Yogyakarta. Benteng Vredeburg. Maret 2009.
Hujan, salah satu waktu favoritku, selain kabut pagi, matahari sore dan awan mendung. Jarang-jarangnya aku menemui para rintik air langit manis di kota yang identik dengan panasnya yang cukup menyengat. Yogyakarta. Ya, sepertinya kota ini mulai menepuk bahuku, mengakrabkan diri dan berkata, “Salam kenal, Syila.”
Tapi sayangnya sore ini, hujan datang tak mengirim pesan pendek padaku terlebih dahulu, atau sekedar mengirim surat super singkat via BBM. Dia sama sekali tak menunjukkan bakal kehadirannya di pagi hari. Biasanya ia mengutus awan hitam untuk sekedar menyapaku dan berbisik, “Syila, hujan turun sore ini, lho”. Tapi tadi pagi, hanya langit biru yang bertengger di pemandangan mataku. Yogya panas, bung!
Ting-tong. Telepon selularku berdering sekali. SMS. Pesan pendek. Nona cantik, Gresha, sang ketua divisi acara dalam acara Temu Karya ini sudah menantiku. Pasti.
“Syil, kamu dimana? Aku udah di atas ya, kita bentar lagi ikutan workshop ketemu Dik Doank ya?”
“Iya bentar Gresh, gue kebasahan kali brew!” ujarku mendumel dalam hati.
Apa boleh buat. Aku tak membawa payung. Baju panitia berwarna putih yang kukenakan basah kuyup sekuyup-kuyupnya. Ada kalanya aku tak ingin hujan menghampiriku, seperti saat-saat seperti ini. Aku harus bertemu dengan seorang Dik Doank, selebritis ternama yang terkenal dengan upaya dan gerakan kemanusiaannya mendirikan sebuah Kandank Jurank Dik Doank, sarana bagi anak jalanan untuk ikut berkarya.
Ya sudah. Hujan dan aku adalah sahabat dari kecil, bahkan aku sering mempercayai bahwa aku merupakan jelmaan dari makhluk planet hujan. Aku yakin rintik hujan hari ini tak akan membuatku sakit ataupun sedih. Yakin seratus persen. “Betul kan hujan? Hujan sayang saya kan? Nggak kaya orang-orang yang udah ninggalin saya mentah-mentah bukan?”
Mari tembus hujan! Hujan, payungi saya ya.. saya sepertinya yakin ada sesuatu yang berharga di ujung perjalanan saya hari ini, makanya kamu datang dan berbisik sama saya, meneguhkan hati saya untuk menghampiri Benteng Belanda ini walau hujan lebat. Betul kan?
***
Booth kampusku tampak lengang, tak ada yang menjaga barang seorang pun. Booth seluas 3 x 3 meter itu terasa sangat sejuk, bergaya urban bernuansa warna putih biru. Pameran Temu Karya Desainer Muda Interior Indonesia ini terlihat sepi. Ya iya lah Syila, ini kan sudah menjelang pukul 7 malam.
Tiba-tiba, alunan harmonika seakan menyentuh lembut kupingku. Irama blues kental seperti merasuk seketika. Sial. Siapa yang meniup harmonika secantik ini. Selain Hari Pochang – sang musisi blues ternama di tanah air – aku belum lagi merasa tertarik untuk mendengar komposisi harmonika seperti ini. Baru kali ini. Sialan. Kulihat di sekitarku. Kipas angin, sekat-sekat booth kampus peserta Temu Karya, tempat duduk yang berada di tengah area. Meja panitia. Tak kulihat satupun orang menggenggam harmonika. Dimana dia? Sang pemain misterius?
“Wooow, canggih bener lo maennya, bro!”
Suara ricuh diiringi decak kagum mengalir pelan dari booth yang tak jauh dari stand kampusku. Tertera namanya. Sebuah nama universitas kesenian terkemuka di Jakarta menghiasi ruang terbuka bersekat itu. Tampak seorang pria, kurus, berambut pendek ikal, dengan sepatu DocMart’s merah marun terpasang apik di kakinya. Ia dikelilingi teman-temannya, sembari menggenggam harmonika.
“Ha-ha, lo pada mau lagu apa lagi nih, enaknya dibarengin sama puisi kali, bray.” Akhirnya sang musisi harmonika bersuara juga.
Untuk pertama kalinya, seumur hidupku, waktu terasa berhenti barang beberapa detik. Fokus terhadap dunia sekitar terasa blur. Hanya penampakan pria itu lah yang kuingat. Irama dan alunan harmonikanya pun terus menerus terngiang dalam telingaku. Bahkan, sempat suara-suara itu bergerombol, bersatu padu untuk melakukan aksi slow motion. Sial, aku tambah memikirkan sang pemilik suara itu.
“Syil! Lo ngapain diem aja mematung gitu sih di luar, sini Syil sini..” Ah, itu Mia, salah satu sahabatku yang juga berkuliah di tempat yang sama dengan sang pria harmonika itu.
Suara Mia memang terpasang otomatis loudspeaker tanpa diputar menuju volume terbesarnya. Sang pria harmonika itu melihatku seketika. Mataku dan matanya bertemu. Sial. Dia sudah mulai memberiku laser-laser yang membuatku tak berdaya. Diam, membeku, freeze, menjadi kembarannya Malin Kundang, untuk sesaat. Kenapa harus dia melihatku saat mataku tak sengaja mengarah padanya. Sial!
Sang Pria Harmonika kembali memainkan persegi panjang kecil berongga itu lagi. Kali ini, irama blues dihantarkan oleh sepenggal puisi buatan kawan sejawatnya yang bekepala plontos. Sebuah musikalisasi puisi yang membuatku sesaat jatuh cinta.
Lima menit. Aku mematung di sana. Sendirian. Mia sedang bertemu dengan kekasihnya di luar stand. Tak ada orang yang kukenal di sekitarku, tapi aku tak peduli. Pria Harmonika itu telah membiusku dengan kloroform yang ia tanamkan dalam musik harmonikanya selama lima menit saja.
Ting-tong. Sial, HP berbunyi lagi. Pasti Gresha. Aku masih asyik menyaksikan penampilan sang pria Harmonika, dan tanggung jawab menantiku di luar sana.
Oke. Aku kalah sebelum berperang. Kutinggalkan stand penuh nuansa blues ini sesegera mungkin. Aku sama sekali belum berkenalan dengan sang Pria Harmonika hari ini. Masih ada hari esok. Masih ada hari esok, Syila. Besok, kamu harus mendatangi dia, tersenyum, dan berkata : Halo, Pria Harmonika, salam kenal, saya Syila.
***
Tiga hari berlalu. Yogyakarta belum terkena hujan lagi. Sepertinya hujan hanya datang ketika aku pertama kali bertemu dengan sang Pria Harmonika. Terpana jelas. Aku bahkan masih ingat T-Shirt merah marun bergambarkan The Specials yang menghiasi badannya. Aku juga ingat badan kurusnya yang sepertinya lebih ringan dariku. Bahkan aku pun ingat, bagaimana dia menatapku tajam. Lima detik untuk selamanya. Menyebalkan ya?
Dan selama tiga hari itu, apa yang kulakukan? Apakah aku menghampirinya dan berkata : Halo, Saya Syila, kamu siapa?”
No, it’s a big NO! Seorang Syila terlalu ciut untuk berkata hal demikian. Yang ada, aku sudah pingsan dan mimisan di tengah jalan.
Tiga hari berlalu dan yang bisa kulakukan hanya melihatnya dari jauh. Bagaimana kelincahannya, tawa-tawa mengejek hingga kata-kata kasar yang ia lontarkan. Aku sudah menjadi stalker sejati selama tiga hari ini, tanpa aku tahu nama dan nomor handphone. Dan tiga hari berlalu, nyaliku tetap penakut. Dia pulang ke Jakarta, aku pulang ke Bandung dan aku sekali lagi menjadi korban menyesal. Syila, kamu bodoh!
***
Jakarta. Mei 2011. Halte Busway Sarinah. Pukul Tiga Sore.
Kosong melompong. Tumben. Kenapa halte ini tampak lengang tanpa antrian yang begitu berarti ya? Mungkin karena hujan, orang malas menggunakan payung untuk berlibur keluar rumah. Hujan di Jakarta tak sama dengan hujan di rumahku, Bandung. Di sini, airnya terasa lengket, tak sejuk. Tapi tak apa, seburuk apapun bentuknya, hujan adalah hujan.
Hujan adalah saksi pertemuanku dengan sang Pria Harmonika. Setidaknya itu julukan yang kuberikan padanya sejak dua tahun lalu. Ya, bayangannya masih sering berjalan santai di otak kecilku, padahal aku tak mengenalnya sama sekali. Was it a kind of love at the first sight? Ah, omong kosong! Dia juga tak memikirkanku sama sekali bukan? Mungkin dia sudah melingkarkan sebuah cincin di jari seorang wanita cantik, yang pastinya sepadan dengannya. Bukan denganku.
Kumasuki busway, kosong. Heran. Seperti takdir yang ajaib, melihat Jakarta sedikit sunyi seperti saat ini, ditemani rintik hujan yang cantik, menempel di kaca jendela busway, seperti kaleidoskop.
Pluk! Sebuah dompet terjatuh tepat di hadapanku, milik pria yang duduk bersebelahan denganku, headset menguasai lubang telinganya. Bahkan dia tak sadar dompet kesayangannya jatuh.
“Mas, ini dompetnya jatuh,” ujarku sembari menepuk bahunya perlahan.
Pria itu mulai menoleh ke arahku. Untuk beberapa detik dia dan aku terdiam sesaat. Ya, sepertinya aku mengenalnya. Rambut ikalnya, badan kurusnya, sepatu DocMart yang tak kunjung berganti, bahkan T-Shirt itu bergambar The Special, tepat sama persis dengan orang yang membuatku terpana dua tahun yang lalu.
Ia menatapku dengan pandangan penuh tak percaya. Begitu pula denganku. Mata terbelalak untuk beberapa saat, Seperti mimpi, betulkah dia Sang Pria Harmonika? Masa iya, yang bener aja!
Namun sepertinya, reaksi kimia kembali bersinergi dalam tatapanku dan tatapannya. Hanya satu kalimat yang ia ucapkan kala itu, “Halo wanita hujan basah kuyup, saya Ogi, dua tahun lalu, bermain harmonika di Jogja. Kamu inget saya?”
Speechless! Aku tak tahu akan menjawab apa. Irama harmonika secara slowmotion kembali bergema di telingaku. Bayangan flashback pun menjiwaiku lagi. Ya, jelas sekali, dia adalah Pria Harmonika-ku. (***)
nb : this short story is being published in the 2nd day of Nulisbuku's #11Days11Project :)
nb : this short story is being published in the 2nd day of Nulisbuku's #11Days11Project :)
wow, bagus banget ceritanya..
BalasHapusmembawa saya teringat ketemu pengamen jogja di malioboro. terus istirahat sambil foto foto didepan Benteng Vredeburg dan saat itu "hujan gerimis"
thanks :D aaah senang kalo ada yg sukaa :')
BalasHapusCerpennya bagus :D Aku juga selalu menyukai hujan :) tulisannya masuk di buku yang akan diterbitkan @nulisbuku ? pasti masuk deh! keren begini. Nyesal banget dulu gak menyempatkan diri untuk ikutan proyek ini :(
BalasHapuscerita ajaib...
BalasHapussaya juga suka hujan, suka wangi rumput yang basah ketika hujan :)