Kaleidoskop Hujan (taken from www.lindsayfield.wordpress.com) |
Aku, dia, diam tanpa mengucap sepatah kata pun. "Ayo kita menikmati pertanda terakhir dari saya dan kamu," ujar pria bermata coklat yang selalu aku kagumi itu. Petrichor, aroma tanah terkena hujan pun turut bergumul erat di hidungku. Titik-titik air kembali mengenai ujung jari tanganku. Pemandangan yang seharusnya sangat aku sukai.
Damn, buat kamu ini pertanda. Tapi buat saya, ini kutukan! Rasanya ingin aku melontarkan kata-kata tersebut tepat di depan wajahnya, dengan mata coklatnya yang sayu, serta air muka melankolis. Sialan, mulutku seakan terkunci rapat. Ada gembok tak terlihat yang menutup erat dan mencekik leherku. Suaraku tak mau keluar, sama sekali.
Yang pasti, mungkin aku akan memasukkan fenomena ini ke dalam Guiness Book Record milikku sendiri. Dia telah menanamkan sejuta kenangan dalam otakku, data pikiran pun seolah termanipulasi. Mungkin sebenarnya, lelaki yang sangat mendominasi pandanganku ini adalah tukang install ulang ingatan, menghilangkan semua kisah sebelumnya, untuk diisi kembali oleh 1 Terra file yang dipenuhi wajahnya beserta kisah-kisah filmis kami.
Atau mungkin, dia memiliki jimat, aji mumpung, atau mantra tersendiri yang ia bisikkan pada hujan. "Hujan, semoga dia selalu mengingat saya saat kamu menyentuhnya." Entahlah itu mantra pelet atau pesugihan dan pertapaan yang dia lakukan di sebuah goa Antah Berantah.
Entahlah. Bisa jadi dia menggunakan bahasa Icelandic ala Sigur Ros, sebuah band post-rock yang membuatku tergila-gila seketika, mengingat setiap saat bermain hujan bersama sepeda tua miliknya. Dia tahu, mantra berbahasa Iceland begitu mengena di hatiku, dimana dipercaya bahwa di kawasan yang penuh akan hamparan putih itu, tinggal lah kerajaan peri layaknya para Elf di film legendaris, Lord of The Ring. Mungkinkah dia peri yang diceritakan dalam tembang "Staralfur" kesayanganku kah? Sialan.
Apakah jati dirinya yang asli adalah monster hujan, yang diturunkan ke bumi untuk mengusik kehidupanku. Sepanjang nyawaku, aku akan dinaungi oleh kutukannya, setiap kali air hujan hinggap, hanya di satu titik tubuh, racunnya akan menyebar hingga merasuki hatiku. Ini lebih menyakitkan daripada benar-benar terkena serangan kamehameha, terhunus golok pembunuh naga ataupun sinar laser ala monster masa kini. Serangan dari dalam, keji!
Sial, untuk apa dia dulu menjuluki perempuan hujan padaku dan menganggap dirinya adalah pria gerimis yang selalu datang sebelum hujan tiba. "Ini aneh ya, setiap saya ketemu sama kamu, pasti hujan, this is really a sign," ujarnya beberapa bulan yang lalu. Ya, fenomena – yang dia sebut sebagai pertanda – memang selalu mengelilingi kehidupanku dan kisahnya. Pertanda, yang lebih mirip kutukan, membuatku sangat tak bisa mengenyahkannya dalam pikiranku.
What for? We're really over now.
Air hujan kala itu bercampur dengan tetesan air mataku, menciptakan sajian saripati pahit tak hanya di lidah. Mengalir deras, beranjak menuju bibirku yang masih terkatup. Hanya getaran-getaran menahan tangis yang kurasakan. Rasa asin ataupun pahit sudah tak lagi mampir di lidahku. Cuma satu kata yang aku tahu, sakit, terkena racun dan kutukan hujan, yang sekali lagi kamu sebarkan kepadaku.
Datang dan pergi dan datang lagi dan pergi lagi. Kutukan lainnya yang telah ia berikan padaku. "Mirabilly, saya sayang sekali sama kamu, makanya saya harus pergi."
Kata-kata sayang membuatku tak pernah benar-benar membencinya. Bahkan terkadang, kutukan itu membuatku merasakan kehadirannya, yang tak ada lagi di taman ini, tak ada lagi bersamaku saat ini. Dia meninggalkanku, seperti gerimis yang menyurut dan menjauh ketika sang hujan besar tiba. Kutukan hujan ini seperti zat adiktif bagiku. Walau sang tukang kutuk menjauh dan menjauh dan menghilang, tapi aku tak pernah bisa benar-benar membuang ingatanku.
"Billy, bangun! Subuh dulu," suara itu membuyarkan spektrum-spektrum warna, entah darimana, yang menghiasi pandanganku yang gelap. Mataku terbuka, sembari merasakan air mata membasahi pipiku. Aku menangis lagi.
Tik..tik.. jendela kamarku terkena tetesan air Illahi. Subuh-subuh begini, hujan sudah datang menghampiriku, menemaniku yang berada dalam suasana hati tak karuan. Dalam sekejap, kaca-kaca jendela ini tampak samar, blur, penuh dengan titik-titik cantik. Seperti membiaskan cahaya matahari terbit pagi ini. Seperti kaleidoskop.
Entahlah, apakah hujan ini kutukan, ataukah ini doa yang Rega kirimkan untukku. Rega, ya, pria gerimis yang menguasai tiga perempat dunia mimpi dan alam bawah sadarku ini. Rega, kamu dimana?
#NowPlaying Regina Spektor - Raindrops.
-bersambung-
http://30hariceritacinta.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar