Jumat, 31 Agustus 2012

#1 - Monolog Ria

Malam pertama di bulan September, dalam jangkauan Ibukota Jakarta.




Ini sudah larut. Memang. Tapi, aku masih saja kedatangan tamu. Kuintip dari teralis jendela rumahku, barang sedetik. Aku sudah bisa menangkap bayangannya. Sosoknya serupa kepalan benang kapas yang lebih tampak seperti gulali. “Sepertinya dia makhluk yang baik hati,” ujarku pelan.

Kepalan bulat kapas itu menghampiri rumahku. Aku yakin, dia tidak sendirian. Tak terhitung banyaknya. Konon, suatu ketika, gumpalan kapas itu bisa berubah bentuk menjadi lembaran kertas super-panjang. Sambung menyambung menjadi satu.

Mereka mengetuk pintu rumahku. Dan tentu, aku membiarkannya masuk dengan cuma-cuma. Namun, mereka tak datang dengan tangan hampa. Beragam bingkisan – seperti sedang acara seserahan dalam pernikahan tradisional – menghiasi area depan hunianku. Siapa yang kawinan nih?

Gerombolan gumpalan kapas itu membawa tiga bingkisan, dengan bentuk dan konten berbeda, juga variasi warna pada pita.

Aku membuka bingkisan pertama: si besar berpita merah muda menuju warna pastel. Cantik? Memang. Kuakui, ini adalah bingkisan tercantik yang pernah kumiliki. Isinya pun tak kalah manis. Mawar, bunga krissant, strawberry, kupu-kupu hingga kembang api tampak disana. Siapa yang tak senang diberi bingkisan seindah ini. Ya, aku pun girang bukan kepalang.

Dengan antusias, kubuka bingkisan kedua: si kecil apik berpita hitam. Kelam. Sebelum aku mengobrak-abrik paket tersebut, salah satu gumpalan kapas tampak begitu ketakutan, seperti ingin kabur seketika. Semakin aku penasaran untuk membukanya.

Ya, sebuah sembilu teronggok di kotak kelam tersebut. Ujungnya tampak terasah rapi. Mengilat, hingga aku bisa melihat bayanganku sendiri. Untuk apa, tanyaku sembari mengernyit. Gerombolan gumpalan itu hanya tersenyum. Dan lantas diam kembali, sembari menyuruhku membuka bingkisan ketiga.

Rasa malas menghampiri. Perasaanku tak enak. Aku tak ingin berekspektasi tinggi lagi. Kubuka bingkisan ketiga, kotak raksasa berpita serba putih. Tampak kontras dengan bingkisan tadi. Mungkin saja lebih bisa menghiburku, demikian yang terlintas sekelebat.

Isinya? Kotak yang hampir sama besar dengan badanku ini hanya berisi selembar kertas kecil. Berukuran sama dengan satu jari manisku. Tulisan yang menghiasinya terdiri atas satu kata: KOSONG.

Lantas, gerombolan itu ramai-ramai memberikanku secarik surat singkat. Warna kertasnya merah muda. Seperti sebuah surat cinta. Oh, ini adalah surat adopsi. Surat cinta untuk mengadopsi mereka kembali. Membuat syaraf-syaraf di dinding rumahku menyeruak ramai. Bernostalgia. Membuatku memutar lagi video masa lalu yang telah kusimpan baik-baik dalam lemari brankas.

Teruntuk: Kamu

Penghuni Rumah Syaraf, Bernama Otak,

Halo, kami adalah Memori-mu yang pulang kembali, membawa setiap bingkisan rasa yang mengiringi setiap lembar benangnya, setiap jengkal kata dan cerita di dalamnya. 

Tersipu karena kupu-kupu, terluka akibat sembilu, hingga melamun di tengah kotak kosong. Manis merah muda, sakit nan kelam, dan hampa pada putih, itu adalah sepaket rasa yang bisa kau terima, agar kau tetap merasa hidup. Maukah, kamu menerima kami lagi, mengadopsi kami untuk menghuni rumahmu kembali, dengan segala resiko ini lagi?

Tertanda,
Gerombolan Memori

Satu anggukan cukup menjadi tanda setuju.

Selamat datang memori, Halo kamu, segala resiko yang akan kudapat, untuk kesekian kalinya, saat aku mengutak-atik lembaran kenangan itu. Aku sudah siap mengarungi semuanya. Dan aku, tidak akan melarikan diri lagi dari bingkisan rasa tersebut. Baik itu manis, pahit, atau bahkan tak hambar. Because of them, I feel so alive.

Dan, aku memaksa pemilikku - sang penceritahujan - untuk kembali menuliskan kisah para memori ke dalam media kertas. Apapun yang terjadi. Meski aku menjadi kopong, meski aku terhunus sembilu. Karena aku tahu, semua ini lah yang membuat sebuah bingkisan manis terasa nyata.

And then I heard you, you made me long for
To be a part of something that I can't see
A life that is beyond, something that I can't fear
To be a part of the story - It belongs to you

Something you said burns, apart the pen and the paper
You can't always write it, it is something you'll have to do
Gathering stories, a story - It belongs to you

They say that it's gone now, you know that I disagree

I barely hear you, your signal is cold now
It's all turning into video

Tune the radio

Sing along to all our favorite songs

Your signal is growing
out in little pieces
And watch in a moment, secure it for falling

Over the stars,
over the nights
Over the rains, over the moons

Over the days, over the streams
Over the skies, over the ponds

Over the fires, over the lakes
Over the trees, over the minds

Our kid zigs, o
pen doors
Over the doors
I am alive



#nowplaying Jonsi - Gathering Stories

-penghuni rumah otak penceritahujan-

1 komentar:

  1. Hmmm memang terkadang ada beberapa memori yang ingin kita singkirkan dari kotak memori kita, tapi ya tanpa disadari dia tetap berada di situ walau ada memori baru yang datang silih berganti....
    Selamat datang kembali memori sang pencerita hujan (/>o<)/

    BalasHapus