Rabu, 21 November 2012

Melamun #1

Jakarta, 21 November 2012,

Dia berkata akan menjemputku di lantai terbawah gedung tinggi menjulang. Sisi teratasnya seakan mau mencengkeram awan abu di langit gelap. Tak heran bila banyak orang menjulukinya dengan gedung pencakar langit, walau aku tak sama sekali melihat bentuk 'cakar' dari gedung itu.

Dia - yang akan menjemputku - mungkin saja ada di lantai teratas, penghujung cakar yang dimiliki oleh gedung itu. Dan aku, adalah dasar tanahnya. Masih jauh. Tak apa. Aku masih sabar.Aku duduk di dekat kali. Entah kali atau got, aku tak peduli. Yang jelas, aku memang tak sendiri. Ada tubuh hidup lainnya yang juga berdiam di taman aspal itu. Tersebar di beberapa titik tertentu dalam ruang terbuka, yang didominasi oleh rumput serta pot tanaman raksasa.

Salah satunya adalah pria ini, sang pemeluk ayunan berwarna hijau. Pria ini memiliki serabut pembuluh darah yang tampak memenuhi mata. Semakin merah, semakin menyala, sejalan dengan bagian kelopak bawah matanya yang kehitaman akibat kurang tidur. Dia mirip iblis di kartun-kartun, ujarku dalam hati. Kutambahkan tanduk tajam serta taring di giginya, dalam penglihatan mayaku. Lantas, kunamai pria itu: SAURON.  Walau pria ini tidak bermata satu, tapi nama itu sangat mencerminkan dirinya.

Sauron sebenarnya tidak jahat. Dia bahkan bukan penjahat kelas kakap. Sauron cuma orang biasa. Bahkan, hanya untuk mencuri pandang pun, Sauron tak pernah berani. Dia hanya bisa memandang langit, karena cuma langit yang akan menatapnya kembali dalam waktu yang lama. Sauron percaya, langit adalah ibunya, yang menyelimutinya kala ia terlelap. Yang menjaganya saat ia berjalan dalam gelap.

Dalam khayalanku, pada kehidupan sebelumnya, Sauron adalah seorang pangeran yang berasal dari Istana Langit. Sauron Si Ingin Tahu, demikian julukannya. Sauron sering mengintip ke arah bumi, memerhatikan irama klakson nan berisik, asap-asap polusi, hingga emosi yang memadati hati. Sauron juga mencuri pandang ke arah sebuah danau tersembunyi, dimana manusia tidak tinggal di dalamnya.

Dan akhirnya, Sauron melihat seorang penghuni bumi, yang membuatnya terpesona. Seumur hidupnya, akhirnya Si Pangeran Ingin Tahu, menghadapi sebuah kehebatan rasa penasaran. Dia tak peduli, apakah sang manusia bumi akan menyukainya atau tidak. Dia juga tak peduli, bahwa kasta, jenis bahkan spesies mereka berbeda. Sauron hanya berkata bahwa ia jatuh cinta.

Akhirnya, Sauron berjanji, akan hidup lagi sebagai manusia bumi.

Setidaknya, itulah Sauron, dalam pojok imajinasiku.

Aku tahu. Sauron sama sepertiku. Dia menanti seseorang, yang akan menjemputnya dengan senyuman ramah. Candaan hangat. Ataupun hanya sekadar mendengar kata sapa. Sauron sama. Aku pun sama.

Sudah puluhan menit, aku dan Sauron hanya berjarak 4 meter saja. Dan sudah puluhan menit, dendangan irama di telingaku silih berganti nada. Mulai dari Art Garfunkel hingga lagu Naif, telah menjadi temanku melamun serta mencorat-coret seputar cerita mengenai Sauron, siapakah Sauron, dan kenapa Sauron ada.

Aku sibuk dengan lembaran-lembaran cerita yang kubuat dalam dimensi maya, hingga akhirnya seseorang berwajah manis melambaikan tangan ke arah Sauron. Mata merah itu sekejap berganti, menjadi mata bergelimang kilauan. Berkaca-kaca. Mungkin Si Manis ini merupakan alasan mengapa Sauron turun ke bumi, dan rela berubah menjadi seseorang yang tampak seperti iblis.

Akhirnya, Sauron bertemu dengannya, dengan seseorang yang menjadi alasannya melihat langit. Menjadi alasannya berdiam seorang diri di tengah polusi ibukota.

Sedangkan aku, dimanakah alasanku berada?

Sudah tiga jam. Alasanku berdiam di taman semen belum tiba.

Entah belum tiba, atau tidak akan tiba.

-penceritahujan-

 


1 komentar: