Jumat, 30 November 2012

Nona Pesimis #1

Ruangan serba putih itu masih saja sama, seperti yang kulihat beberapa bulan lalu: kasur tiup berwarna kuning yang tergeletak di pojok kanan ruangan; meja kardus terbungkus lembaran majalah gaya hidup; poster film berukuran raksasa - nyaris seukuran dengan tubuhku; lemari portable berwarna hitam; karpet biru indigo. Tak lupa, jendela besar membuka lebar, mengundang angin sepoi-sepoi yang berebutan ingin menghangat di dalam ruang

Aku diam. Leherku seakan tercekat saat mau bersuara. Lidahku tersimpul erat. Tanganku menggenggam perangkat elektronik bernama notebook tersebut. Mataku mulai berair, tanpa diminta.

"Kamu ngapain sih?" Suara serak itu sontak mengagetkanku. Memaksaku untuk menutup layar notebook putih itu dalam hitungan detik.

Raiga sudah bangun dari mimpinya yang cukup singkat, walau pandangannya masih samar, terlebih lagi, pupilnya masih harus menyesuaikan pandangannya dengan cahaya ruangan yang minim. Raiga pasti tidak akan pernah tahu, apa yang kulakukan beberapa detik lalu.

Aku hanya membalas sapaannya itu dengan senyuman, dan gelengan kepala.

"Kamu kenapa nggak tidur? Katanya masuk pagi?" ujar Raiga lagi, sambil menggenggam tanganku erat.

"Nggak apa-apa Ga, nanti aja, nulis dulu," lantas, mataku beranjak ke layar kembali. Pura-pura menulis, padahal aku tidak bisa merangkai barang satu aksara pun.

Raiga terlelap lagi, dengan mulutnya yang setengah terbuka, tak lupa dengkurannya yang memecahkan senyap di lantai lima menara apartemen tersebut.

Aku, bagaimana dengan aku? Aku terdiam lagi. Mengusap tetes air yang berebutan memaksa keluar dari rumahnya. Sembari menghapus embun dalam permukaan luar mata, pupilku membulat, mencari-cari arsip yang tersimpan dalam notebook tersebut.

Aku melihat nama-nama wanita - entah siapa - menghiasi layar itu. Adorable, memang. Beda jauh denganku. Mereka adalah gender wanita yang dianugrahi banyak hal oleh Tuhan: cantik, bercahaya, keren, bermata bagus, dan pasti menyenangkan.

Aku seperti pohon perdu yang dibandingkan dengan beringin perkasa.

Aku seperti kursi usang, yang dibandingkan dengan accupunto berharga mahal.

Aku seperti tas koja, yang dibandingkan dengan tas kulit bermerk terkenal.

Aku seperti kue bandros yang dibandingkan dengan red velvet.

Bahkan, aku seperti air rawa, yang dibandingkan dengan air terjun nan menjulang tinggi.

Aku sama sekali bukan padanan. Kalau banyak orang melambangkannya bagai bumi dan langit, aku lebih bertentangan lagi. Seperti blackhole dan Bimasakti.

Raiga senantiasa membuat beragam mixtape mengagumkan bagi nama-nama itu. Tak lupa, Raiga juga mengilustrasikan wajah-wajah mengagumkan itu dalam bentuk grafis cantik.

Dan aku? Namaku tak pernah ada di jajaran itu. Karena aku bukanlah kaum-kaum yang termasuk dalam kategori adorable. Aku bukanlah makhluk favorit Raiga.

Karena aku, cuma jadi seseorang yang akan berdebar-debar ketika Raiga menyentuh tanganku lembut. Aku, cuma jadi seseorang yang pasti meleleh, ketika Raiga memberi pelukan hangat. Aku cuma jadi seseorang yang rela bertualang di tengah hujan, demi bertemu sesosok Raiga.

Pamrih? Tidak. Aku sama sekali tidak ingin bermaksud pamrih. Aku cuma ingin menerbitkan sebatas senyum tipis di mulut Raiga.  Dan itu saja sudah cukup.

"Hey kamu, tidur dulu,"

Raiga memecah lamunanku lagi. Kini, dia seperti setengah menarik tubuhku yang sudah lemas itu, kemudian mendekapku erat dalam pelukan hangat, lalu menyentuh pipiku perlahan. "Kamu kenapa? Cengeng, nangis mulu."

Dan sekali lagi, aku cuma menggeleng sambil beralibi, "Ini menguap, kok, bukan nangis, kali."

Aku kembali menyimpan sesakku ini dalam sebuah kotak perasaan yang paling dalam. Aku tidak ingin Raiga tahu - tepatnya antara ingin atau tidak ingin. Lalu aku memeluk Raiga erat, walau hal itu pelan-pelan menggerus hatiku. Mengoyaknya serupa daging cincang.

Aku cuma ingin Raiga bahagia.

Lalu aku bagaimana?

Entahlah.

Kukejar kau, takkan bertepi,
Menggapaimu, takkan bersambut,
Sendiri membendung rasa ini
Sementara kau membeku,
Khayalku terbuai jauh,
Pelita kecilmu mengalir pelan,
dan aku terbenam...

#np Rida Sita Dewi - Satu Bintang di Langit Kelam

-penceritahujan-

1 komentar: