I'm a dreamer, I'm a looser.
Satu bulan, setiap satu bulan rasa pesimis itu selalu tiba-tiba menghampiri saya, dia nggak pernah datang dengan permisi, bahkan menelepon sekedar berkata untuk berkunjung pun tidak. Dia tiba-tiba muncul, menjatuhkan hati saya yang kebetulan sedang melayang tinggi.
Pesimis memaksa saya untuk melihat-lihat secara tak sopan, sosok seperti apa yang dikagumi oleh dia - orang yang selama ini tak pernah ada cela di mata saya. Pastinya, I wish to be the only one he always sees.
But then I know, pesimis kembali membisikkan kata-kata jahatnya buat saya. "Kamu nggak punya apa-apa untuk dikagumi oleh dia, Kandela! Kamu cuma pemimpi yang senang merangkai kata, semua orang juga bisa!"
Pesimis memang tak serupa dengan sosok monster-monster di buku dongeng, atau devil bertubuh merah dan bertanduk layaknya ilustrasi dalam cerita. Tapi dia jahat, dalam seketika, dia ingin meruntuhkan musuh besarnya yang sedang bernaung dalam hati saya - Optimis.
Pesimis tak menyerupai apapun. Dia hanya berupa angin dingin yang kerap melewati perut saya. Bila ada istilah yang mengatakan, there's a butterfly in my stomach dan membuatnya geli seketika, angin ini telak membuat saya kalah dan meraung-raung. Sakit, ya rasanya perih.
Sekali lagi dia berkata, "Kamu nggak bisa menangkap cahaya lewat apa yang kausebut kamera, Kandela! Kamu nggak bisa memainkan tanganmu untuk melekak-lekuk di atas kertas, membuat sketsa-sketsa cantik di atas sana, kamu bisa apa?"
"Saya bisa bermimpi, Pesimis! Saya bermimpi akan menjelajahi Machu Picchu bersamanya, bertualang ke Antartika dan melihat Aurora bersama!"
"Apa dia kagum dengan mimpimu? Yang kamu bisa lakukan kan cuma mimpi, dan mimpi!"
Pesimis jahat. Ingin rasanya saya menghunus sebatang bambu runcing ke arahnya perlahan, agar dia menghilang tak bersisa.
"Sekali lagi, apa dia kagum denganmu, Kandela? Dengan segala mimpi bodohmu? Dengan segala ketidakmampuanmu? Kamu kagum padanya, selalu. Bagaimana dengan dia? Apa kamu masih memiliki sesuatu yang bisa membuat dia kagum? Tidak."
Pesimis berlalu, dan menghilang melalui sela-sela jendela. Dia sekali lagi meninggalkan lubang tepat di organ tempat oksigen mengalir. Organ itu seakan ingin meledakkan diri dalam tubuh saya. Jangan hey jantung, tahan ya sayang, tahan sedikit lagi.
Apa yang bisa saya lakukan? Terdiam, dengan beberapa tetesan cantik yang menyelimuti hangat wajah sembab saya.
.penceritahujan.110112.
woww... AKu juga benci si pesimis. Sepertinya dia memang udah mendarah daging di tubuhku...
BalasHapusSyukurlah si pesimis sejauh ini cuma bisa berteriak dari luar pintu rumah saya :)
BalasHapus