Sabtu, 28 Juli 2012

Monolog Mimpi

Kembali. Ya, aku tak menyangka aku akan kembali menginjakkan kaki di tanah tertutup semen ini. Sebuah taman kecil, di antara hutan beton bertulang, yang bernaung di bawah langit terang Jakarta. 

Setahun penuh, aku berusaha menghapuskan ingatanku. Menutup buku kenanganku, terang-terangan. Menyembunyikan akun jejaring sosial, mengganti seluruh mixtape dalam program pemutar lagu, bahkan hingga berusaha pergi dari kota metropolis ini. Kabur. Melarikan diri. Berharap, aku sudah cukup mempunyai nyali untuk melupakan sosok itu. 

"Saya nggak pernah berkata selamat tinggal,"

"Tidak, ini adalah ucapan selamat tinggalmu. Dan saya tahu itu,"

End Chat. 

Iya. Pria itu meninggalkanku. Mentah-mentah. Tanpa pelukan hangat seperti yang biasa kusaksikan di opera sabun. Ataupun kecupan di kening, sama seperti yang sering terjadi di film Mandarin. Tidak. Aku tak pernah merasakan semua itu. Dia membuang habis mimpiku dalam rangkaian percakapan di telepon pintar. Sial. Perpisahan macam apa itu? Aku-benci-teknologi-karena-dia. 

Kuharus lepaskanmu, melupakan senyummu. 

Aku tak pernah tahu, bila untuk membiarkan kenangan terbang ke angkasa, membias bersama air hujan yang kini turun membasahiku, akan sesulit ini. Sepertinya, terdapat sebuah paku dan palu yang terpukul tepat di jantungku. Menyesak, dan perih.

Dengan bodohnya, aku, mengulang kembali kebiasaan yang sering kulakukan di tempat ini, tepat setahun lalu. Duduk, terdiam, membawa catatan kecil sembari menuliskan sebuah nama, dan menyumbat kedua lubang telinga dengan earphone bernada seluruh playlist pemberiannya. 

Halo Mega, lama nih kamu. Saya udah nungguin, di bawah pohon rindang dan hutan beton bertulang. Saya bawa sebungkus roti, dan susu pisang kesukaan saya. Jadi bekal untuk menanti kehadiran kamu.

Lembar demi lembar kutulis. Dan kurobek. Lalu kutulis. Dan akhirnya kurobek lagi. Aku melakukannya secara berulang. Entah sadar, atau tidak. Aku sudah mengumpulkan robekan kertas sebanyak 32 lembar dan mendengarkan 14 tembang yang berlalu.

Kau tinggalkan mimpiku
Dan itu hanya sesalkan diriku

Penggalan lirik lagu itu terngiang jelas di gendang telingaku, melewati syaraf-syaraf dan langsung sampai di otak. Dan kembali. Aku menulis, merobek, menulis lagi, hingga merobek lagi. 

Perlahan, aku mengumpulkan serpihan kertas-kertas itu. Nama "Mega" tertulis sebanyak 54 kali. Kata "rindu" mengiringinya, sejumlah 30 buah. Kenangan tersirat jelas dalam lembaran itu. Perbincangan monologku dengan kertas, harus kuakhiri. Apakah akan kubakar? Atau kukoyak kecil-kecil?

Aku, harus melepaskan huruf "M", "E", "G" dan "A" dari ingatanku. Dari otak kecilku. Dari hatiku. Dari buku ceritaku.

Sekali lagi, aku menggumam pelan, "Kuharus lepaskanmu, melupakan senyummu".

Dan akhirnya, aku memilih untuk melipat robekan kertas tersebut. Menciptakan sekitar 50 pesawat kertas, yang kemudian kuterbangkan secara acak. Dan, ya... mereka terbang dengan bebasnya.

Saat itu, tersisip sebuah harapan, bahwa satu onggok lipatan itu, menghampiri lantai 5 di bangunan menjulang itu. Tepatnya, kamar flat yang membuatku bermimpi bersama Mega hingga matahari tiba. Ruangan yang pernah berisi tawa peluh antara kami. Batasan dinding yang seakan menjadi saksi bisu, saat Mega menatapku dalam, dan memberi serangkaian serangan pelukan hangat di pagi buta.  

Setidaknya, hanya untuk memberikan sebuah pesan telepati, bahwa aku, masih selalu mengingat Mega. Hingga detik ini saja. Pukul 12 tepat, di malam hari. Dan lantas, aku ingin bergegas pergi. Menghempaskan nama MEGA dalam hitungan waktu. Dan tidak ingat apa-apa sama sekali. 

Dan sebuah bayangan hitam menelanku perlahan. Membawaku kembali, terhisap dalam tidurku yang lelap. Tanpa mimpi. Tanpa ingatan. Tanpa Mega - pastinya. 

Kuharus lepaskanmu, melupakan senyummu.
Semua tentangmu, tentangku, hanya harap.
Jauh, ku jauh, mimpiku, dengan inginku.

                                                                            ***

"Rora bangun, Dok! Rora bangun!"

"Hey Aurora, ayo sadar, Rora,"

"Kamu sudah tertidur selama bulanan, Rora, kamu masih ingat kami, kan?"

"Rora, kamu sudah baik-baik saja kan?" 

Suara itu sayup-sayup membangunkanku. Air mata dingin membasahi pipiku. Pemandangan putih mengelilingiku. Sosok dengan pakaian serba putih pun mengitariku. Iya, di sana ada kedua orangtuaku, teman-temanku, bahkan hingga orang-orang yang sulit kukenali. Aku tertidur pulas bersama peralatan rumah sakit selama nyaris 6 bulan, dan aku, tidak ingat apa yang terjadi sebelum itu.

                                                                             ***
"Hey Aurora, masih ingat saya?"

"Enggak, kamu siapa?"

"Kamu bener-bener gak inget saya?"

"Enggak, rasanya saya belum pernah kenal sama kamu,"

"Saya Mega, kamu nggak inget? Taman hutan beton? Roti dan susu pisang?"

"Enggak. Kamu siapanya saya, memangnya?"

"..."

                                                                               ***

1 komentar: