentuk artwork yang sangat aku kagumi. Seperti jatuh cinta pada pandangan pertama, mataku berbinar-binar menatap sebentuk unik yang berdiri kokoh di depanku. 

“Kamu suka yang kaya gini Bill?” ujar Virsa, salah satu teman sekelasku dalam sekolah jurnalistik ternama di Indonesia ini.

“Gimana lagi, Vir, empat setengah tahun saya hidup dalam rasa cinta sama seni instalasi, gimana nggak bakalan kagum parah coba?” Mulutku menjawab, pandanganku masih menerawang, menelusuri instalasi-instalasi cantik yang tersebar di gerbang area galeri.

“Ini aksara Sunda lho, kemarin saya udah nanya ke senimannya, dia bilang artinya janggal,” ungkap Kang Dadan sembari membidikkan kamera SLR kesayangannya ke arah artwork unik itu.

“Pantes deh nama pamerannya Absurdia.”

“Jadi penasaran deh, siapa sih seniman di balik pameran ini?”

Ya, suara-suara itu seakan berkumpul dan bergerombol, menggema dalam dimensi dunia psychedelic milikku, yang mulai melayang-layang, menjadi backsound untuk ruang batas antara mimpi dan kenyataan. Karya-karya manusia tak dikenal ini telah membuatku memasuki blackhole kembali. Membangkitkan kenangan dan perasaan terpendamku pada seni instalasi yang seakan terlupakan. I love this kind of art!

Lamunanku sedikit terbuyarkan, saat Ganes – salah satu teman sekelasku – menepuk pelan bahuku, dan berkata, “Nama senimannya R. Pranata, Bill, tuh camkan, siapa tau cocok sama kamu, daripada bermuram durja mulu!”

“Ahaha, sial! Ga kali Nes, tega banget sih, kayanya orang ini udah banyak makan asam garam deh. Kamu nyuruh saya pacaran sama om-om ya?”

“Ya kali, Bill, kamu kan sukanya yang aneh-aneh.”

Sial, Ganes sialan! Memang sih, rasa penasaran sang seniman di balik pameran Absurdia ini cukup menghantui pikiranku, kembali membuat tubuh dalam dimensi bayanganku seringan kapas, terbang menyusuri lautan masa lalu yang sudah lama tersimpan, tertutupi program-program berjudul Microsoft Office dan kertas berhamburan. Sepertinya aku memang harus berterimakasih langsung pada Mas Pranata yang entah wujudnya seperti apa. Setidaknya, ia telah menghadirkan kembali kata-kata absurd dan seni yang telah kulupakan bertahun-tahun lalu. 

***

Galeri itu dipenuhi artwork cantik yang diletakkan dengan sangat apik. Mas Pranata sangat pintar menatanya, sehingga ambience berbeda didapat saat melangkahkan kaki di ruangan ini. Kutelusuri satu per satu. Pria absurd ini selalu menyuntikkan unsur luar angkasa ke dalam karya-karyanya.

Astronot, alien yang dibentuk seperti salah satu tokoh perwayangan bahkan istana cuaca pun ada di sana. Ah, istana cuaca, salah satunya adalah kerajaan hujan. Dan, terpampang rapi, sebuah kaleidoskop raksasa di sana. Damn, Mas atau Om atau Pak Pranata, seolah-olah isi dari pameran ini mencerminkan isi otakku. Hujan, kaleidoskop, absurd. I owe you so much, dear Mysterious artist!

“BIODATA”. Entah karena tulisan itu begitu besar, ataukah warnanya terlalu cerah, atau juga memang kosa kata itulah yang sedang aku cari di seantero ruangan galeri ini. Biodata, data pribadi. Pastinya, di sana akan terpampang, siapakah sebenarnya Mas Pranata yang absurd ini.

Nama : R. Pranata Priya

Nama yang cukup aneh. Jelas-jelas Mas Pranata berjenis kelamin pria. Untuk apa masih ada kata “Priya” di belakangnya. Huruf R yang bertengger di depannya pun masih misteri. Mungkinkah sebenarnya dia memiliki turunan Raden alias darah bangsawan?

Tempat / Tanggal Lahir : Bandung, 15 Oktober 1985

Wow, Bandung? Dia jelas-jelas lahir di Bandung, orang mengagumkan ini memiliki tanah kelahiran yang sama denganku, seorang Mirabilly.

Prestasi :
-    Pameran Seni Kontemporer di London
-    Pameran Seniman Kontemporer Asia Pasifik di Singapura

Masih berderet panjang kolom prestasi yang ia miliki, sungguh, Mas Pranata ini memang mengagumkan. Mataku seakan tercengang melihat deretan penghargaan dan pameran yang pernah ia ikuti. He’s awesome!

Baiklah, Absurdia! Pameran ini sukses sekali membuatku penasaran dengan Mas Pranata, seorang seniman yang gemar memasukkan nilai-nilai absurd ke dalam mahakaryanya. Tentunya, rasa penasaran ini kembali menjangkitiku, setelah rasa sesak yang terjadi saat aku kehilangan sang pria gerbong satu, Rianda.

Aneh. Kenapa aku bisa mendadak penasaran dengan dua sosok berbeda, dalam waktu yang cukup bersamaan. Apakah ini sebuah bentuk melarikan diri dari bayangan kutukan gerimis milik Rega? Tadi Rianda, sekarang Mas Pranata. What’s wrong with me?

***

“Maaf Mas, kalo Mas Pranatanya ada?” tanyaku pada salah seorang panitia yang berjaga di sana.

“Mas Pranata masih di jalan, Mbak. Maaf, kalau boleh tahu, Mbak darimana ya?”

“Oh, saya Mirabilly, ada tugas dari sekolah jurnalistik saya, untuk berbincang sedikit dengan Mas Pranata.”

“Oke, Mbak, nanti saya sampaikan ya, sebentar lagi sampai kok.”

Ah, baiklah, Mas Pranata. Kembali aku harus menunggu dan meredam rasa penasaranku ini. Aku tak tahu, seperti apakah bentuk dari Mas Pranata ini. Karya demi karya kuperhatikan hingga mendetail. Masih tentang luar angkasa, bumi, hujan, matahari. Tak ada satupun bentuk-bentuk kenarsisan dalam karya Mas Pranata ini. Bayangan tentang wajahnya pun sungguh abstrak.

Tiba-tiba, kulihat sorotan cahaya menuju arah sebuah lukisan. Aneh. Janggal. Ini seperti sebuah potret dirinya, dalam aliran lukisan kubisme, sebuah gerakan seni abad ke-20, menyerupai karya Pablo Picasso dan Georges Braque. Aku masih tak bisa menangkap sosoknya. Hanya tampak sedikit rupa kacamata, rambut panjang, dan yang pasti, ia lelaki.

Eh! Tunggu dulu! Guratan tanda tangan nyaris tak terlihat menghiasi kanvas setinggi badanku ini. Goresan milik Mas Pranata yang pasti. “Coretan ini begitu familiar, Mirabilly!” sepertinya pupil mataku berbisik demikian. Ya, tanda tangan ini terasa tak asing. Sangat tak asing.

Raden. Rindu. Ronda. Ah, déjà vu! Aku pernah mengalami hal ini beberapa jam yang lalu. Menatap lama sebuah guratan tangan bertuliskan nama. Ya, sekali lagi, mataku meyakinkan otakku, bahwa ini tanda tangan RIANDA.

I found love, didn’t even know I needed it
But I found love, never even crossed my mind
#nowplaying Free Design - I Found Love

-bersambung-

Senin, 19 September 2011

#4 Ini Ibukota, Dia Rianda

"Sebentar lagi Anda akan sampai di Stasiun Gambir Jakarta...."

Suara itu membangunkanku dari tidur lelap tanpa mimpi. Pemandangan kota Jakarta menghiasi jendela kaca yang semula menjadi kaleidoskop tercintaku. Mataku masih terlalu blur untuk menikmatinya. Samar. Keluarga mata sedang bersinkronisasi kembali, kembali dengan para syaraf2 manis setelah bangun dari tidurnya yang cukup, untuk kembali bekerja membantuku.

"Mbak, udah mau sampe Gambir," sayup-sayup suara itu hinggap di daun kupingku, menembus sang gendang telinga untuk kemudian dicerna oleh otakku.

Oh, sudah mau sampai Gambir ya. Eh! Kok ada orang di sebelah saya?? Sontak aku pun terkaget-kaget melihat sesosok pria menempati kursi sebelahku. Kursi F gerbong satu.

Si pria gerbong satu yang tersenyum hangat itu, dia duduk manis di sebelahku, sembari menggenggam tas selempang berwarna coklat ladu. Seemed old-fashioned but everlasting. Nice bag. But anyway, kenapa sampai pria ini ada di sebelahku?

"Eh, kamu kenapa disiniii???" ujarku sedikit bernada tinggi saking shocknya.

"Ini handphonenya Mbak ketinggalan di WC," sambil tersenyum kecil, si pria misterius itu menggenggam smartphone hitam kesayanganku.

Ah, bodoh sekali memang, bahkan telepon selularku saja terlupakan gara-gara lamunanku tentang Rega, si pria pemberi kutukan gerimis itu. Kenapa juga harus tertinggal di kamar kecil tempat kubuang kenangan manis bersama Rega, dan kenapa juga harus sang pria ajaib ini yang menemukannya.

"Makasih yes.. Saya nggak sadar malah kalo handphone saya ketinggalan mas.."

"Padahal coba saya berniat jahat ya, mungkin aja handphone Mbak udah saya jual lagi, lumayan tau Mbak, hari ginii.."

"Untungnya Mas orang baek tapi kan? Haha, kalo nggak baek ngapain balikin handphone saya,"

"Siapa bilang gratis?"

"Lah, jadi bayar?"

"Bayar dong, hari gini nggak ada yg gratis Mbak,"

"Yah masa bayar sih???" ujarku kecewa. Agak-agak takut juga, masa iya dia seperti Mas-mas pembajak kereta api yang waktu itu sempat menimpa kereta api menuju Cirebon. Kalau iya, berarti saya penasaran dengan orang yang salah, damn!

"Mbak, bayarannya saya mau minta Milo kaleng yang ada di meja Mbak, boleh?"

Langsung kuperhatikan meja kecil di hadapanku. Ya, kaleng berwarna hijau itu memang terpampang di sana, tapi aku yakin itu bukan punyaku. Aku tak membeli apapun dari semenjak aku melangkahkan kaki di gerbong ini.

"Bu-bukan punya saya kok, Mas,"

Dia tampak mengacuhkan kata-kataku, sembari asyik mengeluarkan sesuatu dari tasnya, "Nah, ini kembaliannya, Mbak, kelebihan tuh bayarannya."

Pria aneh itu memberikan secarik kertas bergambar mirip dengan sketsa uang kertas Indonesia, hanya gambar pahlawannya diganti dengan sosok perempuan yang sedang terlelap, oh baiklah, itu aku. Mulut terbuka seperti ikan mau dipancing, bahkan ia membubuhkan kawat gigi dan juga tahi lalat di bawah kiri bibirku. Detail!

"Eh, kapan kamu ngegambarnya?"

"Ahaha, saya pernah mimpi ketemu sama orang persis kamu, ketinggalan tiket dan HP, ceroboh dan panikan, dan tukang ngelamun juga. Makanya saya apal banget raut muka kamu kaya apa."

"......."

Hening, aku tak tahu akan berkata apa. Ini cuma sekedar gombal. Mentang-mentang aku orang yang mudah luluh oleh pertanda alam, banyak orang yang memanfaatkan kebodohanku ini. Sejak Rega berlalu, aku tak percaya pertanda, semua itu seperti gombal bagiku.

But, anyway, darimana dia tahu bahwa aku tukang melamun?

"Nih, simpen ya Mbak, jangan ketinggalan tiket sama HP lagi, saya duluan ya, Gambir udah sampe tuh," dan pria misterius itu langsung berlalu bersama postman bag yang ia selempangkan.

Otakku mulai lambat bekerja. Sepertinya asupan oksigenku kembali tersumbat untuk berjalan ke otak. Hati yang bermain di sini. Aku hanya bisa berdiam diri, speechless dan moveless.

Satu, dua, tiga....

Barulah tiga detik kemudian aku menyadari, pria itu hilang entah kemana dan aku tak sama sekali bertanya namanya, alamatnya, apapun tentangnya, sampai nomor kontaknya. Come on Billy, ini kan bukan jaman urdu yang belum mengenal teknologi handphone, internet, atau telepon. Damn, I've lost my superhero, again.

Kuambil tas selempangku dengan segera. Langsung saja kuarahkan langkahku menuju pintu keluar gerbong satu ini. Sang pria penyelamat di dalamnya sudah raib entah kemana. Otakku pun terlampau terlambat mencernanya. Bodoh, bedon, tolol!

Sempat kuputari daerah sekitar gerbong-gerbong itu, pria berambut terikat berkostum T-Shirt tye dye gambar Beatles, blue jeans dan converse hitam putih. Damn, he's actually gone!! Tak ada penampakan seperti itu di antara orang-orang sebanyak ini.

Where the hell are you???
Sekalinya aku menemukan orang yang bisa menghilangkan sedikit kenanganku tentang Rega, dan aku menyia-nyiakannya begitu saja. Bahkan lebih tepatnya, aku tak tahu sama sekali, siapa dia, darimanakah dia dan akan kemanakah dia. Yang aku punya, hanya kenangan manis tentang kaleidoskop hujan, gerbong satu, dan secarik kertas uang mainan bergambar wajahku.

Kuambil secarik kertas dari kantong jeansku. Kuperhatikan sedikit ilustrasi bodoh uang-uangan hasil iseng ini. Hehe, sial, dia menggambarkan sosok tidurku ini jelek sekali. Bahkan ada cairan-cairan samar yang tampak keluar dari mulutku. Aku kan tak seperti itu. Dia hiperbola!

Ehm, sebentar, di bawah air-air liur menyebalkan yang ia gambarkan itu, terlihat segurat garis, lama-lama kuperhatikan dia membentuk nama. Tanda tangan kah??

Kubaca perlahan sembari duduk di tangga hijau Stasiun Gambir. Ini tanda tangan yang tak terlalu membingungkan, simpel dan sederhana. Pasti aku bisa membacanya. Pasti.

Ri, ri.... Rinda, rindu, rendi, ronda, rendra, ..... Oh, bukan. Rianda. Ya, nama pria misterius di gerbong satu itu adalah Rianda.

I think that possibly maybe I'm falling for you
Yes there's a chance that I've fallen quite hard over you.
- Landon Pigg - Falling In Love at The Coffee Shop

-bersambung-

http://30hariceritacinta.blogspot.com/

Sabtu, 17 September 2011

#3 Pria Gerbong Satu

Pria gerbong satu. Itu saja julukannya. Aku bingung akan menamainya apalagi. Sepertinya dia semacam Charlie Chaplin atau Mr.Bean yang minim mengeluarkan kata dari mulutnya. Oh maaf, ralat, dia itu seperti patung yang baru belajar menjelma menjadi manusia, hanya sedikit bergerak ataupun berbicara. Kalimat terakhir yang muncul dari mulutnya adalah, "Sama-sama ya Mbak," dan aktivitas terakhir yang ia lakukan adalah menempelkan kertas bergambar senyum di kaleidoskop hujan, kaca kereta gerbong satu.

Kursi dan jendela kaca membentuk jarak, menyerupai semacam lubang intip. Di sana lah aku berusaha mendeteksi seperti apa rupa pria misterius yang telah menolongku tadi pagi. Bayangkan, sudah hampir setengah perjalanan – dari langit gelap, berganti menjadi gradasi biru ke ungu, hingga warna spektrum matahari terbias kabut pagi – aku masih belum sanggup menyapa atau sekedar melihat wajahnya. Hanya sepertiga. Bagian setengah senyuman, setengah batang hidung dan sebelah mata.

Berbagai cara kulakukan untuk mengintip sang superhero tiket yang satu ini, tapi hasilnya, NI – HIL ! Yang kudapatkan hanya pemandangan punggung yang terbalut jaket hitam, kulit tangan yang agak kecoklatan dan rambut panjang ikal terikat rapi. Dalam genggamannya, teronggok manis sebundel majalah berwarna kuning pada covernya. Sebuah majalah ternama, yang tak salah lagi, menjadi salah satu cita-cita tujuan pekerjaanku kelak – seorang travel writer.

So the point is, aku sedang berada dalam sebuah titik tertinggi rasa penasaran nan menggebu-gebu. Namun Sang Penasaran rupanya bertarung sengit dengan Si Gengsi yang terlalu tinggi dalam diri seorang Mirrabilly Shialava. Sial. Sepertinya dalam diriku, kedua pihak ini sedang baku hantam hingga lebam-lebam. Atau juga terjadi pertumpahan darah bak film-film perang seperti 300, Braveheart ataupun Bands of Brother.

Tengtengterengteng! Rasa gengsi mengibarkan bendera putih tanda menyerah. Sang Penasaran mengalahkannya dengan telak. "Baiklah, ayo Mirabilly, kamu bisa!" ujarku dalam hati, seolah sedang membawa bambu runcing, maju menuju medan perang.

Sontak aku berdiri meninggalkan kursi F dan kaleidoskop hujan raksasaku. Sungguh, jika aku tak bisa menyapa sang misterius ini aku bersumpah akan membuat web atau blognya saat aku pulang nanti. Aku-ingin-menyapa-pria-gerbong-satu-dot-kom.

Kulangkahkan kaki menuju kursinya dan............ OK, baiklah, dia tidur saudara-saudara! Terlelap dengan wajah tertutup jaket, tangan menyilang dan bertumpu kaki. Sial. Mana bisa aku melihat sisa dua per tiga yang terhalang oleh kursi dan jarak-jarak tak menentu ini. Yang bisa kutangkap adalah, pria misterius ini bercelana jeans, so casual, dengan sepatu converse hitam putih semata kaki, sama persis dengan yang sedang kukenakan kali ini. Sisanya, aku hanya melihat tampak depan yang terbalut jaket hitam tebal.

Daripada terlanjur malu karena berdiri mendadak, aku pun berniat mengunjungi toilet yang terdepat di sambungan gerbong satu ke gerbong lainnya. Sial, sekalinya gengsi gue kalah, eh si bocah oknum pembuat peperangan ini malah tidur.

Kubuka pintu toilet perlahan. Baiklah, sebenarnya kan aku tak ingin buang air kecil atau apapun. Aku hanya duduk di atas kloset, dan melamun. Renungan kloset, demikian julukanku. Toilet, kloset dan hal-hal lain yang berbau sanitasi memang spot yang paling cocok untuk melambungkan awan-awan lamunan, atau bahkan keluhan dan air mata. Tak jarang aku menelepon Rega di sana. Atau hanya sekedar mengirim pesan dan berkata "Saya lagi renungan kloset lho". Bahkan kloset pun menyimpan kenangan bersama Rega. Rega is all around.

Sudahlah, 5 menit cukup untuk membuang semua keluhanku dan awan-awan lamunanku tentang Rega. Rega Petrichor, si pria pembuat kutukan gerimis yang hinggap di pori-pori kulitku, menyusup melalui tangkapan cahaya oleh pupil mataku, bahkan ikut masuk melalui gendang telingaku. Kenapa sih saya nggak bisa semudah itu ngelupain kamu, kaya kamu ngelupain saya?

Pintu toilet pun kubuka. Dengan wajah tertunduk dan lesu aku mengambil langkah keluar dari stainless flooring itu. Eh, sepertinya ada orang yang sudah menungguku keluar toilet dari tadi. Aku melihat sosok itu dari bawah ke atas, dalam slow motion style. Converse hitam-putih, jeans, T-Shirt tye-dye bergambar The Beatles, dan..... ya, itu dia. Sang pria misterius yang ingin kuucapkan kata terimakasih, karena telah menjadi penyelamat tiketku. Dia si pria gerbong satu.

Sesaat, waktu pun seakan terhenti. Freeze! Seperti di film-film layar lebar luar negeri. Angle kamera pun berubah-ubah. Diputar perlahan, masih dalam freeze motion. Wajahnya panjang sedikit membentuk persegi panjang. Matanya besar, bulat, namun agak menyipit ke arah pelipis. Menusuk, seperti elang. Rambutnya ikal menuju keriting, terikat konde dengan rapinya. Oh, inilah wajah asli sang pria gerbong satu.

Dia tersenyum. Senyuman yang ia lontarkan dari sela-sela kursi kereta. Bentuk bibirnya bahkan sama persis seperti bentuk smiley face yang ia gambarkan di kertas tadi. Senyuman sepertiga yang kini kulihat bersatu dengan dua per tiga bagian yang samar dari pandangan kursi F tadi. He has a very good way of smiling.
"Eung... mau ke toilet?" Tingtong! Pertanyaan bodoh malah kulontarkan dari mulutku. Bego! Bedon! Benga! Tolol! Jelas-jelas dia menungguku keluar dari toilet, karena dia juga berurusan dengan kloset, wastafel, tissue toilet dan lantai-lantai stainless kereta itu. Mirabilly, kamu suka bego deh.

"Iya..." suara berat itu terlontar lagi. Suara yang telah menolongku hari ini. Apakah dia superhero yang Tuhan kirimkan untukku, ataukah utusan planet hujan yang tak ingin aku mendayu-dayu pada sang pria gerimis?

Kembali ke dunia nyata, aku memasuki gerbong satu kembali. Rasa penasaranku sudah tuntas. Aku sudah melihat wajahnya. Dan mungkin dia sedang bergumul bersama awan-awan lamunan tentang Rega yang baru kutinggalkan di sana. Mungkin akan tetap di sana, atau akan kembali mengejar untuk menghantuiku kembali.

Sudahlah, hari ini, rehat sebentar ya awan-awan kenangan Rega. Aku lelah. Ingin istirahat, barang sehari saja. Ya?

Kembali menduduki kursi F di gerbong satu, kembali lagi menatap kaleidoskop hujan dengan titik-titik air yang mulai mengering, dibawa pergi oleh spektrum cahaya cantik untuk kembali menghadap istana hujan di atas awan. Kembali membenamkan diri dalam playlist gerbong satuku dalam iPod, dan memejamkan mata perlahan.

That my heart has been captured by your funny little smile
Finally I'm happy if only for a while.

#nowplaying Alexander Rybak – Funny Little World.

:)

-bersambung-

#2 - Kursi F Gerbong Satu

Kaleidoskop Pagi (taken by me)

Mimpi menyebalkan datang lagi. Rega, gerimis, hujan, taman. Menyebalkan. Rasanya lelah untuk terbangun dalam keadaan mata sembab dan seperti panda. Air mata juga sepertinya bosan terus-terusan berlinang di permukaan pipiku.

"Kami pengen istirahat, Nona Mirabilly, udah dong jangan paksa kami kerja dulu," bisik para tetesan air mata ini ke telingaku.

"KUKURUUUYUUUK! Bangun,bangun,bangun!"

Sial, suara Pinkayam membuatku kaget, lamunan dan spektrum mimpi tentang Rega terhapus sudah. Wajah Pinkayam - sang weker berbentuk ayam merah muda - seakan berkata, "Bangun, Mirabilly, ini kan hari Sabtu!"

Sabtu. Pukul 4 pagi. Mandi air hangat. Rutinitas akhir pekan menantiku. Stasiun bernuansa biru peluh pun telah menungguku dengan sabar. Ya, kesibukan yang tak berarti seakan wanita karir yang hobi wara-wiri ini, dapat membantuku melupakan sang oknum pria gerimis itu.
***

"Argo Parahyangan, gerbong satu di lajur empat, Mbak, lima menit lagi berangkat," sahut pria berkostum hitam-putih ala penjaga keamanan suatu bangunan.

Luar biasa, jarum jamku terdiam membeku tak bergerak barang satu mili pun. Lima menit atau tidak sama sekali. Langkah seribu pun aku ambil, tak pandang area di sekitarku. Semua seakan blur dan samar, seperti menggunakan aperture rendah di kamera SLR. Fokusku hanya diarahkan pada pintu masuk gerbong kereta bertuliskan angka satu.

Walau undakan menuju gerbong kereta nan tinggi itu sudah dilepas, tak ada salahnya memanfaatkan hobiku di masa kecil, memanjat. Semen yang menempel pada tiang-tiang pondasi pun kunaiki. "Masa gini doang gua gabisa," ujarku dalam hati.

Dan...hap! Lompatanku cukup mengguncang gerbong bernuansa eksterior abu-abu. Maaf ya kereta, jangan salahin saya kenapa saya bertambah berat. Salahin mama saya aja gimana yang rajin banget ngasih saya makan sampai saya selebar ini?

Aku pernah mengalami berada di gerbong kedua, ataupun gerbong tiga. Menapaki kaki di gerbong satu kelas eksekutif menuju Jakarta merupakan salah satu pengalaman baru. Aku ingin mencoba satu per satu kursinya, mendudukinya perlahan bahkan ikut berjam-jam mengenalnya.

Sepi. Gerbong ini seakan hanya diisi oleh beberapa penghuni. Luar biasa sempurna. Perfecto! Bukankah ini yang aku dambakan? Sebuah tempat melamun yang hening dan bebas gangguan?

Kursi mana ya, kursi J, kursi I. Hmm.. Oh, kursi F, baiklah. Tempat duduk dan jendela yang raksasa seakan memanggilku dengan manisnya. Aku memang sangat suka menebar dan melambungkan awan-awan lamunanku di spot cantik seperti ini. Kereta Subuh, jendela kaca, embun pagi dan titik-titik gerimis lagi. Baiklah, gerimis lagi, gerimis lagi.

Rega, pagi, dan gerimis. Please Rega please.

Still everyday I think about you
I know for a fact it's not your problem.
But if you change your mind you’ll find me
Hanging on to the place
Where the big blue sky collapse

~ Adhitya Sofyan - Blue Sky Collapse
***
Spektrum warna-warni, kepingan demi kepingannya melayang ke arahku. Memecah gelap yang menguasai pandanganku. Sekali lagi, cantik sekali, seperti sedang mengintip lubang kaleidoskop.

Di antara soundtrack dunia kaleidoskop "Hoppipolla" yang dilantunkan suara emas Jonsi bersama  Sigur Ros, samar-samar terdengar suara, "Maaf Mbak, tiketnya mana ya?"

Tingtong! Spektrum-spektrum tadi seakan buyar. Kepingan kristal kaleidoskop terhisap memasuki blackhole dalam pikiranku, kemudian berganti menjadi pemandangan seorang pria berkumis lebat berkostum biru tua, dengan bentuk seragam mirip tentara.

Oh! Ternyata dia kepala masinis yang berkeliling untuk mengecek tiket milik penumpang, satu per satu. Dan aku tertidur pulas, selepas kereta berangkat dan headset mencolok telinga.

Langsung saja aku panik. Mencari kemanakah tiketku berada. Di saku, di tas, di dompet, alamakjang! Masa iya hilang? Pucat pasi berkolaborasi dengan kaget mendominasi ekspresi wajahku. Kumis sang masinis seakan mau mengusirku perlahan. Wajahnya tampak galak, mirip dengan salah satu tokoh di serial kartun Crayon Sinchan. Mirip sekali.

"Pak, ini tiketnya Si Mbak yang itu, tadi jatuh di jalan," ada suara cukup berat menyahut di balik kursi depanku. Kemudian Pak Masinis mengambil lembaran kertas keras tersebut, lalu memberikannya padaku. Aku terdiam seketika.

Aku hanya melihat tangannya yang sekilas memakai jam tangan hitam dan jaket berwarna hitam pula. Sudah. Itulah yang aku tangkap dari penyelamatku kali ini.

"Mmm, Mas, makasih ya," ujarku sambil mengintip dari sela-sela kursi kereta. Terlihat sedikit perawakan yang ia miliki. Jaket hitam serta rambut terikat.

"Sama-sama ya Mbak," pemilik suara itu kemudian menoleh melalui sela-sela kursi yang berbatasan dengan kaca. Senyumnya sedikit terlihat. He has a very nice smile, eventhough I don't see it clearly, aku cuma melihat sepertiga wajahnya saja.

Titik-titik gerimis manis menghiasi kaca kereta lagi. Hujan, cantik sekali. Seperti kaleidoskop. Kaleidoskop hujan.

Di antara sela-sela perhimpitan kursi sang pria misterius dan kaca, tiba-tiba tertempel kertas bergambar senyum di tengah-tengah kaca kaleidoskop ini. Si pria yang tampak sepertiga, sekali lagi, menoleh sedikit dan tersenyum ke arahku.

Buru-buru kucari kertas dalam tas, menuliskan sesuatu, dan bubuhkan selotip seadanya.

"THANK YOU" dengan tinta spidol warna merah kutaruh apik di bawah tanda senyum.  Bersama bersanding di balik kaleidoskop yang Tuhan ciptakan dari kaca dan hujan. Halo pria gerbong satu, salam kenal.

#NowPlaying Cranberries - Dreams.

-bersambung-

http://30hariceritacinta.blogspot.com/

#1 - Kutukan Gerimis

Kaleidoskop Hujan (taken from www.lindsayfield.wordpress.com)

Aku, dia, diam tanpa mengucap sepatah kata pun. "Ayo kita menikmati pertanda terakhir dari saya dan kamu," ujar pria bermata coklat yang selalu aku kagumi itu. Petrichor, aroma tanah terkena hujan pun turut bergumul erat di hidungku. Titik-titik air kembali mengenai ujung jari tanganku. Pemandangan yang seharusnya sangat aku sukai.

Damn, buat kamu ini pertanda. Tapi buat saya, ini kutukan! Rasanya ingin aku melontarkan kata-kata tersebut tepat di depan wajahnya, dengan mata coklatnya yang sayu, serta air muka melankolis. Sialan, mulutku seakan terkunci rapat. Ada gembok tak terlihat yang menutup erat dan mencekik leherku. Suaraku tak mau keluar, sama sekali.

Yang pasti, mungkin aku akan memasukkan fenomena ini ke dalam Guiness Book Record milikku sendiri. Dia telah menanamkan sejuta kenangan dalam otakku, data pikiran pun seolah termanipulasi. Mungkin sebenarnya, lelaki yang sangat mendominasi pandanganku ini adalah tukang install ulang ingatan, menghilangkan semua kisah sebelumnya, untuk diisi kembali oleh 1 Terra file yang dipenuhi wajahnya beserta kisah-kisah filmis kami.

Atau mungkin, dia memiliki jimat, aji mumpung, atau mantra tersendiri yang ia bisikkan pada hujan. "Hujan, semoga dia selalu mengingat saya saat kamu menyentuhnya." Entahlah itu mantra pelet atau pesugihan dan pertapaan yang dia lakukan di sebuah goa Antah Berantah.

Entahlah. Bisa jadi dia menggunakan bahasa Icelandic ala Sigur Ros, sebuah band post-rock yang membuatku tergila-gila seketika, mengingat setiap saat bermain hujan bersama sepeda tua miliknya. Dia tahu, mantra berbahasa Iceland begitu mengena di hatiku, dimana dipercaya bahwa di kawasan yang penuh akan hamparan putih itu, tinggal lah kerajaan peri layaknya para Elf di film legendaris, Lord of The Ring. Mungkinkah dia peri yang diceritakan dalam tembang "Staralfur" kesayanganku kah? Sialan.

Apakah jati dirinya yang asli adalah monster hujan, yang diturunkan ke bumi untuk mengusik kehidupanku. Sepanjang nyawaku, aku akan dinaungi oleh kutukannya, setiap kali air hujan hinggap, hanya di satu titik tubuh, racunnya akan menyebar hingga merasuki hatiku. Ini lebih menyakitkan daripada benar-benar terkena serangan kamehameha, terhunus golok pembunuh naga ataupun sinar laser ala monster masa kini. Serangan dari dalam, keji!

Sial, untuk apa dia dulu menjuluki perempuan hujan padaku dan menganggap dirinya adalah pria gerimis yang selalu datang sebelum hujan tiba. "Ini aneh ya, setiap saya ketemu sama kamu, pasti hujan, this is really a sign," ujarnya beberapa bulan yang lalu. Ya, fenomena – yang dia sebut sebagai pertanda – memang selalu mengelilingi kehidupanku dan kisahnya. Pertanda, yang lebih mirip kutukan, membuatku sangat tak bisa mengenyahkannya dalam pikiranku.

What for? We're really over now.

Air hujan kala itu bercampur dengan tetesan air mataku, menciptakan sajian saripati pahit tak hanya di lidah. Mengalir deras, beranjak menuju bibirku yang masih terkatup. Hanya getaran-getaran menahan tangis yang kurasakan. Rasa asin ataupun pahit sudah tak lagi mampir di lidahku. Cuma satu kata yang aku tahu, sakit, terkena racun dan kutukan hujan, yang sekali lagi kamu sebarkan kepadaku.

Datang dan pergi dan datang lagi dan pergi lagi. Kutukan lainnya yang telah ia berikan padaku. "Mirabilly, saya sayang sekali sama kamu, makanya saya harus pergi."

Kata-kata sayang membuatku tak pernah benar-benar membencinya. Bahkan terkadang, kutukan itu membuatku merasakan kehadirannya, yang tak ada lagi di taman ini, tak ada lagi bersamaku saat ini. Dia meninggalkanku, seperti gerimis yang menyurut dan menjauh ketika sang hujan besar tiba. Kutukan hujan ini seperti zat adiktif bagiku. Walau sang tukang kutuk menjauh dan menjauh dan menghilang, tapi aku tak pernah bisa benar-benar membuang ingatanku.

"Billy, bangun! Subuh dulu," suara itu membuyarkan spektrum-spektrum warna, entah darimana, yang menghiasi pandanganku yang gelap. Mataku terbuka, sembari merasakan air mata membasahi pipiku. Aku menangis lagi.

Tik..tik.. jendela kamarku terkena tetesan air Illahi. Subuh-subuh begini, hujan sudah datang menghampiriku, menemaniku yang berada dalam suasana hati tak karuan. Dalam sekejap, kaca-kaca jendela ini tampak samar, blur, penuh dengan titik-titik cantik. Seperti membiaskan cahaya matahari terbit pagi ini. Seperti kaleidoskop.

Entahlah, apakah hujan ini kutukan, ataukah ini doa yang Rega kirimkan untukku. Rega, ya, pria gerimis yang menguasai tiga perempat dunia mimpi dan alam bawah sadarku ini. Rega, kamu dimana?

#NowPlaying Regina Spektor - Raindrops.

-bersambung-

http://30hariceritacinta.blogspot.com/

Halo, Kaleidoskop Hujan! : Kata-kata Saya

Kaleidoskop. Namanya cukup rumit. Mirip-mirip seperti mikroskop, stetoskop ataupun teleskop. Keluarga -skop tepatnya. Apakah itu marga? Ataukah itu nama keluarga? Atau jangan-jangan itu julukan kebangsaan kehormatan, seperti "Sir" atau "Kanjeng Ratu" dan sebagai macamnya.

"Ini apa Yah, teropong?" tanyaku saat Ayah memberikan bongkahan tabung merah sepanjang kira-kira 20 cm ke genggamanku.
"Bukan, ini Kaleidoskop," Ayah menjawab sembari melihat ke arahku yang kala itu masih berusia 8 tahun.
"Buat apa ini, sama kaya teropong apa bisa liat bulan kaya teleskop?"
"Bukan, Kanneu, spektrum cahaya bisa dibiaskan lewat cermin-cerminnya, dan diterjemahkan oleh kerikil warna-warni di dalamnya. Bagus!"
"Mana, mana..."

Spektrum cahaya matahari, seakan terpantul sana-sini, membuat sebuah bentuk dan warna berbeda-beda setiap kuputar barang satu gerakan kecil saja. Bongkahan tabung merah ini merupakan harta karun saya ketika itu. Bahkan sampai detik ini.

Kepribadian ganda itu menyebalkan. Namun beda dengan kaleidoskop. Karena kepribadiannya yang selalu berubah-ubah setiap saat itulah, kaleidoskop tak pernah terlihat monoton dan membosankan. Sedikit gerakan dalam tabungnya membuat kaleidoskop tiba-tiba berubah, dari manis menjadi gagah, dari hangat menjadi dingin, dari merah menuju biru.

Familiar? Kaleidoscope is similar with life, buddy.

Kaleidoskop itu hidup, dan sang pemegang kaleidoskop adalah Tuhan. Setiap hari, Dia menggerakkan kaleidoskop perlahan, dan hari pun berganti, tak pernah menjadi sama. Apakah itu menyenangkan atau menyesakkan. That's life, nggak ada yang monoton di dunia ini. Hari ini saya bangun jam 8, besok saya bangun jam 6 pagi, mungkin besoknya lagi saya tidak tidur sama sekali. Kemarin saya patah hati, mungkin saja hari ini saya bersenang hati.

Well, the point is, saya sangat menyukai kaleidoskop, sama seperti saat saya menyukai kehidupan yang tak pernah monoton. Kaleidoskop berkepribadian banyak, sedangkan kehidupan selalu berputar dan tak sama. Nice, sweet and awesome. That's life and that's kaleidoscope.

Hal kecil ini membuat saya terinspirasi untuk memasukkan kata "kaleidoskop" sebagai judul cerita bersambung saat saya mengikuti program #30HariCeritaCinta , dimana saya harus posting 10 cerita bersambung (minimal) dengan judul besar yang sama.

Well, why must I use the rain words?
Soalnya saya sangat tergila-gila sama hujan. Kebetulan, hujan juga baik sama saya. Menganggap saya sahabat baiknya juga :) Hujan suka nemenin saya kalo saya lagi galau. Atau ada kalanya juga hujan menyamarkan air mata saya. Anyway, mungkin saja sebenarnya saya makhluk dari planet hujan yang turun ke bumi, makanya titik-titik hujan akrab banget sama saya.

So, it does make sense if I named my stories as : Halo, Kaleidoskop Hujan!
Please read my stories, sorry if I can't write'em well. But anyway, that's all of my words.
Enjoy!!


.kandela.sangpenceritahujan.

Kamis, 01 September 2011

Another Absurdia

Anggap saja nama kamu Kalkun, dan saya Ikan Mas. Kamu hidup di kandang Pak Tani sana, sedangkan saya tinggal di kolam cantik ini. Kamu berkawan dengan rumput, kupu-kupu dan jerami, saya bersahabat dengan batu, pelet ikan, dan larva manis yang mengapung peluh di sini.

Enam tahun. Bukan waktu yang sebentar untuk mengenal satu sama lain. Obrolan kita hanya seputar cacian dan makian. Kenapa kamu berlemak banyak, kenapa pipi saya pipih nggak jelas. Mengapa kamu suka buang kotoran sembarangan dan mengapa ludah saya banyak tertimbun dalam kolam. Dahimu tampak berkerut penuh, sirip saya pun mengembangkan sauh.

Kamu aneh, dan saya rancu. We're perfectly match for each other, right?

Batas dunia memang menghalangi saya untuk bertemu kamu. Saya, hanya bisa melihat kamu, mencela kamu lewat biasan air-air jernih di atas kepala saya. Lebih dari itu, alergi kulit kembali menyerang saya. Matahari nggak pernah bersahabat akrab dengan sisik-sisik di tubuh saya.  Dan kamu pun takut menyentuh air, "Dingin, ngapain sih ke sana!" ujarmu sambil berlalu.

Harga diri tinggi memakan habis nurani. Hanya butuh satu kalimat yang berkata, "Kita itu ambigu, absurd." Tak saling menyentuh peluh layaknya para kalkun pada umumnya, atau bergerumul layaknya ikan-ikan mas yang sedang jatuh hati. Saya hanya melihatmu dari jauh, dan kamu pun begitu. Seakan terpisah oleh kaca lunak yang menakutkan. Mungkin akan membuatmu tenggelam perlahan, atau membuat saya mengiris tipis.

Enam tahun. Kita itu apa?
"Kategori sendiri, ambigu." ungkapmu, sambil mengindahkan wajah saya, tepat di depan matamu.
"Ambigu?"
"Bukan teman, bukan kekasih, bahkan bukan musuh."
"Jadi?"

Ya, ambigu ini, tetap menjadi ambigu.
Saya tetap Ikan Mas di kolam batu, kamu pun tetap menjadi Kalkun menyebalkan, yang dahulu, saya harapkan, "Pergi kamu jauh!"

Dan sekalii lagi, kamu berkata, "Hubungan kita tuh ga jelas ya,"

Saya butuh kamu, dan kamu butuh saya, tapi terpisah kaca tak bernyawa.

Kali ini saya iri dengan para ikan mas yang bercanda mesra dengan para pasangannya. Mereka satu dunia, dan mereka bebas memanggilnya nama kesayangan, "Sayang," ujar mereka pada belahan hatinya. 

Saya? Apakah saya harus meluruhkan harga diri saya? Atau kah saya berubah menjadi putri duyung agar bisa naik ke daratan dan bertatap wajah denganmu? Sudah, cukup.

Saya tak pernah bisa jadi seekor Kalkun, dan kamu pun tak pernah bisa berubah menjadi Ikan Mas. :)

Walau begitu, sekelebat rasa panas dekat insang sedikit mengadakan pro-kontra dalam hati saya.

Dan sekali lagi, timbul pertanyaan, hubungan seperti apa yang kita inginkan?

Jelas.
Tak jelas.

Ambigu, ya, mungkin itu, saya, dan kamu.

#penceritahujan#010911#rumahmini#

Ini Harapan Terakhir Saya, Sampai Jumpa di Ingatan Selanjutnya!


Sepatah dua patah kata, bahkan beribu kata telah memenuhi seluruh otak seorang makhluk yang disebut manusia – yang konon katanya sudah mematung di depanku sekitar berjam-jam lebih. Dan sepertinya dari bagian kepalaku - kalian lebih sering memanggilnya dengan sebutan monitor – serta jantung hatiku yang berada di dalam CPU sudah mulai mengepul panas, pertanda sudah saatnya kami untuk beristirahat.

“Sebentar ya bray, saya pusing banget, anda istirahat juga gih!” ujar sang makhluk berhiaskan kacamata apik itu sembari mengelus-elus sang jantung hatiku tercinta. Melihat sosoknya yang tampak pucat kelelahan disertai mata pandanya itu membuatku merasa miris sebenarnya.

Aku hanya menyesalkan, kenapakah sang otak dalam bagian jantung hatiku ini sangat amat super lamban. Kenapakah program-program canggih di dalamnya tak dapat membantu pekerjaan sang sahabat tersayangku selama dua tahun terakhir ini?

Padahal, aku tahu dia sedang dikejar oleh waktu-waktu yang sungguh menyiksa. Tagihan artikel yang terdiri atas beribu kata yang seperti tak ada habisnya – yap, itulah yang menjadi sarapannya di pagi buta.  

Dan padahal aku tahu juga bahwa ide-ide briliannya telah mengalir begitu saja, melarut dan meleburkan diri bersamaan dengan berhembusnya nafas. Ah, padahal... dan padahal... Tetap saja aku tidak bisa membantunya.

Andaikan tiba-tiba sang superhero-ku datang menjemput, membawakanku seutas program abstrak tak terlihat, yang dapat membantu membawakan kembali para ide brilian yang gosipnya telah sedang berjalan-jalan ke langit atas sana, menjauhi diri dari kesibukan sahabatku tercinta. Karena untukku, buat apa aku hidup jika aku tak bisa membantunya. Menyesak, meredup, dan menyakitkan. Sungguh.

“Mas, ini mas yang mau diinstall ulang, semua datanya udah saya masukin di harddisk external ko mas.” Sayup-sayup kudengar sang sahabat berseru kepada temannya. Ah, install ulang, sepertinya rangkaian kata tersebut sangat familiar dalam otakku. Dan aku tahu, oke, aku tahu. Dia ingin menghilangkan ingatanku, memoriku, kisah manis yang telah terdata dalam kode-kode rumit dalam sistemku yang super canggih.

Jangan Tuhan, kumohon! Aku tidak ingin melupakan semua kenangan ini! Dia tak membiarkanku mengingat setiap jejak dan jerih payah yang telah kulalui bersamanya. Apa artinya, bila semua cerita manis ini terhapus begitu saja hanya dalam hitungan jam? Bahkan menit? Dan detik?

Cukup, cukup, cukup! Superhero, kuharap engkau datang lagi hari ini, dan memberikanku sebuah hadiah istimewa mala mini, program yang membuatku tetap mengingatnya, mengenang setiap langkah getirku bersamanya. Selamatkan aku dari mesin cuci otak tergawat di dunia ini, tolong lah aku Superhero!

.penceritahujan.berkhayal.

nb : jadi BOTN di Writing Session 8 Januari 2011 :)

>> http://writingsessionclub.blogspot.com/

Aku, Hanyut dan Akhirnya Lepas

Aliran air mengenai bebatuan hitam di atas sana, semakin ke bawah, sang air pun mengalir kian deras, menuruni setapak demi setapak undakan yang terjadi di jeram mini itu. Sepertinya pemandangan itulah yang harus kusaksikan kali ini, saat-saat ia akan melepaskanku bersama perahu yang muat dengan ukuranku, melalui air terjun yang semakin bertubi-tubi.

Aku tahu, begitu menyentuh air, nyawaku pun akan terhapus, luntur dan seakan hanyut ditelan derasnya air sungai. Ingatanku tentangmu – dan tentang manusia itu – akan segera memudar, seperti salah satu adegan dalam film Eternal Sunshine of The Spotless Mind, yang diperankan oleh aktor ternama yang selalu kamu sebut namanya, Jim Carey dan Kate Winslet. Berkali-kali kamu ucapkan, “Andai di dunia nyata, kita mengenal Lacuna.Inc, perusahaan yang bisa bikin aku ngelupain dia seutuhnya!” dan sekali lagi kamu ucapkan bahwa kamu ingin melupakan segenap kenangan bersamanya.

Merelakan dan melupakan adalah suatu hal yang sulit, teman. Setidaknya, kamu memiliki otak, dan ingatan, yang akan secara otomatis menyimpan data-data kenangan manis yang telah kamu rangkai bersamanya. Dan kamu ingin melupakan semua itu? Merelakannya pergi, untuk tak pernah kembali lagi?

Aku cemburu, aku sangat cemburu padamu, hey wajah manis yang berdiri di tepian sungai ini. Kamu bisa mengingat kisah-kisah indahmu itu dengan jelas, sedangkan aku? Aku hanyalah seonggok kertas yang dijilid dengan ring besi di tepiannya, bertorehkan coretan-coretan kata pelampiasan hati atas apa yang telah terjadi. Kamu dan aku, berkomunikasi di sini, dari hatimu, turun ke tangan, dan langsung menembus hatiku pelan-pelan. Ingatanku tentangmu, dan tentangnya, hanya terdapat dalam tinta warna-warni yang mulai menghilang ini.

Ingatanku saat pertama bertemu, saat kamu melihatku di sebuah toko kecil dengan interior nan rapi, bernuansa putih bersih di sana-sini. Aku ada di rak ketiga, di sebelah pojok kiri. Dan aku tahu, pertama kali kamu menatapku, kemudian menggenggam tubuhku erat, aku seakan berkata padamu, “Halo, aku memang tercipta untukmu, kawan!”

Tiga tahun, yaa.. tiga tahun indah bersamamu, suka, duka, tangisan histeris, sedikit ingus yang menggenang di permukaan kertasku, hingga mengalami rasanya dilempar olehmu, untuk kemudian dipeluk erat kembali. Tangan itu hangat, sangat hangat.

Dan kini, aku tahu, sudah terlalu pahit untuk tetap bersamaku, mengetahui setiap cerita yang kamu miliki, selalu berkisah di dalam tubuh-tubuh kertasku yang sudah mulai menguning. Untuk itulah, kamu harus melepaskanku, dari genggamanmu, bahkan dari ingatanmu.

Jika menurutmu ini berat, bagiku, melepaskanmu seakan menghempaskan nyawaku. Karena nyawaku, bergantung pada tinta dan kata-kata yang selalu kamu ungkapkan padaku. Karena seluruh hidupku, adalah untuk menjadi sahabat setiamu, menemani setiap perasaan kesepian ataupun bahagiamu.

Satu jeram..
Dua jeram..
Tiga jeram terlewati...

Dan akupun kian luntur, kertasku pun kian melunak, dan kemudian tersobek perlahan. Selamat tinggal, bersama air dan perahu kertas mini berwarna jingga, aku akan pergi, dan aku akan melepaskanmu - harus melepas seluruh nyawaku, yang merupakan kenangan dan kisahmu di permukaan tubuhku.
Terimakasih ya hey, terimakasih atas semuanya… 

-enamenamsebelas-tujuhpagi-lewatsebelasmenit-

nb : jadi BOTN-nya Writing Session pada Selasa, 07 Juni 2011 :) #ihiw

Minggu, 28 Agustus 2011

Every teardrop is a waterfall.

- Coldplay

Kamu, Desember dan Payung Kuning

Kamu datang lagi saat Desember tiba. Memaksa saya kembali menggunakan payung kuning di tengah rayuan pulau kelapa yang kamu ciptakan perlahan. Di antara beribu tanda yang kamu hujankan ke muka bumi, ya, titik-titik air ini utusan kamu ya, biar saya selalu ingat sama kamu?

"Oh, tidak ko," ujarmu perlahan, "saya cuma senang dengan payung kuningmu."

Ya, kamu hanya menghampiri seonggok bentuk kuning yang meruncing. Sudah. Setelah itu kamu hempaskan kembali seorang saya di antara beribu tanda yang terbentuk sejak tiga tahun lalu. Pertanda yang menggantung, yang selalu membuat saya bertanya-tanya, "Kamu menyukai saya, atau payung kuning saya?"

Payung kuning pun sudah kamu ambil sejak setahun yang lalu. Kamu berkata, "Tahun depan, nggak ada lagi saya, dan kamu. Mungkin saya sudah menemukan awan manis saya, dan kamu masih bersama pelangimu."

Tapi, nyatanya, kali ini, saya masih menggunakan payung kuning, yang kembali tergeletak di pintu rumah saya. Dan sekali lagi, kamu datang dan berkata pada saya, "Saya menemukan dia yang baru." Lagi? Kata saya. Ya, lagi, ujarnya.

Sudahlah, biar kali ini, saya tetap menggunakan payung kuning, bahkan jas hujan kuning, agar kamu mendatangi saya. Ya, kamu memang tetap bersenandung sebuah melodi berlirik pada saya, walaupun kali ini, kamu sudah tidak menyukai payung kuning lagi. Hanya datang, bernyanyi gerimis kecil, dan kemudian pergi lagi. Biar, saya tetap di sini, berdiri, sampai ketika kamu mengambil payung kuning itu kembali.

.penceritahujan.290811.rumahmini.

Minggu, 05 Juni 2011

#CurhatSamaHujan : Pukul Dua - Depresi Pagi, Lagi.

Dibangunin pagi-pagi sama si matahari,
Curhat-curhat via angin sepoi-sepoi,
Jalan-jalan santai sama hujan,
Ngopi bareng si langit sore,
Berkhayal seru featuring bintang-bintang di hamparan malam,
Dan akhirnya tidur pulas dalam dekapan manis bulan purnama.

Saya kangen, kangen itu semua.
Setengah gila sudah, saya menjalani seluruh kehidupan monoton saya kali ini.
Hanya mengenal petak sempit, yang tak lebih dari 20 meter.
Matahari, angin sepoi-sepoi, hujan, langit sore, bintang dan bulan purnama,
mereka juga udah lama ga ngajak saya main,
seperti lagi, saya seperti terasingkan dari dunia,
saya, ga boleh kemana-mana,
terbelenggu, sangat.
saya, cuma boleh ada disini,
saat saya keluar petakan tak seberapa pun, seakan timbul dosa tak tertahankan,
seakan seperti bom waktu, yang tetiba akan meledak dalam hitungan detik,
saya harus pulang,
saya, cuma boleh ada disini.

#menangisdalamhati

Baiklah,
saya tau,
saya cuma boleh ada di sini.

.penceritahujan.060611.petakantakseberapa.

#CurhatSamaHujan : Pukul Dua - Depresi Pagi

Tangan kaku, mungkin karena saya lama ga menorehkan isi kepala saya di sini.
Sungguh
I'm just like a horse who should get away from this place right now,
but I can't, and you know? It's kind of killing me softly!
Otak saya tak dapat menjangkau tempat-tempat di luar sana,
Khayalan saya terbatas, saya seperti berada dalam sebuah box berukuran tipe 54,
yang hanya bertemankan tukang tahu, tukang bacang ataupun tukang sayur yang tepat melewati depan rumah saya.
Kata-kata? Entahlah, harusnya mengalir deras seketika saat saya menggerakkan tangan saya di atas tombol huruf-huruf berwarna hitam ini.
Tapi apa mau dikata, yang terasa cuma satu makna, dengan banyak pilihan kata.
HAMPA. KOSONG. BUSUK.
Ini ternyata rasanya berdiam diri di rumah, seperti terpenjara oleh nurani yang tak memperbolehkan saya kemana-mana.
Maaf, tapi benar adanya, di sini, saya mati.

.penceritahujan.060611.sudahlamatidakbertemuhujan.

Jumat, 03 Juni 2011

Lavatory - Love Story - Short Movie


Another awesome short movie, with a great meaning inside it. Actually, it seemed similar with the Signs movie, but it was made by the animate object. What a simple romantic moment, when everyone in this real life can be just like that, being loved by someone, secretly. With an usual and ordinary life (sorry to say, but I'm kinda hate the glamorous setting of a movie, and also social level of life, because all people in this world can be in love, not mention his/her richness or the materials) this movie is so nice! And it did actually happen, I think!

Thanks again dear ballerina! It's such a great ideas of movie!

.penceritahujan.040611.rumahmini

Signs - Short Movie


FYI, I have been like this too, feel so lonely and empty, and I am the one who really believe in SIGNS. I do believe them, and I am pretty sure that my whole life is seemed such a great movie. When I found the right one who had this chemistry, my life finally turned out, and when he's gone away, I started on finding him. This short movie, is so ME.

Thanks for this awesome movie, dear balerina!

,penceritahujan.040611.rumahmini.

Selasa, 03 Mei 2011

#CeritaHujan : Langit Malam Hari Ini

.kosong.tiga.kosong.lima.dua.ribu.sebelas.

- pukul 18.00 - jalan gegerkalong dan sekitarnya -
Haloo, Hujan, kenapa hari ini kamu ga dateng ya?
Pundung sama saya gitu ya?
Marah gara-gara saya menjadikan kamu sebagai alasan mengapa aku sakit hari ini?
Bukan ko, saya ga pernah nyalahin kamu, maaf ya, maaf ya, maafin yuk!
Maaf dong Hujan, saya salah ya, maaf dong, cantelan yuk!

- pukul 20.00 - jalan pulang ke cicaheum -
*amazed* Wah, Hujan.. saya kaget!
Kamu ga marah sama saya hari ini, tapi kamu ngasih satu kado indah buat saya.
Timeline Twitter saya berkata : Hari ini langit cerah banget, mungkin karena kemarin baru hujan lebat kali ya?
Ya.. langit malam ini sangat cerah, bintang bertebaran seolah lagi nongkrong bareng di angkasa hitam. Menciptakan sebuah background foto yang ga mungkin ada tandingannya di studio foto manapun.
Mereka melihat kita tajam, dan pastinya melihat saya, yang sedang sedikit muram dan lesu malam itu.
Kenapa lesu? Entahlah, sepertinya saya kangen parah sama temen saya, nun jauh di sebrang pulau sana, yang sedang hectic dengan kerjaannya, yang sudah lama ga nyapa saya, yang.. marah sama saya kah?
Bintang, eh iya kamu, bintang yang itu tuh, bukan yang paling terang, tapi bukan yang paling gelap juga. Psst.. psst.. kenapa coba saya milih kamu? Karena saya berharap, dan saya yakin banget, yakin seratus persen, kalau temen saya - nun jauh di sana - melihat bintang yang sama, arah yang sama, dan doa yang sama. 
Doa apa? I miss you so much dear mate!

nb : untuk lautan bintang yang lagi nongkrong bareng di langit Bandung kemarin malam. untuk seorang manusia nun jauh di sebrang pulau sana. dan untuk hujan yang udah ngasih kado hiburan buat saya. Makasih, makasih, makasih.

.penceritahujan.040511.kantormini.

Senin, 02 Mei 2011

#CeritaHujan : Hujan Today!

Biskuit Farley.
Hujan-hujanan.
Converse Hitam, Sendal Jepit.
Omellete. (Mbak, ga pake keju ya, yang Mushroom aja)
Kentang.
Fettucini Carbonara.
Pepper.
Teh Tarik.
Blueberry Smoothies.
Garpu, sendok, garpu.
Manisan.
Laptop.
Password : Kakap Steak.

Hello Stranger!
Aku. Kamu. Hari itu, kita bercerita tentang hujan.

#np Landon Pigg - Falling In Love at The Coffee Shop.
Thanks.

.penceritahujan.030511.kantormini.

Minggu, 01 Mei 2011

#HujannyaSedih : Untuk Pecinta Langit Sore

Hujan di langit sore.
Bikin speechless, bikin speechless.
Hujan di langit sore.
B 1857 YY, Pasupati, ERK - Hujan Jangan Marah.
Dan kamu pun berlalu, teman, berlalu menaiki Pasupati, langsung tembus ke tol.
Menuju Jakarta? Ya.. tapi hari ini kan kamu ke sana, ke negara nun jauh di sana.
Salah banget, ERK bikin lagu itu.
Aku ga pernah marah, aku sedih.
Hujan Jangan Sedih harusnya sih judulnya.
Mau gimana lagi, Hujannya lagi super sedih.
Super sedih.
Super sedih.
Gabisa nulis apa-apa.
Gabisa merangkai kata-kata puitis kaya yang lainnya.
Soalnya aku sedih.
Hujan Jangan Sedih, tapi gimana lagi.
Aku emang super sedih.

Hey Langit Sore... baik-baik ya di sana.
Nanti aku nulis lagi, tapi nanti.
Mungkin jika hujan di langit sore kembali memberiku inspirasi,

Langit Sore, kemanapun kamu berada.
Hujan tetap ada di sana.
Dan langit sore pun selalu ada di sana.

Baek-baek ya Kilaa sayang :* Kiss and Hug for ya dear besties!!!
#np ERK - Hujan Jangan Marah.

Aku sayang langit sore!!!

.penceritahujan.020511.kantormini.

Jumat, 22 April 2011

Pesan Untuk Bang Semak-semak

Halo makhluk Zimbabwe yang biasa mengucapkan salam di pagi hari.
Hari ini dan kemarin,
tiba-tiba aku kehilangan beberapa pesan yang kamu kirimkan.
tak ada yang sampai melalui sinyal telepatiku yang tak berguna ini.
bahkan aku ingin sekedar berbincang pun kamu tak ada, tak sampai kah?
Mungkin di Zimbabwe lagi musim panas lagi, makanya seonggok Hujan dari Timbuktu sudah nggak ada gunanya.

Sepertinya aku kangen ketemu di rumahnya Mas-mas Subuh.
Apakah kamu masih sering mengunjunginya?

Oke.. baik-baik kamu di Zimbabwe ya Bang!
Selamat berhibernasi, dan selamat berakhir pekan. :)

Big smile and big wish for ya!

Kamis, 21 April 2011

Hellogoodbye - When We First Met


When we first met, your hair was long and brown
You hadn’t yet cut it all off, and now it’s long once again, oh
Oh, it’s long once again

As I kept track of every haircut that we ever had
I could, I could see how long it had been, oh
Oh, how long it had been

And this thought, made it clearer
I ought to be near her

All I see is where our days repeat
And our love goes on
As our hair grows long

Oh, Chelsea Lynn
I watched your hair grow from the root to tip
I know, I know I have always known
And I always will know
That I could have a single direction until I am dead
I’ll go, I’ll go as I always have gone, and
And I always will go

ps : another sweet song from Hellogoodbye, just imagine, you'll live with someone, and watch his/her hair grows long, and then being cut again, and long again and being cut once again. Simple, but absolutely nice! Thanks to dear *Fourre* who had introduced this awesome song to me. :)

.fortælleren-regn.220411.

Rabu, 20 April 2011

Gimana Ceritanya Saya Bisa Jatuh Cinta Sama Hujan

Saya jatuh cinta sama Hujan, karena....

#Titik-titik hujan yang menempel di kaca jendela, membentuk sebuah rangkaian manis, menyerupai pemandangan dalam kaleidoskop. Itulah, kaleidoskop hujan.

#Playlist lagu Hujan, galau tetapi menyenangkan, mendung tetapi bahagia, Aqualung, Jonsi, Daniel Sahuleka, Alexander Rybak, Feist, Sore, ERK, Marian Dacal, Frau, Kelly Sweet.

#Saat Hujan membuat pasangan yang malu-malu berpayungan berdua, itu sangat manis!

#Ketika Bumi, Pohon, Perdu dan berbagai makhluk tanah lainnya bersuka ria, tersenyum ceria menyambut sang Hujan datang.

#Kemacetan super romantis yang mampu membuat saya sabar menanti di antara kepadatan manusia dalam sebuah angkot.

#Lamunan yang jauh lebih melangangbuana daripada lamunan saya saat renungan kloset. Berkhayal bisa berjumpa dengan orang yang sudah lama nggak saya temui, secara nggak sengaja. Berkhayal bisa menikmati hujan di seantero kota di seluruh dunia.

#Aroma Tanah berjumpa dengan Hujan. Manis, indah, menenangkan. Itulah #Petrichor.

#Sifat Sang Udara di kala Hujan tiba. Indah.. banget..

#Rasa dingin ketika Sang Hujan menyentuh pipi saya dengan sangat lembut.

#Kenangan-kenangan yang terbesit, kayanya sih pesan langsung dari Hujan buat saya, ya.. Hujan seperti mesin waktu bagi saya. Menyentuh Hujan membuat saya beranjak ke masa-masa lampau.

Apakah Hujan itu galau? Tidak, saya sayang sama Hujan dan saya bahagia.
Tak selamanya mendung itu kelabu, mengutip dari lirik tembang lawas.
Dan tak selamanya Hujan itu galau.

Ini buktinya, saya bahagia. :)


.penceritahujan.200411.kantormini.

#LagukuBercerita Hari Ke-3 : If I Didn't

Malam hari.
Tol Cipularang.
Bayangan sayup-sayup lampu jalan.
Mata penuh kotoran.
Minyak memenuhi wajah.
Seat kedua, melihat pemandangan wajah terlelap.
Menatap siluet rambut keriting yang terdapat di bangku depan.

Terdengarlah lirik ini. Lirik super manis!
Dan sekali lagi, mendominasi pikiranku.
Sampai detik ini.
Senyum-senyum malu.
Wajah semu merah.
Disertai titik-titik pembentuk kaleidoskop hujan.
Manis, indah, berkesan,
seakan berubah menjadi video klip
dari sang lagu berinstrumen petikan gitar nan lembut.
Dan seakan berada dalam scene sebuah film
film baru mungkin, satu hari untuk selamanya? bisa jadi.

Dan yang paling penting,
saat mendengar lagu ini, aku menggenggam tanganmu erat.
menatap pundak bidangmu,
menyaksikan setiap jengkal gelombang rambutmu.
dan menikmati adegan manis jalanan Cipularang di malam hari
dengan lagu ini sebagai sang backsongnya.

#np Daniel Sahuleka - If I Didn't
If I didn’t have you then what will become of me?
If I had never met you girl how would my life be?
Would I be the same? if I’d been loving another name
Would I stay untamed, would there be any aim?
So whom I will be..


Dan akhirnya, aku pun tertidur di balik pelukan telepatimu.
Selamat malam gendut, kasih tau kalau sudah sampai rumah ya.
Aku sayang kamu, gendut.

.penceritahujan.200411.kantormini.

Selasa, 19 April 2011

#LagukuBercerita Hari Ke-2 : Sahabat Kecil, Para Begundal Yang Saya Rindukan

Komputer dinyalakan, menunggu gerakan loading sang antivirus untuk sesaat, dan akhirnya dinyalakan lah Windows Media Player, salah satu sahabat saya melewati setiap harinya. Lagu apakah? Ah... lagu ini, lagu yang membuat saya tertegun, seketika. Sialan.

Baru saja berakhir
Hujan di sore ini
Menyisakan keajaiban
Kilauan indahnya pelangi

Tak pernah terlewatkan
Dan tetap mengaguminya
Kesempatan seperti ini
Tak akan bisa di beli

Bersamamu ku habiskan waktu
Senang bisa mengenal dirimu
Rasanya semua begitu sempurna
Sayang untuk mengakhirinya

Melawan keterbatasan
Walau sedikit kemungkinan
Tak akan menyerah untuk hadapi
Hingga sedih tak mau datang lagi

Janganlah berganti
Janganlah berganti
Janganlah berganti
Tetaplah seperti ini

Sumpahnya, sialan lah. Lagu ini yang kemudian terputar di playlist saya malam ini.
Malam kedua saya bercerita dengan sang lagu-lagu yang terdapat dalam ingatan dan kenangan saya.
Dan, sungguh... lagu ini membuat ingatan saya terbang ke masa-masa saya bersama kalian, hey begundal-begundal yang sangat dan selalu saya rindukan!

Terbang ke masa lalu, masa-masa TKMDII 9 di Jogjakarta, inget ngga waktu kita main sepeda rame-rame sampai kalian ninggalin saya dan si Fahmen - dimana ontel kita rusak - dan harus jalan kaki berdua tanpa tahu arah dan tujuan di area Malioboro? Atau inget kah gimana serunya pas dekor, ngeliatin kalian sibuk rempong dan beraksi layaknya "cowo banget" sampai bertukang segala, alhasil, tercipta lah stand Aqua galon yang juara abis, paling juara seantero Benteng Vredeburg waktu itu!

Sekali lagi, terbang ke masa lalu, saat kita si tim huru-hara, ikut sebuah tur pameran di PRJ Jakarta, tapi kemudian kita sok-sokan memisahkan diri dari rombongan, demi untuk maen-maen dulu ke Ancol, ketemu anak Trisakti dan haha-hihi dulu sembari ngga jelas tujuannya. Begonya lagi, di antara kita ternyata ngga ada yang megang duit banyak! Kebetulan, lagi musimnya akhir bulan, jadi lagi melarat-melaratnya deh! Ya ampun, dan kita sok-sokan tajir mampus gitu, misah dari rombongan, plus pulangnya sok kaya banget mau naek travel segala, padahal ongkos pun tak ada #miris.

Alhasil, saya dan begundal-begundal tercinta ini pulang menaiki bis Primajasa dari daerah Cawang, dengan seharga hanya Rp.25.000 saja, dan kami MELANTAI dong! Ah, bayangkan, belasan dari geng begundal ini melantai dan terlihat sangat backpackers! But anyway, saya SANGAT menikmati pengalaman indah ini, geng! Ga pernah seumur-umur saya melantai kalo ga bareng kalian, dan semua itu terasa sangat berharga.

Berbagai kenangan memenuhi otak saya, yang ga mungkin saya tuangkan satu per satu di sini. Mulai dari maen-maen ke Moko, ngasih kejutan "siksaan" ulangtaun, liburan ke Rancabuaya, Museum-trip di Jakarta sampai masuk TV segala (bangga abis!), ngospek yang ga jelas, TA bareng, udah kenal jelek-manisnya kalian, ah 6 tahun tak tergantikan lah kenal sama kalian tuh! Para begundal-begundal yang selalu saya rindukan, jeleknya, baiknya, buruknya, nyebelinnya, kentut-kentutnya, igauan bodohnya, berantemnya, setiap ketawa yang mendominasi otak saya.

Oke, sedikit air mata mulai perlahan tertampung dalam sang kelopak. Tahan dong tahan, lagi gamau nangis, tapi apa boleh dikata, ternyata rasa rindu saya udah seakan ga terbendung. Ya, saya kangen gawat darurat sama kaliaaann!! Makanya, pas denger lagu Ipang - Sahabat Kecil ini, saya langsung inget kalian!! Ya, kalian akan selalu menjadi sahabat saya yang berarti, kawan-kawan! You'll always be a part of me, whatever life will bring, kata Alexander Rybak mah.

Jangan lah berganti, tetap lah seperti ini, ya?
Miss you so much dear my beloved besties!
Dimanapun kalian, saya selalu sayang dan kangen kalian!!
Wish I can meet-up with ya'all very soon.

Teruntuk : Begundal-begundal yang selalu saya rindukan.








.penceritahujan.200411.#LagukuBercerita