Kamis, 03 Mei 2012
#justsaying #aboutMama
Dia ga datang bukan berarti dia ga sayang. Dia cuma gamau bikin saya sedih aja, kalau harus inget-inget dia lagi, dengan kunjungan kilatnya ke alam mimpi. :)
Tentang Tuan Telur #2
“Jangan salahkan saya, saya itu skeptis dan apatis,” gumam Tuan Telur sembari menggulingkan badannya ke kasur jerami. Dia kabur dari rumahnya, kandang yang dipenuhi oleh bulu-bulu hangat sang induk.
Tuan Telur memang tak pernah peduli dunia luar. Dia membiarkan bisik-bisik miring melayang di kiri dan kanan telinga mayanya.
“Telur yang aneh, apakah dia selamanya akan menjadi cangkang kosong tak berhati?” Kata-kata itu terdesah pelan dari makhluk-makhluk di sekelilingnya. Bahkan, batang jerami nan tipis pun ikut dalam arisan kandang.
Seakan terdapat headphone raksasa yang menghiasi tubuh bulatnya, Tuan Telur melangkah tegap, lurus, dan tak mendengar untaian kata busuk itu. Wajah datar tampak dari guratan-guratan pena di permukaan cangkang kecoklatan. “Yeah, whatever, I don’t care,” ungkapnya dalam hati.
Tembang Manic Street Preachers bertajuk Enola-Alone menjadi soundtrack kehidupannya. Kesendirian-kesunyian-kesepian menjadi sahabat sejatinya. Berjalan sendiri, melompati genangan air, bahkan membiarkan tubuh bundarnya menggelinding manis di jalan berbatu. Tuan Telur tak peduli, bahkan rasa sakit itu lah yang membuatnya tertawa.
Tuan Telur mati rasa. Cangkangnya terlalu keras untuk ditembus. Hatinya terlalu hancur untuk disusun kembali. Dan ingatan-sakit-perih, kembali begitu saja. Tak bisa dihapuskan, walau Tuan Telur sudah bereinkarnasi, meski setahun sudah beranjak pergi.
“Sekali lagi, biarkan saya. Saya itu skeptis dan apatis, jadi biarkan lah saya, terkurung terus dalam cangkang, dan entah kapan bisa melihat terang.”
-penceritahujan-
Rabu, 02 Mei 2012
Tentang Tuan Telur #1
Kulitnya memang mengeras. Namun, isinya masih kompong. Hati Tuan Telur masih kosong. Setahun tepat ia terlahir kembali menjadi seonggok Tuan Telur, tapi sakit hatinya masih belum sembuh.
Ada yang bilang reinkarnasi itu hanya khayalan belaka. Tapi, Tuan Telur mengalami proses itu. Nyawanya berputar lagi. Dia sudah mati setahun lalu. Sesosok monster memakan habis hatinya. Sejak itu, Tuan Telur terombang-ambing tanpa hati, barang satu senti pun.
Kini, Tuan Telur menanti waktu yang tepat. Menunggu masa bulu-bulu hangat sang induk mengeraminya dengan penuh kasih sayang. Menunggu butiran-butiran darah merah kembali menjalar dalam pembuluhnya, lalu membiarkannya mengalir menuju jantung. Menunggu saat yang tepat, ketika Tuhan kembali menghembuskan rasa ke dalam inderanya.
Tepatnya, menunggu hatinya terisi kembali. Tak melompong. Tak hampa.
Dan ia, masih mendekam dalam tidurnya yang cenderung lama. Menggulung diri dalam cangkang, menunggu sebuah sosok mengetuk hangat lapisan keras itu, dan berkata, "Hallo Tuan Telur, selamat pagi!"
-penceritahujan-
Langganan:
Postingan (Atom)