Kaleidoskop. Namanya cukup rumit. Mirip-mirip seperti mikroskop, stetoskop ataupun teleskop. Keluarga -skop tepatnya. Apakah itu marga? Ataukah itu nama keluarga? Atau jangan-jangan itu julukan kebangsaan kehormatan, seperti "Sir" atau "Kanjeng Ratu" dan sebagai macamnya.
"Ini apa Yah, teropong?" tanyaku saat Ayah memberikan bongkahan tabung merah sepanjang kira-kira 20 cm ke genggamanku.
"Bukan, ini Kaleidoskop," Ayah menjawab sembari melihat ke arahku yang kala itu masih berusia 8 tahun.
"Buat apa ini, sama kaya teropong apa bisa liat bulan kaya teleskop?"
"Bukan, Kanneu, spektrum cahaya bisa dibiaskan lewat cermin-cerminnya, dan diterjemahkan oleh kerikil warna-warni di dalamnya. Bagus!"
"Mana, mana..."
Spektrum cahaya matahari, seakan terpantul sana-sini, membuat sebuah bentuk dan warna berbeda-beda setiap kuputar barang satu gerakan kecil saja. Bongkahan tabung merah ini merupakan harta karun saya ketika itu. Bahkan sampai detik ini.
Kepribadian ganda itu menyebalkan. Namun beda dengan kaleidoskop. Karena kepribadiannya yang selalu berubah-ubah setiap saat itulah, kaleidoskop tak pernah terlihat monoton dan membosankan. Sedikit gerakan dalam tabungnya membuat kaleidoskop tiba-tiba berubah, dari manis menjadi gagah, dari hangat menjadi dingin, dari merah menuju biru.
Familiar? Kaleidoscope is similar with life, buddy.
Kaleidoskop itu hidup, dan sang pemegang kaleidoskop adalah Tuhan. Setiap hari, Dia menggerakkan kaleidoskop perlahan, dan hari pun berganti, tak pernah menjadi sama. Apakah itu menyenangkan atau menyesakkan. That's life, nggak ada yang monoton di dunia ini. Hari ini saya bangun jam 8, besok saya bangun jam 6 pagi, mungkin besoknya lagi saya tidak tidur sama sekali. Kemarin saya patah hati, mungkin saja hari ini saya bersenang hati.
Well, the point is, saya sangat menyukai kaleidoskop, sama seperti saat saya menyukai kehidupan yang tak pernah monoton. Kaleidoskop berkepribadian banyak, sedangkan kehidupan selalu berputar dan tak sama. Nice, sweet and awesome. That's life and that's kaleidoscope.
Hal kecil ini membuat saya terinspirasi untuk memasukkan kata "kaleidoskop" sebagai judul cerita bersambung saat saya mengikuti program #30HariCeritaCinta , dimana saya harus posting 10 cerita bersambung (minimal) dengan judul besar yang sama.
Well, why must I use the rain words? Soalnya saya sangat tergila-gila sama hujan. Kebetulan, hujan juga baik sama saya. Menganggap saya sahabat baiknya juga :) Hujan suka nemenin saya kalo saya lagi galau. Atau ada kalanya juga hujan menyamarkan air mata saya. Anyway, mungkin saja sebenarnya saya makhluk dari planet hujan yang turun ke bumi, makanya titik-titik hujan akrab banget sama saya.
Hal kecil ini membuat saya terinspirasi untuk memasukkan kata "kaleidoskop" sebagai judul cerita bersambung saat saya mengikuti program #30HariCeritaCinta , dimana saya harus posting 10 cerita bersambung (minimal) dengan judul besar yang sama.
Well, why must I use the rain words? Soalnya saya sangat tergila-gila sama hujan. Kebetulan, hujan juga baik sama saya. Menganggap saya sahabat baiknya juga :) Hujan suka nemenin saya kalo saya lagi galau. Atau ada kalanya juga hujan menyamarkan air mata saya. Anyway, mungkin saja sebenarnya saya makhluk dari planet hujan yang turun ke bumi, makanya titik-titik hujan akrab banget sama saya.
So, it does make sense if I named my stories as : Halo, Kaleidoskop Hujan!
Please read my stories, sorry if I can't write'em well. But anyway, that's all of my words.
Enjoy!!
.kandela.sangpenceritahujan.
Please read my stories, sorry if I can't write'em well. But anyway, that's all of my words.
Enjoy!!
.kandela.sangpenceritahujan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar