Distraksi raksasa membuat otak saya enggan merangkai kata. Bahkan, saya tak sanggup merangkai satu kalimat berarti pun bagi tempat kerja yang saya impikan, gabungan antara dua dunia yang saya lakukan dahulu.
Entah monster macam apa distraksi ini. Sekali lagi, dia mengenyahkan semua niat di pagi saya, dan mengusir penuh seluruh ide dalam kepala.
Mungkin saya terlihat baik-baik saja. Sudah beranjak pergi dari kenangan buruk yang menghantui. Kehilangan sesosok pegangan hidup, sebuah tujuan mengapa saya ingin menjadi seorang perempuan hebat yang mandiri, ternyata membunuh impian saya perlahan. Kosong menjadi nama tengah saya.
Saya memang tak menangis setiap hari sejak malam itu. Tak seperti orang kebanyakan, sosok saya seakan menjadi seorang yang tegar, kuat, hebat, dan masih menebar senyuman itu, satu-satunya warisan dari seorang Mama. Bahkan, saya sudah memulai kehidupan baru, merantau ke ibukota dan merasakan kultur yang tak pernah saya temui selama lebih dari dua puluh tahun ini.
Tapi, kemudian saya tersadar. Saya masih belum pulih benar. Ada yang bilang, semakin dalam sebuah luka, darah tak akan keluar dari sana. Sama halnya dengan sayatan yang hadir sejak tiga minggu yang lalu. Terlalu dalam, oleh karena itu air mata jarang hadir membasahi wajah saya.
Kini, di antara keramaian sudut ibukota, saya mendapatkan pekerjaan di tempat yang saya inginkan. Cita-cita saya, yang membuat saya teringat seorang Mama. Tapi justru, kenapa di tempat ini, jari jemari seolah enggan menari-nari di atas tombol-tombol huruf itu.
Entahlah, jawabannya, hanya berupa titik-titik mungkin. Kosong, dan saya tak bisa mengisinya sama sekali.
Entah monster macam apa distraksi ini. Sekali lagi, dia mengenyahkan semua niat di pagi saya, dan mengusir penuh seluruh ide dalam kepala.
Mungkin saya terlihat baik-baik saja. Sudah beranjak pergi dari kenangan buruk yang menghantui. Kehilangan sesosok pegangan hidup, sebuah tujuan mengapa saya ingin menjadi seorang perempuan hebat yang mandiri, ternyata membunuh impian saya perlahan. Kosong menjadi nama tengah saya.
Saya memang tak menangis setiap hari sejak malam itu. Tak seperti orang kebanyakan, sosok saya seakan menjadi seorang yang tegar, kuat, hebat, dan masih menebar senyuman itu, satu-satunya warisan dari seorang Mama. Bahkan, saya sudah memulai kehidupan baru, merantau ke ibukota dan merasakan kultur yang tak pernah saya temui selama lebih dari dua puluh tahun ini.
Tapi, kemudian saya tersadar. Saya masih belum pulih benar. Ada yang bilang, semakin dalam sebuah luka, darah tak akan keluar dari sana. Sama halnya dengan sayatan yang hadir sejak tiga minggu yang lalu. Terlalu dalam, oleh karena itu air mata jarang hadir membasahi wajah saya.
Kini, di antara keramaian sudut ibukota, saya mendapatkan pekerjaan di tempat yang saya inginkan. Cita-cita saya, yang membuat saya teringat seorang Mama. Tapi justru, kenapa di tempat ini, jari jemari seolah enggan menari-nari di atas tombol-tombol huruf itu.
Entahlah, jawabannya, hanya berupa titik-titik mungkin. Kosong, dan saya tak bisa mengisinya sama sekali.
-penceritahujan-060312-
suka baca tulisan mu...salam kenal :)
BalasHapuskadang luka yang terlalu dalam justru hanya menyisakan senyuman