Hari ini, metamorfosis kupu-kupu berhasil menggelitik perut saya sampai kelelahan lagi. Bulu halusnya memaksa rasa aneh ini untuk menyeruak. Berteriak. Jarang-jarangnya dia bersuara seperti itu. Seperti kombinasi antara suara lengkingan serigala, atau cekikik kuda. Berisik. Demonstrasi lokal dalam hati.
Dia ingin berubah menjadi tukang pos, ujarnya. Kupu-kupu lincah ini berencana mengirimkan desas-desus yang ia dengar sejak beratus jam lalu. Ia ingin menyuarakannya. Memuntahkan alunan aneh dari syaraf-syaraf yang menjelimet di hati, tepat ketika saya bertatap muka dengan objek investigasi selama ini.
Apa yang kemudian saya lakukan?
Ya. Satu detik berjalan seperti satu menit. Demikian halnya dengan satu menit, yang terasa seperti rentang hitungan jam. Jarum jam berjalan lambat. Mirip kura-kura, atau siput. Slowmotion.
Di antara waktu yang mendadak berjalan lama ini, kaki-kaki saya memaksa untuk lari. Bibir pun dipaksa terkatup erat, seakan tercekat dari tenggorokan. Layaknya dipasang lakban hitam super kencang untuk mencegah suaraku - tepatnya suara kupu-kupu itu - untuk berbicara tentang desas-desus hati selama ini.
Desas-desus apa?
Ya. Desas-desus itu saya namai dengan satu diksi. Empat huruf sederhana, dua suku kata apa adanya. R-A-S-A. RASA.
Once upon a time, when the sky was covered with blue, Once upon a time, when the sun was smiling too, We're just common people with an ordinary look, We're just common people with an ordinary love. Once upon a time, when I fell in love with you ... ? #nowplaying Mocca - Once Upon A Time
Dan akhirnya?
Saya hanya berani memperbincangkannya di sini, terdiam, terbingung. Lantas, saya membenamkan kupu-kupu jahil tersebut pada senyuman yang terbit barang sedetik. Lalu tersimpan kembali, jauh dalam kotak kecil bernama memori.
-penceritahujan- nb: semacam lanjutan dari '#6 - Butterflies In My Tummy'
Satu hal favorit yang saya senangi, semacam guilty pleasure, adalah menyendiri. Ketika Malam menutup tirai Siang, yang saya butuhkan hanyalah menggenggam seonggok gadget pemutar musik, tanpa perlu seuntai kata, segumpal aksara.
Saya senang sendirian. Bukan artinya saya adalah makhluk anti-sosial. Saya, hanya suka membenamkan diri pada sebuah diksi bernama sepi.
Saat saya nggak perlu berpura-pura. Ketika saya nggak harus memikirkan makhluk lain, di luar saya sendiri. Kala saya, cuma butuh beberapa menit untuk mengirimkan sinyal-sinyal lamunan dalam otak kecil saya, lalu meramunya menjadi sebuah cerita.
Menyepi, tak cuma berarti bertapa di dalam goa. Tidak juga hanya berdefinisi melarikan diri dari kehidupan kota. Atau membuat tenda di tengah hutan belantara.
Bukan. Bukan itu.
Bagi saya, menyepi, menyendiri, adalah hal-hal seperti ini:
Berada di Trans Jakarta menuju Pinang Ranti,
ketika jarum jam menunjuk ke arah angka 10.
Berjalan di tengah kerumunan masyarakat penggila mall,
sekali lagi - tanpa seorang pun yang menemani.
Melangkah gontai di jalanan eksotis Braga,
dimana para manusia sedang mentah-mentah latah mengabadikan diri,
menuai profesi dadakan bermodal peralatan berbasis teknologi canggih.
Atau bahkan, ketika saya duduk di depan jendela dunia,
menyaksikan apa yang terjadi di luar sana melalui linimasa jejaring sosial,
dan hanya menjadi seorang investigator kelas teri, seorang detektif kontrak hati.
Ya, saya tak perlu mencarinya kemana-mana.
Saya sudah puas dengan kosa kata dan para sinonimnya. Sepi. Sunyi. Senyap. Diam.
Mereka tertidur lelap dalam diri saya.
Definisi kosa kata ini adalah satu: berbicara tanpa lawan bicara, hanya berkawan dengan para alter-ego yang dipilah-pilah menjadi beribu bagian. Banyak orang menamainya monolog.
Sekali lagi. Saya, adalah orang yang suka membenamkan diri pada diksi, bernama sepi.
Words like violence, break the silence Come crashing in into my little world Painful to me, pierce right through me Can't you understand, oh my little girl?
All I ever wanted, all I ever needed is here in my arms, words are very unnecessary, they can only do harm.
Vows are spoken to be broken Feelings are intense, words are trivial Pleasures remain, so does the pain Words are meaningless and forgettable
All I ever wanted, all I ever needed is here in my arms, words are very unnecessary, they can only do harm. #nowplaying Depeche Mode - Enjoy The Silence
Butterflies.
Sejujurnya, saya bukan fans berat dari makhluk insekta ini. Bahkan,
tepatnya, saya adalah salah seorang ajaib yang cenderung menjadikan
hewan ini sebagai objek phobia. Saya takut. Apalagi menyentuhnya dari
dekat. Such a monster for me.
Lalu sebuah istilah menghampiri. Butterflies in my tummy. Tembang ini terlantun pelan di dalam pikiran saya. Membuat saya, sedikit mencintai sosok hewan insekta bersayap bidadari ini. Butterflies, yang tengah bermetamorfosis menjadi sesuatu yang saya jaga, saya senangi. Bertajuk satu kata: rasa.
Ya.
Pernahkah kamu merasakannya? Pernahkah kamu seperti saya? Putaran jarum
jam berjalan demikian lambat. Satu detik, bertransformasi, menjadi satu
menit. Gerakan membeku pelan. Seakan sebuah hawa panas bergejolak dari
dalam. Entah apa. Yang saya yakini, dia bukan sebentuk cacing pita. Dia
juga bukan sepenggal bor yang siap melubangi hati. Bahkan, dia bukanlah
seonggok virus yang akan melumat habis organ tubuh saya.
Dia
aneh. Datang tiba-tiba. Tak jelas, dia masuk darimana. Pori-pori kaki,
rongga mulut, atau bahkan lubang hidung. Seketika, dia menciptakan
sebuah hawa panas di sekujur tubuh. Saking tak tahannya, wajah saya
memerah. Seperti udang rebus. Seperti tomat matang. Tampaknya,
pembuluh-pembuluh ini menyuruh sel darah untuk mengalir deras ke arah
pipi saya. Sial.
Ada
rasa menggelitik di dalam perut saya. Berusaha menyeruak keluar. Nyaris
mengundang muntah angin yang tertahan. Mual, yang ajaibnya, mampu
membuat tersipu malu. Pita suara tercekat, terhambat entah oleh apa.
Sekali lagi. Entah oleh apa.
Fenomena
ini, terjadi, pasca beragam peristiwa. Di antaranya, suatu kala yang
sederhana, sangat sederhana. Terdapat secarik surat apik mengisi kotak
pos elektronik. Beberapa huruf berderet membentuk sebuah kata : HALO, yang
diiringi jajaran angka di belakangnya. Nomor togel? Atau nomor antrian
dokter kah? Atau jangan-jangan, nomor seri seorang narapidana?
Bukan.
Apakah
itu? Seharusnya, kamu tahu. Apa yang mampu membuat kupu-kupu dalam
perut saya bergerak kencang, tak mau diam, menggelitik
dinding-dindingnya dengan bulu sayap nan halus.
Ya. Kamu pun tahu. Mungkin, sinyal telepati dari benak saya, sempat mampir ke otak kecilmu. Ia mungkin berkata: kombinasi kata HALO-mu totally menghidupkan mereka - kupu-kupu di perut saya - kembali. Menghembuskan segumpal nyawa lagi.
I have butterflies flyingaround inside my tummy When i’m with you
*courtesy of LirikLaguIndonesia.Net I hear bellchimes ringing blown by wind of spring When i’m with you
Oh this tingling feeling makes me wanna jump Makes me wanna shout, across the room
Oh this feeling of longing but damn it’s so blinding I just can’t tell if i feel happy or sad
I heard blue birds singing up around the tree When I’m with you
I see rainbows appearing everywhere i go When i’m with you
#np Mocca - Butterflies In My Tummy Apakah sekumpulan kupu-kupu itu juga menghampiri rumahmu dan menggelitik perutmu? -penceritahujan-
Ada yang menyebutnya pertanda. Firasat. Signage. Tetapi, tak jarang penolakan terjadi. Denial. Dan berujar dalam satu bentuk kalimat. "Ah, itu kebetulan doang kali". Well, saya nggak pernah percaya sama sesuatu yang kebetulan. Kecelakaan. Accidentally happened ataupun hal lainnya.
Ada seorang anonim, sering berucap sebuah jalinan kata, everything happens for a reason. Klasik, namun memang benar adanya. Tuhan menciptakan semua itu sebagai tanda, bahwa terdapat makna di balik segalanya.
Tak dinyana. Semua itu adalah cara lain Tuhan berkomunikasi pada
makhlukNya. Tentunya, selain dalam ibadah, yang merupakan jalan kita -
sebagai manusia - untuk berbincang hangat denganNya. Ya. Belakangan ini, saya melumat habis buku "Supernova" pertama karya Dewi Lestari. Dan, leher pun seakan tercekat membaca sepenggal kalimat milik penulis jenius itu. Tuhan berbicara lewat banyak hal, banyak mulut, dan banyak peristiwa.
Ya. Dengan nama apapun setiap manusia memanggil Tuhan, Dia nggak pernah letih mendengarkan manusia. Bahkan, memberi jawaban, balasan, ucapan, lewat pertanda yang berbeda-beda bagi tiap kepala, tentunya.
Saya, nggak pernah bisa membayangkan. Tuhan, memberi rambu bervariasi bagi setiap makhlukNya. Radar menangkap sinyal tak berbentuk, kemudian diinterpretasikan secara berbeda. Hal ini yang sering membuat manusia salah duga. Salah membaca tanda. Salah memilih jalan, meskipun akhirnya pasti sama. Qadhar, memang sudah tersurat jelas di atas sana. Dalam buku kehidupan setiap manusia.
Saat itu, saya merasa terdapat sebuah ilmu yang sangat diperlukan. Bukan cenayang. Bukan paranormal. Apalagi dukun. Bukan! Saya menyebutnya dengan semiotika alam. Interpretasi tanda yang tepat, agar saya lebih tahu, arus manakah yang harus saya ikuti. Jalan mana yang harus ditempuh. Keyakinan apakah yang harus saya pilih.
Klise? Memang.
Tapi, hal ini terjadi di hadapan saya dengan sangat lucu. Terbukti dengan menggelitik. Sekali lagi. Dia menunjukkan tandanya. Lagi. Ya, suatu ketika, kaca di hadapan saya terjatuh - tanpa intervensi pihak luar, baik itu tangan, angin, ataupun hal lainnya. Hanya, anehnya, cermin itu tidak pecah sedikitpun, meskipun jaraknya memungkinkan terjadinya sebuah tabrakan brutal. Bahkan, retak pun tidak. Ajaib? Nggak masuk akal? Atau nggak terkena logika?
Semua ini menyadarkan saya, lagi, terhadap sebuah tanda. Sesuatu yang belum saatnya pecah, tidak akan pecah. Begitu pula rasa. Bila belum saatnya dia menghilang, menguap, bersatu dengan udara lepas yang mengawang ke angkasa, dia tak akan sama sekali raib. Dia masih menunjukkan jejaknya, bekas tapakannya, dan bahkan, memorinya.
Namun, ketika sang waktu tiba, Tuhan pun akan memberi tanda, dalam hal apapun. Bisa saja tanda ini saya temukan dari papan baligo di pinggir jalan. Dapat dengan mudah saya saksikan di layar kaca, atau bahkan saya simak ketika saya memperhatikan linimasa jejaring sosial. Ya, quotes dan sinyal ini tersebar dimana-mana. Nggak perlu dicari. Interpretasi tanda pun terjadi. Rasa itu, harus pergi.
Rasa itu mungkin tidak menghilang sepenuhnya. Dia, masih ada. Kekal. Hanya saja, sang rasa berubah, bertransformasi. Membeku, mengkristal, mati suri. Menjadi batu berkilau yang kelak, cuma dilihat bak sebuah pajangan. Kenangan. Memoribilia.
Ya. Everything happens for a reason. Dan sepertinya, kali ini, Tuhan memberi tandaNya. Ingin agar sesegera mungkin saya-hanya-mengubah-rasa-ini. Dari ada, menjadi tiada. Dari besar, menjadi kecil. Dari luas menjadi sempit. Dari dominan, menjadi minor. Dari mencair, menjadi membeku.
It so dark in here
No I can`t see a light
Take all the fires on me
It`s all my desire
But you just surrender
Take all the pain in your dreams
Langkahku terpejam
Titikku berada
Perlahan arahku memudar
Semu bayangku
Cermin tak berujar
Kemana arahku berjalan
Semua
Tertuju pada bayangku
Saat
kau renggut nafas jiwaku
Biaskan angkuh diriku
#nowplaying Homogenic - Kekal
Dan, bila kelak tiba saatnya Tuhan memberi tanda, bahwa saya harus berubah menjadi sesosok yang tak memiliki rupa. Menjadi dia yang sudah tidak ada. Satu hal yang saya inginkan. Kertas-kertas elektronik ini, bersama semua pertanda dan seluruh sinyal Tuhan, membuat saya tetap kekal.
Sekali lagi. Teknologi menggenggam peran penting dalam bio tersebut. Entah mempermudah, atau justru menjerumuskan saya lebih dalam ke dalam jabatan non-profit itu. Ya. Saya seorang stalker. Semacam penguntit. Mata-mata. Detektif tak berbayar. Atau mungkin lebih halusnya, seonggok investigator? Ya. Itu bahasa kerennya.
Percaya nggak percaya. Pekerjaan ini terasa menyenangkan untuk dilakukan berulang-ulang. Semua jejaring sosial - mulai dari Twitter, Facebook, Friendster bahkan situs search engine macam Google pun menjadi rekanan tetap. Seperti telah melakukan sebuah kontrak hati. Menggunakan cap darah sebagai tanda tangan. Dan air mata sebagai materai - yang harusnya cuma berharga Rp6000,00 saja.
Namun, nggak bisa dipungkiri. Kontrak hati, berbeda dengan kontrak mati. Bahkan lebih kejam. Menyayat perlahan. Saya, nggak bisa menghentikan kata hati saya, untuk mengecek para objek investigasi, hingga tuntas. Walaupun pada hakikatnya, kasus ini tidak pernah bisa selesai. Unfinished, kosa kata yang menyebalkan.
Dan kemudian, menjadi seorang penguntit adalah sebuah kebutuhan. Seperti makan tiga kali sehari. Atau minum di kala badan butuh cairan. Atau bahkan seperti berdiam memancing ide pagi-pagi di sebuah toilet yang nyaman. Jika tak dilakukan, badan akan terasa lemas, lelah, lesu, dan mungkin tidak bergairah.
Satu hal lagi. Menjadi seorang mata-mata tak resmi, seperti sebuah zat adiktif. Meminta terus menerus. Nagih. Dan, sebuah kalimat yang harus digarisbawahi. Layaknya zat adiktif pada umumnya, ketagihan ini merugikan, membuat hati berlubang. Menyesak dalam. Mengetahui sebuah, dua buah, atau bahkan ribuan fakta yang terungkap di luar sana. Membuat saya kembali terpuruk ke dalam konflik batin tak berujung. Hanya bisa dihentikan, saat profesi ini dihapuskan dari muka bumi.
Berharap dapat gaji dari profesi ini? Yap. Saya mendapatkan imbalannya. Air mata atau hati hampa. Fakta atau malah butiran awan pikiran negatif. Satu parcel penuh berisi sembilu, cutter, air keras, racun tikus atau bahkan samurai. Untuk menghunus perasaan. Membunuhnya perlahan.
Ingin resign? Bagaimana caranya. Sekali lagi. Kontrak hati tak bisa dibatalkan. Sudah perjanjian di atas cap darah, dan materai air mata, seperti yang sudah saya ucapkan sebelumnya. Penguntit seumur hidup yang tak tahu bagaimana cara untuk berhenti melakukannya.
Atau, hanya satu caranya. Teknologi komunikasi tinggi, kembali ditiadakan dari muka bumi. Berbincang lewat kertas surat, beraroma bunga. Bertanda cap bibir, bertuliskan "XOXO" di bagian bawah kertas surat. Mengirimkannya melalui bunga merpati. Atau bisa dimasukkan ke dalam sebuah botol, dihanyutkan hingga ke hilir. Mendarat di lautan, atau hinggap ke ujung pantai nun jauh di sana.
Dan, saat itulah. Ketika komunikasi tak lagi berbasis teknologi. Saat semua perbincangan, aktualisasi diri, dan media sosial terpatri lewat kertas kembali. Kala itu, saya akan berhenti menjadi penguntit. Resign selamanya dari profesi stalker. Melupakan objek investigasi, melepaskannya begitu saja, menghempaskannya menuju langit luas. Kapankah? Saya-tidak-akan-pernah-tahu-apakah-saya-bisa-atau-tidak.
you’ve been alright, without me all along the fact that upsetting, yet a lil bit releaving time is a mystery, space is a myth cant be sure where you’re going the darkness tells me nothing
we’re walking on a different tracks heading to a different space and time and i can see you’re doing okay though i’ll be using telescope capturing your moves, deliver love you might not received, not received.
#nowplaying Hollywood Nobody - Telescope
nb: untuk saya, dan seluruh detektif kontrak hati, di seluruh pelosok bumi.
Dua-ribu-dua-belas. Beragam prediksi mengelilingi pergantian tahun. Ramalan kiamat, badai matahari hingga bencana besar-besaran di sepanjang tahun. Naudzubillahimindhaligh. Bulu kuduk saya senantiasa bergidik, kala mengingat pergantian waktu akan terjadi. Saya meninggalkan tahun ke-11, di abad Milenium ini, berlalu melewati angka yang selalu saya sukai. Angka sebelas. Menuju angka dua belas.
Tapi, siapa yang bisa mengira-ngira akan apa yang terjadi? Apakah hari esok cerah atau berawan, apakah nanti akan turun hujan atau bahkan angin badai?
Apakah saya akan menangis atau tertawa bahagia?
Ya. Andai saya menjadi seorang cenayang, saya memilih untuk menguras habis air mata dari rumahnya. Mengosongkan hati saya, menggantinya menjadi sebuah mesin yang keras dan tak bisa berlubang. Mungkin, saya juga akan mencari-cari alat untuk menghapus ingatan dengan segera. Obat bius. Atau bahkan, saya menggunakan sebuah batu keras guna melindungi otak saya. Memori saya.
Banyak yang pergi. Dan ada yang datang. Dan kemudian pergi lagi. Bahkan, salah satu dari sosok terpenting yang ada di hidup saya, memutuskan untuk berpindah ke dimensi lain. Ralat. Tuhan mengirimnya ke dimensi lain, tempat ia berasal. Nun jauh di sana. Terbatas oleh dinding penghalang, yang bernama kehidupan. Dan hanya pesawat surat yang dititipkan melalui doa, yang akan sampai ke dimensi sana.
Otomatis. Awal hingga pertengahan tahun ini, gerombolan air mata memenuhi indera penglihatan saya. Nyaris lebih dari 120 hari. Hampir setiap minggu, kekosongan itu mampir. Menghampiri hati saya yang setengah sekarat. Yang mungkin, sebentar lagi, lebih baik diganti saja dengan hati imitasi, yang terbuat dari teknologi canggih buatan manusia.
Tapi,
Saya tahu, Tuhan nggak akan memberi sebuah cobaan yang berada di luar kemampuan saya. Bahkan, ada yang bilang, ujian itu diberikan untuk menaikkan derajat seseorang. Benarkah? Who knows.
Yang pasti, suasana hati saya terdongkrak seketika, ketika afeksi saya terpenuhi. Saat ada seseorang yang mengelus kepala saya lembut, dan berkata semua akan baik-baik saja. Saat seseorang memeluk saya erat, tanpa mengucap barang sepatah kata. Saat seseorang menghubungi saya, dan hanya mengungkapkan satu kalimat, "I won't ever leave you, matey, believe me, I won't!".
Saat ada seseorang yang menginginkan saya tersenyum, lebih dari apapun yang pernah saya lakukan di dunia ini.
Ku tahu kau sedih janganlah berlarut, oh sayangku.
Tersenyumlah dunia kan bersinar
Kalau duka menyerang jiwa biar hanya hati yang merasa
Tersenyum yang manis biar dunia lebih
Bersinar cerah
Kini kau tak sedih ku jadi bahagia memandangmu
Tersenyumlah dunia kan bersinar
#nowplaying Naif - Tersenyumlah
Seperti nama saya, Candella, Tuhan menciptakan seonggok saya untuk bisa memberikan sinarnya bagi orang lain. Bagi dunia, secara luas. Jadi, berapa kalipun saya mati, saya pasti bangkit lagi, tersenyum kembali, dan bersinar seperti sedia kala.
Thankyou people, thankyou besties. I love you, I do!
I remember, the way you glanced at me, yes I remember,
I remember, when we caught a shooting star, yes I remember,
Dan, kembali. Tembang yang dilantunkan Mocca itu bergema di telinga, menyentuh sang gendang, untuk kemudian mengalir peluh ke rumah siput - nama bagian yang aneh untuk sebuah area telinga. Alhasil, kembali mendekam di otak. Dan, lagi, irama itu berhasil membuat hati bergejolak.
Saya, adalah seorang fans berat dari memori, ingatan, kenangan, memento, atau apalah itu. Saya, senang menutup mata, untuk hanya membayangkan slideshow-slideshow peristiwa yang telah berlalu. Baik-buruk, senang-sedih, berbunga-bunga atau sakit sekalipun. Saya-senang-menyimpan-semua-itu.
Memori. Bagi saya, benda abstrak itu adalah salah satu buku maya terbaik yang dimiliki manusia. Best story ever. Layaknya intrik yang terdapat di sinetron, opera sabun, film silat bahkan novel, memori memiliki semua itu. Jika mungkin dikeruk, ratusan bahkan berjuta lembaran penuh aksara teronggok di sana.
Dan, sekali lagi. Saya. Seorang pecinta kenangan. Yang justru, pernah ingin menghapus sebagian memori, karena lubang menyesak di hati. Ingin lupa kalau ini - dan itu - dan ngana - dan nganu - sudah pernah mengebor dalam-dalam perasaan saya. Seperti film Eternal Sunshine of The Spotless Mind, saya pernah ingin berkunjung ke Lacuna.inc, dan memberikan ingatan saya secara cuma-cuma.
Tapi, lagi-lagi. Saya, seorang penggemar memento. Dan karena itu, saya sangat menyukai semua tempat yang pernah bercokol dalam ingatan. Salah satunya adalah Bandung, dan anehnya, Jakarta.
Bandung - pastinya - menggenggam peranan penting dalam sudut otak kecil saya. Kota tempat saya lahir, pertama menyukai hujan, perdana mencintai euforia, dan mengenal kata keluarga bahagia.
Dan Jakarta. Kota yang selalu ditakuti semua orang. "Neu, hati-hati ya di Jakarta, jangan terlalu percaya sama orang kalau di sana," itu adalah rangkaian kalimat yang terlampau sering saya dengar.
Jakarta, kota tempat saya mencari sesuap nasi. Kota yang ajaibnya, membuat saya jatuh cinta, dengan semua kenangan di dalamnya. Hutan beton bertulang, kemerduan suara bajaj, bersesakan penuh keragaman karakter di dalam bis, euforia musikal, es podeng yang menawan sampai berkhayal di tengah taman aspal kota.
Dan, lagi. Lirik lagu ini berkumandang dalam ingatan saya. Nggak heran, kalau setiap mendengar lagu ini, air mata berhamburan keluar dari rumahnya. Menggelitik mata saya, hingga tenggorokan terasa tercekat. Membawa sebuah rasa yang selalu saya simpan baik-baik di sebuah kotak rahasia.
Memory is still the God's awesome gift for human.
I remember, the way you glanced at me, yes I remember
I remember, when we caught a shooting star, yes I remember
I remember, all the things that we shared, and the promise we made, just you and I
I remember, all the laughter we shared, all the wishes we made, upon the roof at dawn
Do you remember?
When we were dancing in the rain in that december
And I remember, when my father thought you were a burglar
I remember, all the things that we shared, and the promise we made, just you and I
I remember, all the laughter we shared, all the wishes we made, upon the roof at dawn
I remember, the way you read your books, yes I remember
The way you tied your shoes, yes I remember
The cake you loved the most, yes I remember
The way you drank you coffee, I remember
The way you glanced at me, yes I remember
When we caught a shooting star, yes I remember
When we were dancing in the rain in that december
And the way you smile at me, yes I remember.
You and I buy star maps and drive my car around Los Angeles
You and I buy star maps and ding dong ditch a televangelist
It's only been a week, but I know that you are mine to keep
Lagu super ceria. Video klip yang super absurd. Dan tentunya, musisi yang super ajaib pula. Itulah tembang yang dilantunkan oleh Darwin Deez, grup band asal USA. Awesome freaky American - begitu pendapat saya, ketika melihat videonya terputar dari situs youtube.
Saya mendapatkan lagu ini dari seorang kerabat bernama Ramzi @ramzisme , yang sebenarnya hanya saya kenali dari situs jejaring sosial. Alhasil, karena saya sering semacam menulis status now playing, usut punya usut, selera kami hampir mirip. Surat elektronik pun menghampiri inbox saya. Dan, salah satu di antaranya adalah lagu ini. Judulnya sudah memiliki daya magnet yang kuat, sehingga saya memilih untuk memutarnya lebih dulu.
Wow! Racun, pelet, susuk atau entah apa yang tertanam dalam lagu ini sangat efektif. Terbukti, dari awal saya mendengarnya, hingga detik ini, aura bahagia seperti berkeliling di sekitar otak saya. Irama riang, lirik manis yang nggak gombal sama sekali: YOU ARE A RADAR DETECTOR.
Terlebih, saat saya mengintip video klipnya yang lebih absurd lagi. Sang frontman, Darwin Deez alias Darwin Smith, terlihat sangat bahagia karena hal-hal yang sederhana. Kertas-kertas beterbangan saat sesi pemotretan, memakai payung terbalik, merakit beberapa kamera lalu digunakan di kepala layaknya mahkota, hingga menyetir sebuah mobil mini berdua.
Satu kesimpulan terjadi, terutama menyinggung jiwa-jiwa lemah seperti saya: bahagia itu sederhana. Banget! Sangat! Amat!
Menyenangi pekerjaan, menikmati hal-hal kecil yang ada di tengah perjalanan, hingga memperhatikan lika-liku manusia yang lucu dan penuh keragaman. Ya, saya nggak harus mencari bahagia di bioskop, restoran mahal, tempat-tempat wisata nun jauh di sana, atau pusat pertokoan dengan brand-brand high-end.
Saya cukup bahagia saat menemukan sprei tosca dengan motif polka dot dengan harga terjangkau. Saya senang membeli rak biru muda yang sesuai dengan kamar kost. Saya bahkan bahagia ketika melihat seonggok susu rasa pisang siap untuk dilumat. Bahkan, saya bahagia karena mengetahui bahwa sosok yang selalu saya kagumi karyanya ternyata hanya berbeda satu lantai dengan saya.
Dan yang pasti, saya bahagia, saat menggali kenangan terdalam di ingatan. Saat flashback ke masa-masa saya tersipu malu, mengingat satu tempat karena kejadian yang berlalu di sana hingga sedetail-detailnya. Ya, saya bahagia karena saya memiliki kenangan yang manis dalam satu sisi otak kecil.
Dan, satu lagi. Satu hal lagi yang dapat membuat saya bahagia.
Ya, saya akan sangat bahagia bila telah mencium aroma petrichor, aroma tanah yang terkena hujan. Dan pastinya, saya-super-bahagia-maksimal-saat-bertemu-hujan. Seakan berjumpa kawan lama, saya ingin bermain hujan-hujanan tanpa mengenakan payung, mendengarkan lagu-lagu pembawa suasana hati, untuk kemudian menari-nari di sana.
Kenapa saya bahagia bertemu hujan? Seperti cerita yang diadaptasi dari ucapan seorang Edwin Windu Pranata alias @saya_ewing , "Hujan itu adalah utusan Langit untuk menyampaikan surat rindu untuk Bumi". Ya, hujan menggenggam sejumput rasa bahagia, Langit menitipkan serpihan hatinya untuk Bumi melalui Hujan, yang terpisahkan jarak dan waktu. Wajar jika saya bahagia, bukan?
Anyway, terimakasih pada Ramzi yang seakan menjadi penyelamat saya melalui lagu ini. FYI, sedikit ketidakseimbangan mampir pada pikiran saya belakangan ini. Dan, percaya nggak percaya, tembang Radar Detector ini menjadi obatnya, yang sangat ampuh guna menutup lubang luka yang terbuka lebar. Menyeimbangkan kembali kutub magnet bagi hati, jiwa, pikiran dan tubuh saya yang sedang kopong.
So, enjoy then! Semoga aura bahagia ini menular juga bagi semua-semua-semua-semua yang membaca tulisan ini dan akhirnya mendengarkan tembang Darwin Deez sebagai penyemangat hari. Cheers, people!