Bis hari ini begitu sepi. Tak seperti biasa, jejalan manusia seperti bersembunyi. Mungkin makhluk-makhluk ibukota tengah melakukan aktivitas menyepi, takut keluar rumah akibat berjubelnya kriminalitas yang terjadi. Mungkin saja.
Meskipun bis ini kosong, seperti paus raksasa tanpa organ dalam, tetapi, aku berada di sini, di deretan tengah bis berwarna jingga ini. Dan, lucunya, bukan hanya aku, supir, penjaga pintu bis dan tangan kanan Tuhan yang ada di dalam kendaraan besar tersebut. Lelaki itu masih ada di tempat duduk kesayangannya. Jelas berseberangan dengan bangku yang biasa kududuki.
Aku dan lelaki itu masih pada pendirian kami, melakukan kebiasaan sehari-hari. Dia menduduki bangku terpojok di dekat pintu belakang, sedangkan aku masih memiliki deretan tengah sebagai area jajahan rutin.
Aku hafal betul, aktivitasnya masih sama. Menggenggam sebuah buku dengan judul berbeda-beda setiap harinya. Entah berapa jam ia habiskan untuk melumat habis satu gerombolan cerita hingga tuntas.
Kabel earphone putih kumal menjuntai dari arah daun telinganya yang kemerahan. Bahkan dia pun sering bersenandung asyik dalam dimensinya sendiri. Sepertinya dia tak pernah sadar kalau aku mengintipnya diam-diam dari area sayap tengah ini.
Aku biasa memanggilnya Titiran, walau dia tidak pernah tahu aku menyapanya dengan nama itu. Kenapa Titiran? Aku menyukai nama itu. Titiran adalah sejenis spesies burung, seperti Tikukur dan Gagak. Tapi, dia memiliki makna lain, yaitu baling-baling. Terbang, bebas dan lepas.
Lantas, bagaimana arti Titiran dalam ruang lingkup khayalku? Keduanya sama saja. Titiran bagiku, adalah seorang Titiran yang membuat daya imajinasiku melayang bebas, seperti burung dan baling-baling. Dia adalah seseorang dengan nama fiksi yang ambigu, menyisipkan rasa yang tak kalah janggal pula.
Aku memikirkannya ketika aku menginjakkan kaki di depan pintu rumah. Aku melamunkannya dalam dimensi kedua otak yang bernama mimpi. Lalu, apa yang kulakukan ketika tak sengaja bertemu mata dengannya? Lidahku kelu. Aku masih belum ingin menyapanya. Bukan karena malu atau tak berani.Tapi karena sebuah alasan abstrak, yang aku pun belum tahu apakah itu.
Aku pernah bertanya pada sahabatku tentang si kupu-kupu yang kerap menggelitik perutku. Entah kupu-kupu atau burung elang yang ada di dalam sana. Perutku mual setiap melihatnya.
"Fau, pernah nggak kamu diem-diem suka sama orang yang belum kamu kenal sama sekali?"
"Pernah sih, kenapa emangnya?" Fau menjawab asal sembari membaca majalah musik kembali. Dia menganggap tanyaku sebagai angin lalu. Dasar lelaki!
"Hmm, nggak sih, mau tahu aja. Terus abis itu kamu ngapain?"
"Ya, standar, cari tahu namanya, ajak kenalan, minta nomor atau pin BB, kontak-kontak deh. Emang maunya apalagi?"
"Nggak bisa ya kalau nggak harus kenalan?"
"Terus, cuma bisa jadi secret admirer doang? Nggak rame banget lah, cemen, nggak laki."
"Hmm, emang kalau suka sama orang harus kenal, diliatin dan usaha ngedeketin yah?
"Kenapa harus enggak?"
Betul juga sih. Perasaan itu harus pamrih, harus ada balasannya. Setidaknya, harus ada usaha, agar sang penasaran sirna dari permukaan bumi. Tak datang-datang lagi sama sekali.
Kalimat "kenapa harus enggak" itu menggeliat penuh dalam otak. Bangun dari mimpinya yang panjang, memaksaku untuk setidaknya melakukan sesuatu. Aku harus mau berusaha. Paling tidak, untuk tahu namanya saja. Sudah cukup, bukan?
Titiran, sebentar lagi aku akan tahu nama asli kamu. Haruskah, Titiran? Haruskah aku melakukan itu? Haruskah aku mengusirmu sebagai seorang sosok imajiner, menggantinya menjadi sesuatu yang nyata? Haruskah aku berhenti mengagumi diam-diam?
Aku memutuskan untuk berjalan ke arah Titiran - sang pria maya yang akan menuju nyata. Aku rela melawan gerakan bis yang melaju kencang. Saat itu, Tuhan seperti memberiku sebuah pelajaran: waktu adalah barang maya yang relatif.
Namun, waktu tak cukup lama untuk hasrat 'kenapa harus enggak'ku yang hanya berjalan sepersekian detik. Terdengar suara parau setengah berteriak, "Persiapan! Halte Kebayoran Lama, Gandaria City!"
Titiran berdiri, melangkahkan kakinya menuju pintu bis. Titiran tidak turun di halte biasanya. Waktuku ternyata tak cukup banyak. Dan aku tak mau mengulang keganjalan hasrat ini di lain hari. Hanya saat ini, atau tidak sama sekali.
"Maaf mengganggu! Saya Aira, selalu berpapasan denganmu di bis dengan plat yang sama, warna yang sama dan waktu yang nyaris sama dan saya selalu memperhatikanmu sejak lama juga," suaraku menyeruak ramai tanpa titik koma. Seperti kaset berpita rusak dan lagu distorsi tinggi.
Titiran - maksudku pria itu - kaget untuk beberapa detik. Ia bingung harus melakukan apa, yang berujung dengan senyuman bulan sabit dan sapaan balik. "Hai juga, saya Yoga, terimakasih ya, Aira. Have a nice day!"
Yoga? Jauh dari ekspektasiku. Tak ada nama Titiran tertera dalam diksi 'Yoga'. Yoga memang sebuah aktivitas menenangkan batin, tetapi tak melepaskan diri, tak terbang seperti baling-baling ataupun burung. Dia tidak seperti Titiran.
Aku melihatnya berjalan keluar bis, meninggalkan sedikit luka sesak ketika aku bernapas. Titiran sudah tiada. Dia berganti menjadi Yoga, yang memeluk seorang gadis berperawakan sempurna di luar sana. Dia berubah wujud menjadi Yoga, yang tak lagi menyukai buku-buku sebagai temannya.
Dia tak pernah lagi mencintai sore yang terpatri di luar jendela bis. Ataupun menikmati kemacetan sembari mendengar satu album penuh lagu hujan. Dia itu Yoga, bukan Titiran.
Dan aku? Bagaimana nasibku setelah itu? Air mataku berebutan keluar dari rumahnya. Aku ingin bertemu Titiran, bukan Yoga. Aku ingin bersama Titiran, bukan Yoga. Dan, akibat aku mengedepankan hasrat 'kenapa harus enggak', aku kehilangan bayangan imajiner itu. Aku kehilangan Titiran.
Biarkan yang tak terjangkau, tetap menjadi yang tak terjangkau. Biarkan sosok imajiner, tetap menjadi sebuah bayangan maya. Karena, ketika dia nyata, dia akan menjadi berbeda.
You're my picture on the wall.
You're my vision in the hall,
You're the one I'm talking to,
When I get in from my work,
You are my girl, and you don't even know it,
I am living out the life of a poet,
I am the jester in the ancient courts,
And you're the funny little frog in my throat.
#nowplaying God Help The Girl - Funny Little Frog
-penceritahujan-
nice post :)
BalasHapusditunggu kunjungan baliknya yaah ,