Jumat, 31 Agustus 2012

#1 - Monolog Ria

Malam pertama di bulan September, dalam jangkauan Ibukota Jakarta.




Ini sudah larut. Memang. Tapi, aku masih saja kedatangan tamu. Kuintip dari teralis jendela rumahku, barang sedetik. Aku sudah bisa menangkap bayangannya. Sosoknya serupa kepalan benang kapas yang lebih tampak seperti gulali. “Sepertinya dia makhluk yang baik hati,” ujarku pelan.

Kepalan bulat kapas itu menghampiri rumahku. Aku yakin, dia tidak sendirian. Tak terhitung banyaknya. Konon, suatu ketika, gumpalan kapas itu bisa berubah bentuk menjadi lembaran kertas super-panjang. Sambung menyambung menjadi satu.

Mereka mengetuk pintu rumahku. Dan tentu, aku membiarkannya masuk dengan cuma-cuma. Namun, mereka tak datang dengan tangan hampa. Beragam bingkisan – seperti sedang acara seserahan dalam pernikahan tradisional – menghiasi area depan hunianku. Siapa yang kawinan nih?

Gerombolan gumpalan kapas itu membawa tiga bingkisan, dengan bentuk dan konten berbeda, juga variasi warna pada pita.

Aku membuka bingkisan pertama: si besar berpita merah muda menuju warna pastel. Cantik? Memang. Kuakui, ini adalah bingkisan tercantik yang pernah kumiliki. Isinya pun tak kalah manis. Mawar, bunga krissant, strawberry, kupu-kupu hingga kembang api tampak disana. Siapa yang tak senang diberi bingkisan seindah ini. Ya, aku pun girang bukan kepalang.

Dengan antusias, kubuka bingkisan kedua: si kecil apik berpita hitam. Kelam. Sebelum aku mengobrak-abrik paket tersebut, salah satu gumpalan kapas tampak begitu ketakutan, seperti ingin kabur seketika. Semakin aku penasaran untuk membukanya.

Ya, sebuah sembilu teronggok di kotak kelam tersebut. Ujungnya tampak terasah rapi. Mengilat, hingga aku bisa melihat bayanganku sendiri. Untuk apa, tanyaku sembari mengernyit. Gerombolan gumpalan itu hanya tersenyum. Dan lantas diam kembali, sembari menyuruhku membuka bingkisan ketiga.

Rasa malas menghampiri. Perasaanku tak enak. Aku tak ingin berekspektasi tinggi lagi. Kubuka bingkisan ketiga, kotak raksasa berpita serba putih. Tampak kontras dengan bingkisan tadi. Mungkin saja lebih bisa menghiburku, demikian yang terlintas sekelebat.

Isinya? Kotak yang hampir sama besar dengan badanku ini hanya berisi selembar kertas kecil. Berukuran sama dengan satu jari manisku. Tulisan yang menghiasinya terdiri atas satu kata: KOSONG.

Lantas, gerombolan itu ramai-ramai memberikanku secarik surat singkat. Warna kertasnya merah muda. Seperti sebuah surat cinta. Oh, ini adalah surat adopsi. Surat cinta untuk mengadopsi mereka kembali. Membuat syaraf-syaraf di dinding rumahku menyeruak ramai. Bernostalgia. Membuatku memutar lagi video masa lalu yang telah kusimpan baik-baik dalam lemari brankas.

Teruntuk: Kamu

Penghuni Rumah Syaraf, Bernama Otak,

Halo, kami adalah Memori-mu yang pulang kembali, membawa setiap bingkisan rasa yang mengiringi setiap lembar benangnya, setiap jengkal kata dan cerita di dalamnya. 

Tersipu karena kupu-kupu, terluka akibat sembilu, hingga melamun di tengah kotak kosong. Manis merah muda, sakit nan kelam, dan hampa pada putih, itu adalah sepaket rasa yang bisa kau terima, agar kau tetap merasa hidup. Maukah, kamu menerima kami lagi, mengadopsi kami untuk menghuni rumahmu kembali, dengan segala resiko ini lagi?

Tertanda,
Gerombolan Memori

Satu anggukan cukup menjadi tanda setuju.

Selamat datang memori, Halo kamu, segala resiko yang akan kudapat, untuk kesekian kalinya, saat aku mengutak-atik lembaran kenangan itu. Aku sudah siap mengarungi semuanya. Dan aku, tidak akan melarikan diri lagi dari bingkisan rasa tersebut. Baik itu manis, pahit, atau bahkan tak hambar. Because of them, I feel so alive.

Dan, aku memaksa pemilikku - sang penceritahujan - untuk kembali menuliskan kisah para memori ke dalam media kertas. Apapun yang terjadi. Meski aku menjadi kopong, meski aku terhunus sembilu. Karena aku tahu, semua ini lah yang membuat sebuah bingkisan manis terasa nyata.

And then I heard you, you made me long for
To be a part of something that I can't see
A life that is beyond, something that I can't fear
To be a part of the story - It belongs to you

Something you said burns, apart the pen and the paper
You can't always write it, it is something you'll have to do
Gathering stories, a story - It belongs to you

They say that it's gone now, you know that I disagree

I barely hear you, your signal is cold now
It's all turning into video

Tune the radio

Sing along to all our favorite songs

Your signal is growing
out in little pieces
And watch in a moment, secure it for falling

Over the stars,
over the nights
Over the rains, over the moons

Over the days, over the streams
Over the skies, over the ponds

Over the fires, over the lakes
Over the trees, over the minds

Our kid zigs, o
pen doors
Over the doors
I am alive



#nowplaying Jonsi - Gathering Stories

-penghuni rumah otak penceritahujan-

Kamis, 30 Agustus 2012

Tentang #30HariLagukuBercerita

Jakarta, 31 Agustus 2012,

Serupa dengan proyek #30HariPersonalSoundtrack (yang sebenarnya belum rampung selesai), proyek #30HariLagukuBercerita ini memaksa saya untuk memanfaatkan rangsangan suara, diproses secara apik di dalam gendang telinga. 

