Rabu, 09 Januari 2013

Hari ke-9: Elegi Senyum Persegi

Jakarta, 9 Januari 2013,

Hari ke-8

D...
1...
2...
3...
4...

Tring!

Sudah lantai 5. Kaki terpaksa harus bergerak dari lantai persegi 1x1 meter itu. Senyum tertunda, tertelan bersamaan dengan para saliva yang memasuki ruang kerongkongan, dan oksigen yang merasuki tenggorokan. Apalagi kalimat sapa. Nyalinya cuma wacana.

Senyuman bulan sabit saya dibawa pergi, ke lantai di atas lantai 5. Tentunya. Entah lantai berapa.

Bodoh! 

Hari ke-37

Tring!

Ini lantai 5. Saya ingin turun ke lantai dasar. Kantin, standar lah. Berdesakan orang di dalam sana, dan saya adalah sang "asing" seorang diri. Mereka berbincang dalam ranah pembicaraan yang mereka mengerti, dan seperti biasa, mengundang tanya bagi telinga saya, memaksa mata saya untuk mengintip wajah-wajah para sumber suara.

Ah! Dia! Si pembuat elegi!

5...
4...
3...
2...
1...

Tring!

Dan sang pembuat elegi turun di lantai satu. Bukan lantai dasar. Bukan kantin. Membuahkan pikiran di sudut otak saya: oh dia anak lantai satu. 

Setidaknya, kali ini ketidakhadiran senyuman memiliki satu alibi: susah, banyak orang.

Yayaya, fine! Affirmative!

Hari ke-51

Tring!

Ini lantai 2. Kaki saya seperti lemas untuk melangkah, masuk ke dalam katrol persegi berdimensi itu. Maklum, baru membakar lemak yang sudah tertimbun selama bulanan lamanya.

Malas melihat wajah penghuni lift, dan memilih untuk berbincang dengan para kaki mereka. Mengintip sepatu-sepatu yang digunakan orang-orang ini mengocek rasa senang sendiri, terutama bagi kepalaku yang enggan menonggak tegak.

2...
3...
4...
5...

Tring!

"Misi, Mas..." ujar saya dengan lemah.

"Oh iya."

Dan, pria berkaus hitam di depan saya itu bergeser, memberi ruang bagi saya untuk berjalan. Ternyata, dia adalah Sang Pembuat Elegi, yang selalu membawa pergi senyuman saya, yang selalu memaksa saya menelan kalimat sapa.

Larva dalam perut saya mulai bangkit dari metamorfosisnya. Mengembangkan sayap barunya dan membuat perut terasa panas. Sial, rasanya mau muntah! 

Kembali, senyum bulan sabit terlewatkan lagi. Diksi "halo" tertelan lagi.

Tapi, tetap, senyuman punya alibi untuk tidak mampir kali ini: lagi lemas!

Senyuman bodoh!

Hari ke-88

Ingat persegi bodoh itu membuat hati saya menciut. Menggantungkan harapan pada sebuah katrol penyempit jarak ergonomis memang menyebalkan.

Memaksa saya untuk menunduk, setiap memasuki lift. Menunduk. Menunduk. Menunduk.

Dan, hanya melihat ke arah lantai persegi.

Tring!

5...
4...
3...
2...
1...
D...

Dan, dengan bodohnya, ponsel saya jatuh. Sama seperti harapan saya untuk memunculkan Sang Senyum kembali, sebagai hasil elegi persegi.

Ponsel berbunyi.

Where do we go to draw the line 
I've gotta say I've wasted all your time, honey honey 
Where do I go to fall from grace 
God put a smile upon your face, yeah 


"Suka Coldplay juga?"

Ah!
Ah!
Ah!

Sang Pembuat Elegi!

"Duluan ya!"

Sang Pembuat Elegi beranjak pergi dengan merebut senyuman pertama terlebih dahulu. Saya kalah. Telak. Dengan ternganga, terbisu dan tersipu.

Bodoh! 

Selama ini, ternyata Senyum bukan hilang ditelan awan. Dia hanya tersimpan di permukaan persegi berdimensi, lalu menguap memasuki saat yang tepat dengan soundtrack yang tepat pula.

God put a smile upon your face. 

:)

#nowplaying Coldplay - God Put a Smile Upon Your Face

-penceritahujan-

2 komentar: