Jakarta, 3 Agustus 2012,
"Tuhan menciptakan manusia dengan dua telinga, dan satu mulut, kenapa coba?"
"Kenapa?"
"Karena Tuhan mau kita lebih banyak mendengar, daripada berbicara."
Penggalan
percakapan antara saya dengan seorang anonim ini, tak pernah lepas dari
ingatan. Mengendap perlahan, hingga akhirnya menjamur di salah satu
bagian otak kecil saya. Perkataannya jelas dapat saya mengerti. Tuhan,
nggak pernah menciptakan sesuatu tanpa sebuah tujuan.
Saya,
merupakan salah satu dari banyak manusia yang sangat mengandalkan
indera pendengaran untuk berpikir, menggali khayalan, bahkan mengingat
sesuatu. Sepertinya, telah ada medan magnet yang terbentuk dengan daya
tarik menarik kuat antara saya, dan gelombang suara. Tentunya, berada di
frekuensi gelombang yang masih bisa didengar manusia.
Entah
karena pengaruh film, usia serta bacaan yang saya miliki, musik seakan
bernaung mengelilingi seluruh kehidupan saya, dari sejak saya masih
berusia dini, hingga detik ini.
Musik seperti apa yang seakan menjadi soundtrack perjalanan hidup saya?
Yes, saya-sangat-mencintai-musik,
meski hanya menjadi seorang pendengar, dengan wawasan yang dangkal.
Musik apapun, dalam genre dan bahasa dari manapun. At least, saya paling nggak suka mengkotak-kotakkan musik dengan kata indie dan mainstream.
Well, untuk
saya, orang-orang setipikal itu mungkin malah kelompok yang melihat
segala sesuatunya dari satu sudut pandang saja. Padahal, apakah zaman
dahulu orang mengenal istilah yang bahkan sudah tampak saru ini? Nope! Musik klasik bahkan irama tradisional adalah sebuah karya, semacam kesenian, yang membuat seorang manusia tampak abadi.
Yang
menjadi masalah di sini adalah, musik mana yang benar-benar mengena di
hati setiap individu. Satu hal yang saya yakini juga, selera musik itu
seperti jodoh. Ada beberapa lagu yang mampu memberi daya magnet kuat
pada satu orang, tetapi beda halnya bila kelak didengar oleh lain
telinga. Musik itu soal hati, bukan hanya permasalahan telinga semata.
Hal yang paling menyedihkan adalah, ketika seorang manusia
menyukai sebuah musik, hanya sebagai tanda bahwa ia memiliki kelas
tertentu dalam kehidupan sosial bermasyarakat. So pathetic, even you can't be honest with yourself, dear!
Lantas, masih berkutat pada pertanyaan yang sama: musik apa saja sih yang jadi soundtrack bagi kehidupan saya?
Jawabannya bisa berupa sebuah gabungan kata: musik-musik yang
mengena didengar kala berjalan seorang diri, di tengah hujan pada sore
hari. Lengkap? Yes! Genre apapun. Bahasa apapun. Dan tentunya, tema apapun. Karena, sekali lagi, musik adalah soal hati, bukan?
Jadi, selamat menikmati sajian #30HariPersonalSoundtrack dari
saya, seorang Candella Sardjito, pecinta kata, memori dan euforia.
Semoga berkenan!
-penceritahujan-
selalu suka sama setiap penggalan kalimat yang teh kaneu tulis. hihihi :) suka sekali!
BalasHapusahhh icaa, makasiih :') kamuu, aku juga suka baca si Tuan Semut-nyaa :')
BalasHapuseeh? aaaah teteh jadi malu :'') hihihi. pengen deh ketemu teu kaneu :')
BalasHapus