Lantas, otak bekerja menginterpretasikan rangsangan tersebut. Syaraf-syarafnya menyebarkan desas-desus sinyal itu sampai ke organ "maya" yang disebut hati - walau saya yakin yang berdegup kencang itu adalah jantung. 

Ya. Interpretasi nada, menjadi sebuah rasa, adalah salah satu hal berharga yang dimiliki manusia. Dikerjakan dengan sempurna oleh sepasang perangkat telinga. Hal ini sepertinya ditangkap pula oleh para tukang pos di @PosCinta yang telah membawa saya tergila-gila akan dunia tulis-menulis, baik fiksi ataupun nyata. Tak ayal lagi, #30HariLagukuBercerita sepertinya memunculkan lagi sebuah rasa dalam bulan September ini. 

Untuk proyek kali ini, saya akan memutar acak playlist kesayangan saya. Dan, mari, tebak-tebak berhadiah, lagu apakah yang tepat mengiringi cerita saya dalam setiap harinya. 

Selamat menikmati kumpulan diksi, kompilasi nada dan kombinasi rasa yang saya miliki dalam proyek #30HariLagukuBercerita ini. 

Enjoy!

nb: dan tentunya, dalam menulis intro pun, saya memiliki sebuah soundtrack yang menemani. #nowplaying Jonsi - We Bought A Zoo. :) 



-penceritahujan-

Senin, 27 Agustus 2012

#8 - Once Upon A Time

Jakarta, 27 Agustus 2012


Hari ini, metamorfosis kupu-kupu berhasil menggelitik perut saya sampai kelelahan lagi. Bulu halusnya memaksa rasa aneh ini untuk menyeruak. Berteriak. Jarang-jarangnya dia bersuara seperti itu. Seperti kombinasi antara suara lengkingan serigala, atau cekikik kuda. Berisik. Demonstrasi lokal dalam hati.

Dia ingin berubah menjadi tukang pos, ujarnya. Kupu-kupu lincah ini berencana mengirimkan desas-desus yang ia dengar sejak beratus jam lalu. Ia ingin menyuarakannya. Memuntahkan alunan aneh dari syaraf-syaraf yang menjelimet di hati, tepat ketika saya bertatap muka dengan objek investigasi selama ini.

Apa yang kemudian saya lakukan?

Ya. Satu detik berjalan seperti satu menit. Demikian halnya dengan satu menit, yang terasa seperti rentang hitungan jam. Jarum jam berjalan lambat. Mirip kura-kura, atau siput. Slowmotion.

Di antara waktu yang mendadak berjalan lama ini, kaki-kaki saya memaksa untuk lari. Bibir pun dipaksa terkatup erat, seakan tercekat dari tenggorokan. Layaknya dipasang lakban hitam super kencang untuk mencegah suaraku - tepatnya suara kupu-kupu itu - untuk berbicara tentang desas-desus hati selama ini.

Desas-desus apa?

Ya. Desas-desus itu saya namai dengan satu diksi. Empat huruf sederhana, dua suku kata apa adanya. R-A-S-A. RASA.

Once upon a time, when the sky was covered with blue,
Once upon a time, when the sun was smiling too,
We're just common people with an ordinary look,
We're just common people with an ordinary love.
Once upon a time, when I fell in love with you ... ?
#nowplaying Mocca - Once Upon A Time

Dan akhirnya?

Saya hanya berani memperbincangkannya di sini, terdiam, terbingung. Lantas, saya membenamkan kupu-kupu jahil tersebut pada senyuman yang terbit barang sedetik. Lalu tersimpan kembali, jauh dalam kotak kecil bernama memori.

-penceritahujan-


nb: semacam lanjutan dari '#6 - Butterflies In My Tummy'

Jumat, 24 Agustus 2012

#7 - Enjoy The Silence

Bandung, 25 Agustus 2012


Satu hal favorit yang saya senangi, semacam guilty pleasure, adalah menyendiri. Ketika Malam menutup tirai Siang, yang saya butuhkan hanyalah menggenggam seonggok gadget pemutar musik, tanpa perlu seuntai kata, segumpal aksara.

Saya senang sendirian. Bukan artinya saya adalah makhluk anti-sosial. Saya, hanya suka membenamkan diri pada sebuah diksi bernama sepi.

Saat saya nggak perlu berpura-pura. Ketika saya nggak harus memikirkan makhluk lain, di luar saya sendiri. Kala saya, cuma butuh beberapa menit untuk mengirimkan sinyal-sinyal lamunan dalam otak kecil saya, lalu meramunya menjadi sebuah cerita.

Menyepi, tak cuma berarti bertapa di dalam goa. Tidak juga hanya berdefinisi melarikan diri dari kehidupan kota. Atau membuat tenda di tengah hutan belantara.

Bukan. Bukan itu.

Bagi saya, menyepi, menyendiri, adalah hal-hal seperti ini:

Berada di Trans Jakarta menuju Pinang Ranti,
ketika jarum jam menunjuk ke arah angka 10.

Berjalan di tengah kerumunan masyarakat penggila mall,
sekali lagi - tanpa seorang pun yang menemani.

Melangkah gontai di jalanan eksotis Braga,
dimana para manusia sedang mentah-mentah latah mengabadikan diri,
menuai profesi dadakan bermodal peralatan berbasis teknologi canggih.

Atau bahkan, ketika saya duduk di depan jendela dunia,
menyaksikan apa yang terjadi di luar sana melalui linimasa jejaring sosial,
dan hanya menjadi seorang investigator kelas teri, seorang detektif kontrak hati.

Ya, saya tak perlu mencarinya kemana-mana.
Saya sudah puas dengan kosa kata dan para sinonimnya.
Sepi. Sunyi. Senyap. Diam. 
Mereka tertidur lelap dalam diri saya.

Definisi kosa kata ini adalah satu: berbicara tanpa lawan bicara, hanya berkawan dengan para alter-ego yang dipilah-pilah menjadi beribu bagian. Banyak orang menamainya monolog.

Sekali lagi. Saya, adalah orang yang suka membenamkan diri pada diksi, bernama sepi.

Words like violence, break the silence
Come crashing in into my little world
Painful to me, pierce right through me
Can't you understand, oh my little girl?

All I ever wanted, all I ever needed is here in my arms, 

words are very unnecessary, they can only do harm.

Vows are spoken to be broken
Feelings are intense, words are trivial
Pleasures remain, so does the pain
Words are meaningless and forgettable
 

All I ever wanted, all I ever needed is here in my arms, 
words are very unnecessary, they can only do harm.

#nowplaying Depeche Mode - Enjoy The Silence

-penceritahujan- 

Senin, 20 Agustus 2012

Kata Per Kata #2

Seperti ada mixer yang mencampuradukan rasa dalam hati saya. Dan hasilnya satu. Terhenyak. Menyesak. Menghisap isi dari celah lubang yang sedang saya coba tutup secara perlahan.

- penceritahujan -

Kamis, 16 Agustus 2012

Monolog Fiksi #1 - Benci

Apa yang kamu pikirkan saat pertama bermain-main dengan makhluk api? Apa yang kamu harapkan dengan membenamkan dirimu - kembali - pada sebuah rasa yang tak mungkin? Apa yang bisa kamu impikan dari sebuah kata berpura-pura?

Kamu sakit? Wow, itu hanya pembenaran. Faktanya cuma satu. Kamu-itu-salah.

Kamu kabur. Lari. Mencari jalan keluar dari sebuah jalinan labirin. Berusaha menghindari efek domino. Dan - lagi - kamu berpijak pada sosok yang tetap berstatus "tidak mungkin". Dia adalah semacam bintang dari galaksi lain. Seorang putra mahkota hutan belantara, milik suku pedalaman lain. Batasan moral memagari. Satu sama lain. Tanda "FORBIDDEN" tampak jelas disana. 

Lagi. Kalian adalah semacam fiksi. Bukan sesuatu yang diikrarkan akan menjadi nyata. Semanis apapun itu. Seindah apapun itu. 

Apa yang kamu cari? Yang kamu rasa tidak kamu miliki selama ini? Bersama sebuah tajuk kepastian. Perasaan? Kesungguhan?

Drama? Cerita? Kesenduan? Fiksi? Bahan inspirasi? Kekosongan? 

Kadang, saya merasa kamu sinting. Ada sebuah kerumitan bertahap yang mengganggu otak kecilmu. Caramu memandang sesuatu. Pola pikirmu, menghadapi sebuah bola biru bernama dunia. 

"Kenapa harus memakai jalan pintas, kalau lah memang ada jalan memutar? Dan suatu hari, akan pulang juga. Homesick, setelah melakukan sejumlah petualangan di luar sana?"

Kamu nggak waras. Memang. Absolutely weirdo. Freaky absurd. Tak heran, saya-sangat-membenci-kamu. 

Tapi, saya berat mengakui. Kamu, adalah serpihan diri saya. Butiran darah sama yang menghidupi jantung saya. Denyut yang sama menghiasi nadi saya. Nama yang sama ketika dilahirkan. Ya. Saya dan kamu, satu badan, satu kepala, satu hati dan satu jiwa. 

-penceritahujan-

Selasa, 14 Agustus 2012

#6 - Butterflies In My Tummy

Jakarta, masih, 14 Agustus 2012,


Butterflies. Sejujurnya, saya bukan fans berat dari makhluk insekta ini. Bahkan, tepatnya, saya adalah salah seorang ajaib yang cenderung menjadikan hewan ini sebagai objek phobia. Saya takut. Apalagi menyentuhnya dari dekat. Such a monster for me. 

Lalu sebuah istilah menghampiri. Butterflies in my tummy. Tembang ini terlantun pelan di dalam pikiran saya. Membuat saya, sedikit mencintai sosok hewan insekta bersayap bidadari ini. Butterflies, yang tengah bermetamorfosis menjadi sesuatu yang saya jaga, saya senangi. Bertajuk satu kata: rasa.

Ya. Pernahkah kamu merasakannya? Pernahkah kamu seperti saya? Putaran jarum jam berjalan demikian lambat. Satu detik, bertransformasi, menjadi satu menit. Gerakan membeku pelan. Seakan sebuah hawa panas bergejolak dari dalam. Entah apa. Yang saya yakini, dia bukan sebentuk cacing pita. Dia juga bukan sepenggal bor yang siap melubangi hati. Bahkan, dia bukanlah seonggok virus yang akan melumat habis organ tubuh saya.

Dia aneh. Datang tiba-tiba. Tak jelas, dia masuk darimana. Pori-pori kaki, rongga mulut, atau bahkan lubang hidung. Seketika, dia menciptakan sebuah hawa panas di sekujur tubuh. Saking tak tahannya, wajah saya memerah. Seperti udang rebus. Seperti tomat matang. Tampaknya, pembuluh-pembuluh ini menyuruh sel darah untuk mengalir deras ke arah pipi saya. Sial.

Ada rasa menggelitik di dalam perut saya. Berusaha menyeruak keluar. Nyaris mengundang muntah angin yang tertahan. Mual, yang ajaibnya, mampu membuat tersipu malu. Pita suara tercekat, terhambat entah oleh apa. Sekali lagi. Entah oleh apa.

Fenomena ini, terjadi, pasca beragam peristiwa. Di antaranya, suatu kala yang sederhana, sangat sederhana. Terdapat secarik surat apik mengisi kotak pos elektronik. Beberapa huruf berderet membentuk sebuah kata : HALO, yang diiringi jajaran angka di belakangnya. Nomor togel? Atau nomor antrian dokter kah? Atau jangan-jangan, nomor seri seorang narapidana?

Bukan.

Apakah itu? Seharusnya, kamu tahu. Apa yang mampu membuat kupu-kupu dalam perut saya bergerak kencang, tak mau diam, menggelitik dinding-dindingnya dengan bulu sayap nan halus.

Ya. Kamu pun tahu. Mungkin, sinyal telepati dari benak saya, sempat mampir ke otak kecilmu. Ia mungkin berkata: kombinasi kata HALO-mu totally menghidupkan mereka - kupu-kupu di perut saya - kembali. Menghembuskan segumpal nyawa lagi.

I have butterflies flying around inside my tummy
When i’m with you
*courtesy of LirikLaguIndonesia.Net
I hear bellchimes ringing blown by wind of spring
When i’m with you


Oh this tingling feeling makes me wanna jump
Makes me wanna shout, across the room


Oh this feeling of longing but damn it’s so blinding
I just can’t tell if i feel happy or sad


I heard blue birds singing up around the tree
When I’m with you


I see rainbows appearing everywhere i go
When i’m with you


#np Mocca - Butterflies In My Tummy 

Apakah sekumpulan kupu-kupu itu juga menghampiri rumahmu dan menggelitik perutmu?

-penceritahujan-

Senin, 13 Agustus 2012

#5 - Kekal

Jakarta, 14 Agustus 2012,



Ada yang menyebutnya pertanda. Firasat. Signage. Tetapi, tak jarang penolakan terjadi. Denial. Dan berujar dalam satu bentuk kalimat. "Ah, itu kebetulan doang kali". Well, saya nggak pernah percaya sama sesuatu yang kebetulan. Kecelakaan. Accidentally happened ataupun hal lainnya.

Ada seorang anonim, sering berucap sebuah jalinan kata, everything happens for a reason. Klasik, namun memang benar adanya. Tuhan menciptakan semua itu sebagai tanda, bahwa terdapat makna di balik segalanya. 

Tak dinyana. Semua itu adalah cara lain Tuhan berkomunikasi pada makhlukNya. Tentunya, selain dalam ibadah, yang merupakan jalan kita - sebagai manusia - untuk berbincang hangat denganNya. Ya. Belakangan ini, saya melumat habis buku "Supernova" pertama karya Dewi Lestari. Dan, leher pun seakan tercekat membaca sepenggal kalimat milik penulis jenius itu. Tuhan berbicara lewat banyak hal, banyak mulut, dan banyak peristiwa. 

Ya. Dengan nama apapun setiap manusia memanggil Tuhan, Dia nggak pernah letih mendengarkan manusia. Bahkan, memberi jawaban, balasan, ucapan, lewat pertanda yang berbeda-beda bagi tiap kepala, tentunya. 

Saya, nggak pernah bisa membayangkan. Tuhan, memberi rambu bervariasi bagi setiap makhlukNya. Radar menangkap sinyal tak berbentuk, kemudian diinterpretasikan secara berbeda. Hal ini yang sering membuat manusia salah duga. Salah membaca tanda. Salah memilih jalan, meskipun akhirnya pasti sama. Qadhar, memang sudah tersurat jelas di atas sana. Dalam buku kehidupan setiap manusia.

Saat itu, saya merasa terdapat sebuah ilmu yang sangat diperlukan. Bukan cenayang. Bukan paranormal. Apalagi dukun. Bukan! Saya menyebutnya dengan semiotika alam. Interpretasi tanda yang tepat, agar saya lebih tahu, arus manakah yang harus saya ikuti. Jalan mana yang harus ditempuh. Keyakinan apakah yang harus saya pilih. 

Klise? Memang. 

Tapi, hal ini terjadi di hadapan saya dengan sangat lucu. Terbukti dengan menggelitik. Sekali lagi. Dia menunjukkan tandanya. Lagi. Ya, suatu ketika, kaca di hadapan saya terjatuh - tanpa intervensi pihak luar, baik itu tangan, angin, ataupun hal lainnya. Hanya, anehnya, cermin itu tidak pecah sedikitpun, meskipun jaraknya memungkinkan terjadinya sebuah tabrakan brutal. Bahkan, retak pun tidak. Ajaib? Nggak masuk akal? Atau nggak terkena logika? 

Semua ini menyadarkan saya, lagi, terhadap sebuah tanda. Sesuatu yang belum saatnya pecah, tidak akan pecah. Begitu pula rasa. Bila belum saatnya dia menghilang, menguap, bersatu dengan udara lepas yang mengawang ke angkasa, dia tak akan sama sekali raib. Dia masih menunjukkan jejaknya, bekas tapakannya, dan bahkan, memorinya. 

Namun, ketika sang waktu tiba, Tuhan pun akan memberi tanda, dalam hal apapun. Bisa saja tanda ini saya temukan dari papan baligo di pinggir jalan. Dapat dengan mudah saya saksikan di layar kaca, atau bahkan saya simak ketika saya memperhatikan linimasa jejaring sosial. Ya, quotes dan sinyal ini tersebar dimana-mana. Nggak perlu dicari. Interpretasi tanda pun terjadi. Rasa itu, harus pergi.

Rasa itu mungkin tidak menghilang sepenuhnya. Dia, masih ada. Kekal. Hanya saja, sang rasa berubah, bertransformasi. Membeku, mengkristal, mati suri. Menjadi batu berkilau yang kelak, cuma dilihat bak sebuah pajangan. Kenangan. Memoribilia.

Ya. Everything happens for a reason. Dan sepertinya, kali ini, Tuhan memberi tandaNya. Ingin agar sesegera mungkin saya-hanya-mengubah-rasa-ini. Dari ada, menjadi tiada. Dari besar, menjadi kecil. Dari luas menjadi sempit. Dari dominan, menjadi minor. Dari mencair, menjadi membeku. 

It so dark in here
No I can`t see a light
Take all the fires on me
 
It`s all my desire
But you just surrender
Take all the pain in your dreams

Langkahku terpejam

Titikku berada
Perlahan arahku memudar

Semu bayangku

Cermin tak berujar
Kemana arahku berjalan

Semua

Tertuju pada bayangku
Saat 
kau renggut nafas jiwaku
Biaskan angkuh diriku 

#nowplaying Homogenic - Kekal

Dan, bila kelak tiba saatnya Tuhan memberi tanda, bahwa saya harus berubah menjadi sesosok yang tak memiliki rupa. Menjadi dia yang sudah tidak ada. Satu hal yang saya inginkan. Kertas-kertas elektronik ini, bersama semua pertanda dan seluruh sinyal Tuhan, membuat saya tetap kekal. 

-penceritahujan-

Kamis, 09 Agustus 2012

sayabencisamakamusayabencisamakamusayabencisamakamusayabencisamakamusayabencisamakamusayabencisamakamudansayabencisekalisamakamu.

Bisa dihitung, berapa kata benci di dalam sana?

Ya.

Saya-benci-kamu.

Rabu, 08 Agustus 2012

#4 - Telescope

Jakarta, 9 Agustus 2012,


Name: Candella Sardjito
Occupation: Full-time Stalker, Half-time Writer

Sekali lagi. Teknologi menggenggam peran penting dalam bio tersebut. Entah mempermudah, atau justru menjerumuskan saya lebih dalam ke dalam jabatan non-profit itu. Ya. Saya seorang stalker. Semacam penguntit. Mata-mata. Detektif tak berbayar. Atau mungkin lebih halusnya, seonggok investigator? Ya. Itu bahasa kerennya. 

Percaya nggak percaya. Pekerjaan ini terasa menyenangkan untuk dilakukan berulang-ulang. Semua jejaring sosial - mulai dari Twitter, Facebook, Friendster bahkan situs search engine macam Google pun menjadi rekanan tetap. Seperti telah melakukan sebuah kontrak hati. Menggunakan cap darah sebagai tanda tangan. Dan air mata sebagai materai - yang harusnya cuma berharga Rp6000,00 saja. 

Namun, nggak bisa dipungkiri. Kontrak hati, berbeda dengan kontrak mati. Bahkan lebih kejam. Menyayat perlahan. Saya, nggak bisa menghentikan kata hati saya, untuk mengecek para objek investigasi, hingga tuntas. Walaupun pada hakikatnya, kasus ini tidak pernah bisa selesai. Unfinished, kosa kata yang menyebalkan. 

Dan kemudian, menjadi seorang penguntit adalah sebuah kebutuhan. Seperti makan tiga kali sehari. Atau minum di kala badan butuh cairan. Atau bahkan seperti berdiam memancing ide pagi-pagi di sebuah toilet yang nyaman. Jika tak dilakukan, badan akan terasa lemas, lelah, lesu, dan mungkin tidak bergairah. 

Satu hal lagi. Menjadi seorang mata-mata tak resmi, seperti sebuah zat adiktif. Meminta terus menerus. Nagih. Dan, sebuah kalimat yang harus digarisbawahi. Layaknya zat adiktif pada umumnya, ketagihan ini merugikan, membuat hati berlubang. Menyesak dalam. Mengetahui sebuah, dua buah, atau bahkan ribuan fakta yang terungkap di luar sana. Membuat saya kembali terpuruk ke dalam konflik batin tak berujung. Hanya bisa dihentikan, saat profesi ini dihapuskan dari muka bumi. 

Berharap dapat gaji dari profesi ini? Yap. Saya mendapatkan imbalannya. Air mata atau hati hampa. Fakta atau malah butiran awan pikiran negatif. Satu parcel penuh berisi sembilu, cutter, air keras, racun tikus atau bahkan samurai. Untuk menghunus perasaan. Membunuhnya perlahan. 

Ingin resign? Bagaimana caranya. Sekali lagi. Kontrak hati tak bisa dibatalkan. Sudah perjanjian di atas cap darah, dan materai air mata, seperti yang sudah saya ucapkan sebelumnya. Penguntit seumur hidup yang tak tahu bagaimana cara untuk berhenti melakukannya.

Atau, hanya satu caranya. Teknologi komunikasi tinggi, kembali ditiadakan dari muka bumi. Berbincang lewat kertas surat, beraroma bunga. Bertanda cap bibir, bertuliskan "XOXO" di bagian bawah kertas surat. Mengirimkannya melalui bunga merpati. Atau bisa dimasukkan ke dalam sebuah botol, dihanyutkan hingga ke hilir. Mendarat di lautan, atau hinggap ke ujung pantai nun jauh di sana. 

Dan, saat itulah. Ketika komunikasi tak lagi berbasis teknologi. Saat semua perbincangan, aktualisasi diri, dan media sosial terpatri lewat kertas kembali. Kala itu, saya akan berhenti menjadi penguntit. Resign selamanya dari profesi stalker. Melupakan objek investigasi, melepaskannya begitu saja, menghempaskannya menuju langit luas. Kapankah? Saya-tidak-akan-pernah-tahu-apakah-saya-bisa-atau-tidak. 

you’ve been alright, without me all along
the fact that upsetting, yet a lil bit releaving
time is a mystery, space is a myth
cant be sure where you’re going
the darkness tells me nothing

we’re walking on a different tracks
heading to a different space and time
and i can see you’re doing okay
though i’ll be using telescope
capturing your moves,
deliver love you might not received, not received.


#nowplaying Hollywood Nobody - Telescope

nb: untuk saya, dan seluruh detektif kontrak hati, di seluruh pelosok bumi.

-penceritahujan-

Minggu, 05 Agustus 2012

#3 - Tersenyumlah

Jakarta, 6 Agustus 2012,



Dua-ribu-dua-belas. Beragam prediksi mengelilingi pergantian tahun. Ramalan kiamat, badai matahari hingga bencana besar-besaran di sepanjang tahun. Naudzubillahimindhaligh. Bulu kuduk saya senantiasa bergidik, kala mengingat pergantian waktu akan terjadi. Saya meninggalkan tahun ke-11, di abad Milenium ini, berlalu melewati angka yang selalu saya sukai. Angka sebelas. Menuju angka dua belas.

Tapi, siapa yang bisa mengira-ngira akan apa yang terjadi? Apakah hari esok cerah atau berawan, apakah nanti akan turun hujan atau bahkan angin badai?

Apakah saya akan menangis atau tertawa bahagia?

Ya. Andai saya menjadi seorang cenayang, saya memilih untuk menguras habis air mata dari rumahnya. Mengosongkan hati saya, menggantinya menjadi sebuah mesin yang keras dan tak bisa berlubang. Mungkin, saya juga akan mencari-cari alat untuk menghapus ingatan dengan segera. Obat bius. Atau bahkan, saya menggunakan sebuah batu keras guna melindungi otak saya. Memori saya. 

Banyak yang pergi. Dan ada yang datang. Dan kemudian pergi lagi. Bahkan, salah satu dari sosok terpenting yang ada di hidup saya, memutuskan untuk berpindah ke dimensi lain. Ralat. Tuhan mengirimnya ke dimensi lain, tempat ia berasal. Nun jauh di sana. Terbatas oleh dinding penghalang, yang bernama kehidupan. Dan hanya pesawat surat yang dititipkan melalui doa, yang akan sampai ke dimensi sana. 

Otomatis. Awal hingga pertengahan tahun ini, gerombolan air mata memenuhi indera penglihatan saya. Nyaris lebih dari 120 hari. Hampir setiap minggu, kekosongan itu mampir. Menghampiri hati saya yang setengah sekarat. Yang mungkin, sebentar lagi, lebih baik diganti saja dengan hati imitasi, yang terbuat dari teknologi canggih buatan manusia. 

Tapi,

Saya tahu, Tuhan nggak akan memberi sebuah cobaan yang berada di luar kemampuan saya. Bahkan, ada yang bilang, ujian itu diberikan untuk menaikkan derajat seseorang. Benarkah? Who knows. 

Yang pasti, suasana hati saya terdongkrak seketika, ketika afeksi saya terpenuhi. Saat ada seseorang yang mengelus kepala saya lembut, dan berkata semua akan baik-baik saja. Saat seseorang memeluk saya erat, tanpa mengucap barang sepatah kata. Saat seseorang menghubungi saya, dan hanya mengungkapkan satu kalimat, "I won't ever leave you, matey, believe me, I won't!". 

Saat ada seseorang yang menginginkan saya tersenyum, lebih dari apapun yang pernah saya lakukan di dunia ini. 

Walau kau bersedih janganlah menangis oh sayangku.
Tersenyumlah meski kau terluka
Ku tahu kau sedih janganlah berlarut, oh sayangku.
Tersenyumlah dunia kan bersinar
Kalau duka menyerang jiwa biar hanya hati yang merasa
Tersenyum yang manis biar dunia lebih
Bersinar cerah
Kini kau tak sedih ku jadi bahagia memandangmu 
Tersenyumlah dunia kan bersinar

#nowplaying Naif - Tersenyumlah

Seperti nama saya, Candella, Tuhan menciptakan seonggok saya untuk bisa memberikan sinarnya bagi orang lain. Bagi dunia, secara luas. Jadi, berapa kalipun saya mati, saya pasti bangkit lagi, tersenyum kembali, dan bersinar seperti sedia kala. 

Thankyou people, thankyou besties. I love you, I do!

-penceritahujan-

Kata Per Kata #1

Tuhan, saya udah nahan air mata biar ga main-main keluar dari rumah karena lagi puasa. Tapi, syaraf emosi saya mendorong mereka secara paksa. Hari ini saya nggak batal kan Tuhan? Hawa nafsu dan amarah yang bisa mengurangi pahala, tapi bagaimana dengan sedih dan sakit hati? Dan, satu-satunya cara yang saya bisa untuk mengobatinya, cuma dengan menangis?

Sabtu, 04 Agustus 2012

#2 - I Remember

Bandung, 5 Agustus 2012,



I remember, the way you glanced at me, yes I remember,
I remember, when we caught a shooting star, yes I remember,

Dan, kembali. Tembang yang dilantunkan Mocca itu bergema di telinga, menyentuh sang gendang, untuk kemudian mengalir peluh ke rumah siput - nama bagian yang aneh untuk sebuah area telinga. Alhasil, kembali mendekam di otak. Dan, lagi, irama itu berhasil membuat hati bergejolak.

Saya, adalah seorang fans berat dari memori, ingatan, kenangan, memento, atau apalah itu. Saya, senang menutup mata, untuk hanya membayangkan slideshow-slideshow peristiwa yang telah berlalu. Baik-buruk, senang-sedih, berbunga-bunga atau sakit sekalipun. Saya-senang-menyimpan-semua-itu. 

Memori. Bagi saya, benda abstrak itu adalah salah satu buku maya terbaik yang dimiliki manusia. Best story ever. Layaknya intrik yang terdapat di sinetron, opera sabun, film silat bahkan novel, memori memiliki semua itu. Jika mungkin dikeruk, ratusan bahkan berjuta lembaran penuh aksara teronggok di sana. 

Dan, sekali lagi. Saya. Seorang pecinta kenangan. Yang justru, pernah ingin menghapus sebagian memori, karena lubang menyesak di hati. Ingin lupa kalau ini - dan itu - dan ngana - dan nganu - sudah pernah mengebor dalam-dalam perasaan saya. Seperti film Eternal Sunshine of The Spotless Mind, saya pernah ingin berkunjung ke Lacuna.inc, dan memberikan ingatan saya secara cuma-cuma. 

Tapi, lagi-lagi. Saya, seorang penggemar memento. Dan karena itu, saya sangat menyukai semua tempat yang pernah bercokol dalam ingatan. Salah satunya adalah Bandung, dan anehnya, Jakarta.

Bandung - pastinya - menggenggam peranan penting dalam sudut otak kecil saya. Kota tempat saya lahir, pertama menyukai hujan, perdana mencintai euforia, dan mengenal kata keluarga bahagia. 

Dan Jakarta. Kota yang selalu ditakuti semua orang. "Neu, hati-hati ya di Jakarta, jangan terlalu percaya sama orang kalau di sana," itu adalah rangkaian kalimat yang terlampau sering saya dengar. 

Jakarta, kota tempat saya mencari sesuap nasi. Kota yang ajaibnya, membuat saya jatuh cinta, dengan semua kenangan di dalamnya. Hutan beton bertulang, kemerduan suara bajaj, bersesakan penuh keragaman karakter di dalam bis, euforia musikal, es podeng yang menawan sampai berkhayal di tengah taman aspal kota. 

Dan, lagi. Lirik lagu ini berkumandang dalam ingatan saya. Nggak heran, kalau setiap mendengar lagu ini, air mata berhamburan keluar dari rumahnya. Menggelitik mata saya, hingga tenggorokan terasa tercekat. Membawa sebuah rasa yang selalu saya simpan baik-baik di sebuah kotak rahasia. 

Memory is still the God's awesome gift for human.

I remember, the way you glanced at me, yes I remember
I remember, when we caught a shooting star, yes I remember
I remember, all the things that we shared, and the promise we made, just you and I
I remember, all the laughter we shared, all the wishes we made, upon the roof at dawn

Do you remember?

When we were dancing in the rain in that december
And I remember, when my father thought you were a burglar
I remember, all the things that we shared, and the promise we made, just you and I
I remember, all the laughter we shared, all the wishes we made, upon the roof at dawn

I remember, the way you read your books, yes I remember

The way you tied your shoes, yes I remember
The cake you loved the most, yes I remember
The way you drank you coffee, I remember
The way you glanced at me, yes I remember
When we caught a shooting star, yes I remember
When we were dancing in the rain in that december
And the way you smile at me, yes I remember.

- penceritahujan -

Kamis, 02 Agustus 2012

#1 Radar Detector


You and I buy star maps and drive my car around Los Angeles
You and I buy star maps and ding dong ditch a televangelist
It's only been a week, b
ut I know that you are mine to keep

Lagu super ceria. Video klip yang super absurd. Dan tentunya, musisi yang super ajaib pula. Itulah tembang yang dilantunkan oleh Darwin Deez, grup band asal USA. Awesome freaky American - begitu pendapat saya, ketika melihat videonya terputar dari situs youtube. 

Saya mendapatkan lagu ini dari seorang kerabat bernama Ramzi @ramzisme , yang sebenarnya hanya saya kenali dari situs jejaring sosial. Alhasil, karena saya sering semacam menulis status now playing, usut punya usut, selera kami hampir mirip. Surat elektronik pun menghampiri inbox saya. Dan, salah satu di antaranya adalah lagu ini. Judulnya sudah memiliki daya magnet yang kuat, sehingga saya memilih untuk memutarnya lebih dulu. 

Wow! Racun, pelet, susuk atau entah apa yang tertanam dalam lagu ini sangat efektif. Terbukti, dari awal saya mendengarnya, hingga detik ini, aura bahagia seperti berkeliling di sekitar otak saya. Irama riang, lirik manis yang nggak gombal sama sekali: YOU ARE A RADAR DETECTOR.

Terlebih, saat saya mengintip video klipnya yang lebih absurd lagi. Sang frontman, Darwin Deez alias Darwin Smith, terlihat sangat bahagia karena hal-hal yang sederhana. Kertas-kertas beterbangan saat sesi pemotretan, memakai payung terbalik, merakit beberapa kamera lalu digunakan di kepala layaknya mahkota, hingga menyetir sebuah mobil mini berdua. 

Satu kesimpulan terjadi, terutama menyinggung jiwa-jiwa lemah seperti saya: bahagia itu sederhana. Banget! Sangat! Amat!

Menyenangi pekerjaan, menikmati hal-hal kecil yang ada di tengah perjalanan, hingga memperhatikan lika-liku manusia yang lucu dan penuh keragaman. Ya, saya nggak harus mencari bahagia di bioskop, restoran mahal, tempat-tempat wisata nun jauh di sana, atau pusat pertokoan dengan brand-brand high-end.

Saya cukup bahagia saat menemukan sprei tosca dengan motif polka dot dengan harga terjangkau. Saya senang membeli rak biru muda yang sesuai dengan kamar kost. Saya bahkan bahagia ketika melihat seonggok susu rasa pisang siap untuk dilumat. Bahkan, saya bahagia karena mengetahui bahwa sosok yang selalu saya kagumi karyanya ternyata hanya berbeda satu lantai dengan saya. 

Dan yang pasti, saya bahagia, saat menggali kenangan terdalam di ingatan. Saat flashback ke masa-masa saya tersipu malu, mengingat satu tempat karena kejadian yang berlalu di sana hingga sedetail-detailnya. Ya, saya bahagia karena saya memiliki kenangan yang manis dalam satu sisi otak kecil. 

Dan, satu lagi. Satu hal lagi yang dapat membuat saya bahagia. 

Ya, saya akan sangat bahagia bila telah mencium aroma petrichor, aroma tanah yang terkena hujan. Dan pastinya, saya-super-bahagia-maksimal-saat-bertemu-hujan. Seakan berjumpa kawan lama, saya ingin bermain hujan-hujanan tanpa mengenakan payung, mendengarkan lagu-lagu pembawa suasana hati, untuk kemudian menari-nari di sana. 

Kenapa saya bahagia bertemu hujan? Seperti cerita yang diadaptasi dari ucapan seorang Edwin Windu Pranata alias @saya_ewing , "Hujan itu adalah utusan Langit untuk menyampaikan surat rindu untuk Bumi". Ya, hujan menggenggam sejumput rasa bahagia, Langit menitipkan serpihan hatinya untuk Bumi melalui Hujan, yang terpisahkan jarak dan waktu. Wajar jika saya bahagia, bukan?

Anyway, terimakasih pada Ramzi yang seakan menjadi penyelamat saya melalui lagu ini. FYI, sedikit ketidakseimbangan mampir pada pikiran saya belakangan ini. Dan, percaya nggak percaya, tembang Radar Detector ini menjadi obatnya, yang sangat ampuh guna menutup lubang luka yang terbuka lebar. Menyeimbangkan kembali kutub magnet bagi hati, jiwa, pikiran dan tubuh saya yang sedang kopong.

So, enjoy then! Semoga aura bahagia ini menular juga bagi semua-semua-semua-semua yang membaca tulisan ini dan akhirnya mendengarkan tembang Darwin Deez sebagai penyemangat hari. Cheers, people! 

Jakarta, 3 Agustus 2012,
-penceritahujan-

#30HariPersonalSoundtrack : Opening

 Jakarta, 3 Agustus 2012,

"Tuhan menciptakan manusia dengan dua telinga, dan satu mulut, kenapa coba?"
"Kenapa?"
"Karena Tuhan mau kita lebih banyak mendengar, daripada berbicara."

Penggalan percakapan antara saya dengan seorang anonim ini, tak pernah lepas dari ingatan. Mengendap perlahan, hingga akhirnya menjamur di salah satu bagian otak kecil saya. Perkataannya jelas dapat saya mengerti. Tuhan, nggak pernah menciptakan sesuatu tanpa sebuah tujuan.

Saya, merupakan salah satu dari banyak manusia yang sangat mengandalkan indera pendengaran untuk berpikir, menggali khayalan, bahkan mengingat sesuatu. Sepertinya, telah ada medan magnet yang terbentuk dengan daya tarik menarik kuat antara saya, dan gelombang suara. Tentunya, berada di frekuensi gelombang yang masih bisa didengar manusia.

Entah karena pengaruh film, usia serta bacaan yang saya miliki, musik seakan bernaung mengelilingi seluruh kehidupan saya, dari sejak saya masih berusia dini, hingga detik ini.

Musik seperti apa yang seakan menjadi soundtrack perjalanan hidup saya?

Yes, saya-sangat-mencintai-musik, meski hanya menjadi seorang pendengar, dengan wawasan yang dangkal. Musik apapun, dalam genre dan bahasa dari manapun. At least, saya paling nggak suka mengkotak-kotakkan musik dengan kata indie dan mainstream.

Well, untuk saya, orang-orang setipikal itu mungkin malah kelompok yang melihat segala sesuatunya dari satu sudut pandang saja. Padahal, apakah zaman dahulu orang mengenal istilah yang bahkan sudah tampak saru ini? Nope! Musik klasik bahkan irama tradisional adalah sebuah karya, semacam kesenian, yang membuat seorang manusia tampak abadi.

Yang menjadi masalah di sini adalah, musik mana yang benar-benar mengena di hati setiap individu. Satu hal yang saya yakini juga, selera musik itu seperti jodoh. Ada beberapa lagu yang mampu memberi daya magnet kuat pada satu orang, tetapi beda halnya bila kelak didengar oleh lain telinga. Musik itu soal hati, bukan hanya permasalahan telinga semata. 

Hal yang paling menyedihkan adalah, ketika seorang manusia menyukai sebuah musik, hanya sebagai tanda bahwa ia memiliki kelas tertentu dalam kehidupan sosial bermasyarakat. So pathetic, even you can't be honest with yourself, dear! 

Lantas, masih berkutat pada pertanyaan yang sama: musik apa saja sih yang jadi soundtrack bagi kehidupan saya?
Jawabannya bisa berupa sebuah gabungan kata: musik-musik yang mengena didengar kala berjalan seorang diri, di tengah hujan pada sore hari. Lengkap? Yes! Genre apapun. Bahasa apapun. Dan tentunya, tema apapun. Karena, sekali lagi, musik adalah soal hati, bukan? 

Jadi, selamat menikmati sajian #30HariPersonalSoundtrack dari saya, seorang Candella Sardjito, pecinta kata, memori dan euforia. Semoga berkenan! 

-penceritahujan-