Kamis, 07 Maret 2013

Maret #2: Bahasa

Jakarta, 7 Maret 2013,

Entah sejak kapan saya mengenal kata "bahasa" ini dalam kamus memori saya. Mungkin saja, kali pertama saya membaca nama mata pelajaran di bangku SD: bahasa Indonesia. Atau mungkin, ketika saya mengenal, bahwa pekerjaan Mama saya adalah seorang guru bahasa. Yang pasti, satu kata yang saya dapatkan, ketika mengidentifikasi diksi "bahasa" : someday, saya mau terjun ke dalamnya.

Lalu, saya melangkah menuju runut usia remaja. Dan akhirnya menjelang dewasa muda. Ruang lingkup diksi "bahasa" yang semula hanya saya ketahui sebagai sebuah pengetahuan, kini beranjak meluas. "Bahasa" bukan teori. Bukan cuma sekadar kumpulan rumus yang mengatur susunan kalimat SPOK dan sebagainya. Bukan hanya mempelajari majas eufimisme, metafora ataupun personifikasi.

Bahasa, adalah soal berkomunikasi, berbicara, berbincang, bercanda, bahkan hingga bermain mata. Bagaimana sebuah pendapat, kata-kata, kisah, bisa tersampaikan dengan lancar hingga pihak kedua, ketiga, dan seterusnya.

Ya. Mau nggak mau, bahasa adalah perihal cerita. Dan, sekali lagi, untuk bercerita, setiap manusia nggak harus bisa bertutur kata halus, bertulisan bagus, berakting tulus.

Nggak semua cerita itu fiksi. Bahkan, kebanyakan dari cerita, sama sekali bukan fiksi. Karena menurut saya, setiap detik manusia menghirup dan menghembuskan udara dari lubang hidungnya, sudah menimbulkan satu buah rangkaian cerita. Runut bahasa.

Lalu, bagaimana dengan bahasa?

Bahasa adalah media-alat-fasilitas-sarana yang diciptakan Tuhan agar setiap manusia bisa berkomunikasi satu sama lain. Bahasa bisa disampaikan melalui beragam cara: lisan, tulisan, mata, gerak tubuh, keringat, senyuman, bahkan air mata.

Lalu, bagaimana dengan bahasa yang tak tersampaikan? Yang hanya tersalurkan dari gerakan diam-diam, lirikan tersembunyi ataupun jeritan tak bersuara? Kedok senyuman di balik tangisan?

Tenang saja.

Menurut saya, debaran-denyut-detak jantung adalah salah satu bahasa organ yang tak bisa berpura-pura. Bahasa paling jujur di dunia. Oleh karena itu, tak semua orang bisa mendengarnya. Bisa mengartikan simbolnya. Bisa memecahkan semiotika di dalamnya.

Oh iya, satu lagi. Saya biasa menyebut debaran-denyut-detak tersebut dengan satu istilah: bahasa hati

:)

#np Ronan Keating - When You Say Nothing At All 

-penceritahujan-

Minggu, 03 Maret 2013

Maret #1 - Menepi

Jakarta, 4 Maret 2013,

sumber foto: http://mi9.com

365 hari, bukan waktu yang singkat untuk merantau, berlayar di tengah lautan ragam manusia, tenggelam dalam larutan keringat yang bercampur antara orientasi materi ataukah jati diri. 

Bila dihitung-hitung, jumlah per sekonnya sudah mencapai: 365 x 24 x 60 x 60. Kalkulasi alat mengeluarkan nominal 31.536.000 detik, yang belum terhitung dengan tambahan persentasi relativitas rasa, di mana 1 detik, bisa saja terasa seperti 1 menit bahkan 1 jam, dan sebagainya. 

Dan, dari jumlah tersebut, cuma satu hal yang saya butuhkan: menepi. 

Hanya demi beristirahat di sebuah dermaga, cuma sekadar bersandar di sebuah batu karang raksasa, atau menikmati burung camar yang mencoba merunduk lalu mendarat.

Hanya untuk memejamkan mata, menengadahkan wajah ke angkasa, lalu merasakan sayup angin sepoi-sepoi yang sedang berkejaran di antara ilalang, lantas terlelap sampai ke sebuah dunia, yang disebut dimensi pikiran manusia.

Lalu menghela nafas. Dan merebahkan tubuh. Dan kemudian merasakan bahwa Tuhan itu ada, nggak cuma saya, kamu, dunia dan media-medianya.

Lantas, kapankah saya bisa sempat menepi

:)

#np Float - Tiap Senja

 -penceritahujan-