Jakarta, 10 September 2012,
Pagi masih belum mau membuka mata. Wajar saja, masih pukul dua. Matahari pun masih belum siap menggeliat, membangunkan diri dari mimpi.
Jarang ada yang terbangun segar di area komplek perumahanku. Hanya makhluk-makhluk nokturnal saja yang terjaga, salah satunya adalah burung hantu, kecoak, dan aku.
Domba-domba maya beterbangan di atas kepala. Aku sudah mulai tidur ayam, berada di antara batas dimensi nyata dan mimpi, tapi itu sebelum kamu datang. Sebelum kamu mengubahku menjadi si gadis nokturnal kembali. Mengetuk jendela kaca dengan batu kecil, memberikan sapaan malam yang selalu kunanti dalam dimensi virtual?
Kamu datang dengan senyummu yang biasa. Lalu, kamu memaksaku berkebun pagi-pagi. Menanam sejumput gelitik kupu-kupu dalam perutku, yang sebenarnya telah tersimpan sejak lama. Sejak gelitik itu masih berbentuk ulat bulu, berjalan pelan dari tahun demi tahun. Kutahan dan kuhilangkan paksa karena satu diksi bernama norma.
Kamu menyebarkan kembali virus demam metamorfosis ini dengan berbagai cara dan alibi. Tak heran bila aku mudah menanam bibit gelitik, gampang memiliki rasa tanpa nama.
Kamu menggenggam tanganku, menyentuhkannya ke pipimu yang dingin, sehabis terkena angin. "Tangan kamu hangat," ujarmu seraya menerbitkan senyum bulan sabit yang manis.
Aku cuma bisa mengikuti cara senyummu, tapi lidahku kelu. Aku sudah meleleh, mencair. Kebun gelitik yang sudah kuanggap mati itu, kembali merekah, memerah.
Lalu kamu terlelap dan memejamkan mata. Tapi, tanganmu masih dalam posisi menggenggam erat pergelangan tanganku, membiarkanku mengusap lembut wajahmu dengan seribu pro kontra dalam hati.
Apa-apaan ini, batinku bertanya tanpa henti. Tapi apa daya, tanganku enggan berpindah. "Aku masih mau disana!" ujarnya lugas. Bahkan tubuhku pun melawan logika.
Beberapa puluh menit kulalui, hanya dengan menunggumu bangun dari mimpi panjangmu. Menanti kenyataan, apakah kamu ingat saat tanganku menyentuh wajahmu.
Apakah kamu tahu, bahwa kali ini, tak dipungkiri, aku menanam gelitik itu kembali. Aku menyimpan rasa anonim itu tanpa seijinmu.
Ataukah bagimu, aku hanya sebagai alat? Aku hanya sebagai material substansi?
Ataukah bagiku, kamu hanyalah pengisi sepi? Menjadi partner penikmat sebuah spasi?
Ataukah, gelitik ini hanya fiksi? Apakah aku dan kamu, hanya menjadi sebuah cerita, bukan untuk menjadi nyata?
Mungkin kamu bidadari yang ku cari
Mungkin kamu hanya teman yang kusayangi
Mungkin semua telah tertulis dan kujalani
Mungkin aku hanya pusing ku tak mengerti
Mungkin semua tak seperti yang kurasa
Mungkin rasa hati ini tak ada arti
Mungkin aku hanya bingung merasa sepi
Mungkin aku hanya pusing ku tak mengerti
#nowplaying Kaimsasikun - Mungkin
-penceritahujan-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar