“Jangan salahkan saya, saya itu skeptis dan apatis,” gumam Tuan Telur sembari menggulingkan badannya ke kasur jerami. Dia kabur dari rumahnya, kandang yang dipenuhi oleh bulu-bulu hangat sang induk.
Tuan Telur memang tak pernah peduli dunia luar. Dia membiarkan bisik-bisik miring melayang di kiri dan kanan telinga mayanya.
“Telur yang aneh, apakah dia selamanya akan menjadi cangkang kosong tak berhati?” Kata-kata itu terdesah pelan dari makhluk-makhluk di sekelilingnya. Bahkan, batang jerami nan tipis pun ikut dalam arisan kandang.
Seakan terdapat headphone raksasa yang menghiasi tubuh bulatnya, Tuan Telur melangkah tegap, lurus, dan tak mendengar untaian kata busuk itu. Wajah datar tampak dari guratan-guratan pena di permukaan cangkang kecoklatan. “Yeah, whatever, I don’t care,” ungkapnya dalam hati.
Tembang Manic Street Preachers bertajuk Enola-Alone menjadi soundtrack kehidupannya. Kesendirian-kesunyian-kesepian menjadi sahabat sejatinya. Berjalan sendiri, melompati genangan air, bahkan membiarkan tubuh bundarnya menggelinding manis di jalan berbatu. Tuan Telur tak peduli, bahkan rasa sakit itu lah yang membuatnya tertawa.
Tuan Telur mati rasa. Cangkangnya terlalu keras untuk ditembus. Hatinya terlalu hancur untuk disusun kembali. Dan ingatan-sakit-perih, kembali begitu saja. Tak bisa dihapuskan, walau Tuan Telur sudah bereinkarnasi, meski setahun sudah beranjak pergi.
“Sekali lagi, biarkan saya. Saya itu skeptis dan apatis, jadi biarkan lah saya, terkurung terus dalam cangkang, dan entah kapan bisa melihat terang.”
-penceritahujan-
Kasihan si Tuan Telur ._. ia pasti sangat kesepian...
BalasHapus