Sabtu, 10 November 2012

Raein and Klodi : #1 Utusan Langit


illustrated by: Oktarina Lukitasari

“Klodi, maen ke bumi yuk!”
“Ogah ah, maen sama kamu mah basah!”
“Klodi kan udah biasa yah basah-basahan, orang tiap hari juga aku menunggang di atas punggung kamu kok, udah kewajiban tahu!”
“Gamau ah, Ujan! Kamu mah bau apek.”

Percakapan pagi ini dimulai dengan kegiatan tarik menarik antaraku dengan Klodiklodi. Memang, kami itu semacam pasangan yang agak ajaib. Klodi sih yang aneh. Aku mah normal, seperti layaknya hujan-hujan yang lainnya. Kalau Klodi, dia itu suka menyebut dirinya skeptis dan apatis. Selalu menjadi awan hitam, ujarnya.

“Saya lebih cocok berada di keluarga Awan Stratus daripada Kumulus, saya kan gelap dan kelabu. Betul kan, Ujan?”

Aku hanya diam. Tersenyum dan menatapnya perlahan. Mendalam. Aku yakin, percaya seratus – bahkan dua ratus persen – kalau kebaikan hati Klodi itu lebih besar dari awan-awan putih sekalipun.

***

Oh iya, kenalkan. Namaku Uja-Ujan. Aku lahir di Kerajaan Angkasa, sebuah tatar mewah dengan ruang lingkup benda-benda melayang yang masih berada di batasan atmosfer. Tepatnya, aku itu dijuluki sebagai Manusia Planet Hujan. Seperti planet yang ada di buku-buku dongeng, tapi aku nyata.

Aku, hidup sebagai utusan Raja Langit seumur nyawaku. Konon katanya, dulu, saat Raja Langit masih menjadi seorang Pangeran, dia iseng sesekali bermain mengelilingi daratan yang berada di tanah bola biru di bawah kerajaanku.

Di sana, Langit terkesima mentah-mentah oleh cantiknya tanah tersebut. Pepohonan hijau, lautan luas membentang, hingga bebatuan merah penuh cahaya. Dan alkisah, daratan cantik itu memiliki nama. Bumi, namanya.

Langit yang gagah perkasa, jatuh cinta, luluh lantah sekejap terhadap sesosok Bumi dengan kasta yang lebih rendah. Dan, sejak saat itu, Langit selalu memerhatikan Bumi dari kejauhan. Memeluknya diam-diam kala ia tertidur, membantunya berdansa memutari Matahari, dan memberikan hadiah seperti Langit Sore dan Pelangi.

Seperti di dongeng-dongeng, Langit dan Bumi pun sama-sama memendam rasa. Tak jarang Bumi menumbuhkan aneka warna bunga cantik untuk membuat Langit tersenyum. Atau memercikkan air terjun, sehingga Langit kembali berwarna biru dan merasa tenang.

Namun, rahasia itu lambat laun tercium oleh para petinggi Kerajaan. Langit dan Bumi seringkali dianggap tak sebanding. “Bumi itu ada di bawah, rendah. Kita lebih agung, Langit!” ungkap para Dewan Kerajaan kala memergoki perasaan yang dipendam Langit.

Sejak saat itu, Langit dan Bumi terpisahkan oleh jarak, kasta, tingkatan. Terbataskan oleh posisi. Tak jarang Bumi merasa sedih, merasa rindu pada Langit tapi tak tahu apa yang harus diperbuat.

Patah hati menjadi sebuah hal yang menyesakkan. Langit tak ingin tinggal diam. Lantas, ia mengutus Awan dan Hujan untuk mengantarkan surat. Dalam satu tahun, Langit mengirim 182 surat di setiap harinya sebagai tanda bahwa Langit kangen sama Bumi.

Dan itu adalah tugasku sebagai makhluk-makhluk Planet Hujan, serta tugas Klodi sebagai salah satu dari anggota keluarga Awan, yang menjadi tetanggaku di Tatar Angkasa.

