Tepi Rel, 15 September 2011,
Aku menunggunya, di tengah lajur-lajur besi yang sudah usang termakan hujan. Ya. Itu adalah tempat pertemuan kami yang pertama-tepat setahun lalu. Bermandikan aroma tanah selepas gerimis. Berhiaskan sebuah bohlam raksasa di angkasa sana. Berirama lantunan jangkrik sebagai teman sepi. Hanya ada suaraku, dan suaranya.
Tahun ini,
aku kembali menantinya. Tidak ada yang salah. Dia pernah berujar suatu kata.
Dan, oleh karena itu, brankas hatiku masih menyimpan sebuah rasa bernama
rahasia, yang membuatku adiktif untuk selalu mengenangnya. Membenamkan diriku
pada sejumlah pecahan bernama memori.
Dia hanya
membayar hutang. Melunasi janji yang telah bernyawa selama 365 hari. Dia pernah
bercerita tentang sebuah dimensi, yang Tuhan sebut dengan dosa. Dan dia,
berjanji mengajakku kesana. Mencampuradukkan adonan rasa dengan blender canggih yang hanya beredar di
dunia khayalku.
Hari ini,
dia datang kembali, tepat kala sinar bulan purnama menghampiri sekujur tubuhku.
Dia datang, seusai gerimis – lagi. Wajahnya sedikit basah. Tapi tetap tampan. Justru
bulir-bulir air itu membiaskan cahaya sang bohlam angkasa.
“Suatu saat
saya akan datang padamu lagi, Jingga,”
“Suatu
saat...?”
“Saat
dimensi kita tak lagi mengenal kata dosa,”
“Dan saya
selalu menunggu kamu, Purnama, sampai saatnya tiba,”
“Saya tahu, saya
selalu tahu,”
Purnama mampir
ke Bumi dalam waktu semalam saja, lantas pergi entah kemana. Dan aku tahu, dia tinggal
dalam dimensi maya. Dia, seperti malaikat yang menyukai itik buruk rupa.
Perpaduan dua dongeng yang tak berkesinambungan. Tapi, itulah nyatanya.
Dia – seorang
yang tercipta sempurna – memilih untuk mengubar janji palsu kepadaku yang tak
berarti suatu apa. Aku hanya seorang gadis miskin sebatang kara yang tinggal di
pinggir rel kereta. Aku memang tak memiliki ibu peri. Cinderella saja memiliki
seorang ibu peri. Lantas, apa yang aku miliki? Hanya sebuah khayalan yang
melambung tinggi. Harapan kosong yang berbuah senyuman tipis. Aku cuma punya
janji Purnama.
Akhirnya, aku
melihat Purnama pergi, setelah rerumputan bukit di samping lajur besi memberi
waktu untuk kami berpindah dunia menjadi dimensi dosa, lagi dan lagi. Dan dia,
berjanji akan datang setahun lagi. 365 hari. Tepat saat Bulan Purnama menapaki
batasnya.
Walau aku
tahu, janjinya itu imitasi.
***
Tepi Rel, 16 Desember 2011,
“Jingga, siapa bapaknya?”
“Jingga, lo ngehargain diri lo berapa duit
sih?”
“Noh, Si Jingga kan istri simpenannya
pejabat noh?”
Cacian sudah
berjalan seiring waktu. Sudah tiga bulan aku menyimpan titipan Tuhan dalam
perutku ini, oleh-oleh dari dimensi Dosa yang telah kulewati. Tapi, nama
Purnama tetap menjadi rahasia. Aku hanya tersenyum menampik semua makian itu. Aku
tak akan menjawabnya lewat diksi. Karena ini adalah sebuah kontrak hati yang
tidak bisa mati.
Aku hanya
seorang gadis miskin sebatang kara yang tinggal di pinggir rel kereta. Aku
memang tak memiliki ibu peri. Tapi aku memiliki Tuhan, doa, janji Purnama dan
titipanNya.
Halo Purnama Kecil, kamulah yang kutunggu
untuk menjadi nyata.
***
Tepi Rel, 18 Juli 2012,
Perutku tak
karuan. Seperti sedang digerus oleh gergaji mesin. Aku tak kuat, tapi aku harus
kuat. Demi Purnama Kecil, demi Purnama – yang sekarang entah ada dimana.
Kakiku
semakin lemas dan bergetar. Tanganku sudah bersimbah darah, tanpa ada satupun
yang menemaniku. Hanya makhluk angkasa, batang-batang besi usang dan tikar
jerami yang menjadi saksi getirku hari ini. Aku tak tahu, sampai mana batas
kekuatanku.
Aku hanya
seorang gadis miskin sebatang kara yang tinggal di pinggir rel kereta. Aku
memang tak memiliki ibu peri. Tapi Tuhan memberiku harapan dalam bentuk Purnama
Kecil, dan aku tidak ingin menyudahi mimpi ini. Tuhan menggantikan janji Purnama, dengan
janjiNya yang pasti.
Tuhan, tolong, jangan sampai mimpiku kali
ini terbabat habis, Tuhan. Jangan sampai harapan yang sudah kupendam selama 9
bulan ini menguap kembali. Menjadi sebuah barang imitasi, lagi dan lagi.
Ini bulan Purnama, Tuhan. Harta pertama yang
aku miliki, sebelum Purnama, dan titipanMu. Jangan ambil lagi, jangan ambil
lagi.
***
Tepi Rel, 15 September 2012,
“Maaf
mengganggu, apa Mbak tahu Jingga ada dimana?”
“Jingga?
Yang disebut-sebut orang cewek simpanan, maksudnya, Mas?”
“Errr, saya
kurang tahu hal itu, tapi pastinya Jingga yang selalu menatap langit di pinggir
rel kereta ini, tepat saat bulan purnama tiba. Mbak tahu nggak dia dimana?”
“Udah dua
bulan dia enggak ada, Mas,”
“Maksudnya?”
“Dia
melahirkan tanpa bidan, terus meninggal soalnya kurang darah, bayinya juga gitu, Mas, meninggal setelah lahir,”
“Bayi?”
“Iya,
makanya banyak yang bilang dia istri simpanan pejabat, kayaknya sih bener, Mas,”
“....”
“Mas siapa
ya?”
“....”
“Mas?”
“Sa-saya cuma kerabatnya, sesama penikmat angkasa. Nama saya Purnama,”
***
Dibawah sinar bulan purnama
Air laut berkilauan
Berayun-ayun ombak mengalir
Ke pantai senda gurauan
Dibawah sinar bulan purnama
Hati susah jadi senang
Gitar berbunyi riang gembira
Jauh malam dari petang
Beribu bintang bertaburan
Menghiasi langit hijau
Menambah cantik alam dunia
Serta murni pemandangan
Dibawah sinar bulan purnama
Hati sedih tak dirasa
Si Miskinpun yang hidup sengsara
Semalam hidup bersuka
-penceritahujan-