Senin, 30 Juli 2012

Magnet #2 : Teknologi Membuat Sepi

Jakarta, 30 Juli 2012,

Halo Kota Metropolitan! Hari ini, saya kesepian. Di balik lalu lintas yang padat merayap, serta sejumlah kepala yang begitu sibuk berbelanja, beranjak pulang kantor dan bertemu keluarga, saya-sendirian-saja. Single fighter - edisi kerennya.

Kala itu, telepon pintar saya mati total. Layarnya menghitam, tertidur dan terpejam. Nggak asyik? Nggak oke memang jika berkelana seorang diri di tengah kemacetan ibukota, tanpa sesosok gadget berada di genggaman. Alhasil, saya mengambil sebuah kesimpulan sementara yang mungkin agak kontradiktif. Teknologi membuat saya merasa sepi.

Lah, kok bisa? Seharusnya peran teknologi adalah membantu manusia, bukan? Perusahaan gadget berlomba-lomba untuk menjadi yang pertama, guna menjadi teman mesin bagi mereka-mereka yang menghabiskan sebagian waktunya di jalan raya, terutama di ibukota. Harusnya, manusia pun menemukan sahabat baru, bertajuk mesin, dan teknologi.

Seperti sebuah kutub yang saling bertolak belakang, sifat saya dan teknologi ini bagaikan tarik menarik. Daya magnet yang ditanamkan sangat tinggi. Telepon pintar - salah satunya - telah sukses membuat saya ketagihan, seperti vetsin dalam mi instan, atau gula pada gulali. Jika hanya terpikat magnet saja, bukan masalah. Yang menjadi masalah, bagaimana jika salah satu kutub mendadak hilang? Mati?

Yes! Ketergantungan ini yang telah membuat saya merasa super-kesepian-di antara-keramaian. Tanpa jejaring sosial, tanpa update status, tanpa berbincang virtual, tanpa mengintip sang objek investigasi. Tangan seperti terasa gatal. Serasa ada yang hilang. Drama hiperbola pun dimulai.

Duduk sendirian di bis menuju kantor, malam-malam menghadang, diiringi suara klakson kendaraan bermotor di sana-sini. Alhasil, suara musik dalam ingatan jadi semacam soundtrack. Gelembung-gelembung awan maya pun keluar dari ujung kepala. Kombinasi antara kenangan dan khayalan yang membuahkan satu kata rindu. Memento.

Oke. Ternyata ketidakseimbangan terjadi. Salah satu kutub magnet saya menghilang, sehingga saya seperti berjalan kopong. Seperti kaleng kerupuk kosong. Tercipta sebuah suasana, dimana para rekan muda di luaran sana, banyak menyebutnya dengan kata "galau".

Pembicaraan monolog terjadi dalam dunia maya. Yang sebenarnya, tak pernah benar-benar terjadi. Atau bahkan, saya nggak punya nyali untuk mengadakan percakapan sebenarnya, menyerupai khayalan saya. Alkisah, kala itu saya hidup dalam dimensi fiksi, dan ilusi, untuk beberapa menit perjalanan.

And fifteen minutes later, I'm finally home. Tebak, apa yang saya cari saat saya pertama menginjakkan kaki di ruangan dengan saluran elektrikal? Oke. Stop kontak bahkan lebih menjadi favorit daripada segelas eskrim Maccha ataupun sajian televisi berisikan Mocca atau SORE. Komunikasi virtual telah menjadi sebuah hal yang adiktif. Nagih.

Selama nyaris satu jam, saya merasa sangat kesepian. Seolah-olah dunia yang saya lihat sangat blur. Medan magnet berlebih ini membuat saya lemah, ketika salah satu di antaranya hilang, atau terganggu.

Dan, satu nilai positif bisa disisipkan dalam sebuah kasus sederhana ini. Teknologi, tak dinyana memiliki sebuah daya tarik yang kuat. Semakin canggih, gadget pun terasa sangat bersahabat. But anyway, pikirkan kalau suatu ketika, teknologi hilang. Enggan bekerja sebagaimana mestinya. Seperti bom atom.

So, let's get a real life. Kekinian berbasis teknologi tak menjamin serpihan hati kosong bisa terisi. Coba cari beberapa cara yang lebih konservatif. Mulai bermain kertas dan pena lagi, berbincang bersama manusia seutuhnya tanpa sarana komunikasi, dan sedikit menjauhkan ketergantungan pada teknologi.

Well, write down some letter that never sent, just to make me a bit happier. Perhatikan sekeliling, dan mulai bergerak untuk menyingkirkan pandangan dari telepon pintar barang beberapa saat. Dan untuk hal ini, kertas berfungsi besar guna menghilangkan sedikit lubang akibat ketidakseimbangan daya magnet manusia dan teknologi.

And it works! Abrakadabra~

Dan, yang menjadi soundtrack ketidakseimbangan daya magnet selama satu jam ini jatuh kepada tembang berikut. Now playing on my head Koil - Aku Rindu.

Enjoy! 

 


 -penceritahujan-

2 komentar:

  1. Tapi gadget mampu membuat saya lari dari pikiran2 di kepala.. Hehe..

    BalasHapus
  2. Setuju banget, Mbak. Gadget itu emang di butuhkan untuk mengisi kekosongan kegiatan. Tapi, ada kalanya kita untuk menyingkirkan gadget dan beralih ke hal-hal yang dulu sempet kita lakukan tapi ngilang gara2 gadget.

    BalasHapus