Nah, kan! Aku lupa memperkenalkan Si Klodi, pasanganku yang menyebalkan ini. Dia terlahir sebagai awan pengantar hujan, yang menjadi utusan dari Sang Langit.

Anggap saja itu kebetulan. Kami bertemu di sebuah persimpangan jalan dekat Istana Langit. Aku, memang sudah lama tahu, bahwa Awan gemuruh itu namanya Klodi, dan konon katanya, dia juga sudah tahu bahwa namaku Uja-Ujan.

Mirip seperti sinetron di layar kaca manusia yang biasa aku intip waktu aku turun bertemu Bumi, aku dan Klodi berada dalam situasi yang lucu. Cinta lokasi? Nggak juga sih. Sebut saja, kami menyerupai film Serendipity yang diperankan oleh John Cusack. Aku tahu darimana? Sudah kubilang, aku itu Hujan yang bisa menempel di kaca jendela manusia, mengintip tontonan apa yang mendominasi otak mereka, tanpa mereka harus tahu.

Kali pertama kami bertemu, Klodi dan aku merupakan salah satu petugas yang baru perdana mendapat tugas mengantarkan surat rindu ke tanah Bumi. Dia menjadi pengendaranya, dan aku tentu saja menjadi pembawa surat-surat maya itu.

Shit happens, tapi rasanya buat aku hal ini sama sekali tidak terlihat seperti sebuah shit alias kotoran manusia. Hal ini lebih terlihat seperti keajaiban, bonus yang diberikan Langit atas keberanianku melakukan tugas perdana.

Klodi, kala itu mengendarai vespa kesayangannya. Lucu juga, Klodi sangat menyukai motor buatan manusia itu. Tak heran bila Langit memberikan semacam duplikatnya sebagai hadiah atas tugas perdana yang diemban olehnya. Hanya bedanya, sang vespa terbuat dari butiran-butiran kristal es yang dibentuk menggumpal seperti awan. Massa di dalamnya digerakkan oleh bantuan makhluk Planet Angin.

Tapi, duplikat mesin buatan makhluk Bumi itu mengadaptasi sifat-sifat asli dari motor tersebut, hingga sifat jeleknya. Sering mogok dan rewel. Otomatis Klodi harus super sabar menghadapinya. Tapi ya, kalau sudah suka, semua hal pun seakan terlupakan dan terbutakan.

Dan alhasil, aku menjadi salah satu korban dari mogoknya duplikat vespa milik Klodi. Tugas perdana, sekaligus pertemuan pertama aku dan Klodi ini, tak hanya diwarnai mogok. Nyasar dan salah jalan juga menghiasi perjalanan kami.

Anehnya, aku tak merasa marah, kesal atau apapun, meskipun surat yang harus kukirimkan terdiri atas beratus-ratus lembar. Ajaib. Aku merasa Langit meminta tolong pada Bumi untuk menanam bunga-bunga cantik di dunia khayalku. Menjadi bonus penghujung yang aku dapatkan. Membuatku tersenyum malu.

Akhirnya, kami sampai di rumah Bumi. Begitu Bumi nan cantik bertanya pada kami, kenapa kami sampai tersesat, kami cuma tersenyum, setengah menahan tawa. Klodi pun begitu. Walau aku nggak terlalu bisa menebak hatinya seperti apa. Tapi aku yakin, Langit juga memberi bonus yang sama pada Klodi. Perasaan ini.

Sejak itu, hadiah bunga-bunga maya dari Langit menjadi hadiah pertama, dan hadiah yang selalu aku simpan hingga kini. Dia tidak bisa layu, atau hilang menjadi bangkai. Karena ini bonus dari Langit. Iya, ini adalah bonus karena kami sama-sama utusan Langit yang menyampaikan surat rindu bagi Bumi. 

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar